Ruang Abu-abu

Rieldeeqa
Chapter #4

4°Klub Akustik

°°Hanya musik yang dapat menghubungkan semua hati termasuk aku dan kamu°°

Akhirnya Jam Pak Johan telah berakhir, syukurlah aku bisa mempresentasikan genus tanpa bantuan kelompokku sendiri, bahkan mereka semua kagum dengan penjelasan yang ku berikan. 

Apa sikap mereka itu tidak berlebihan, padahal penjelasanku tidak ada yang salah bahkan bingung mengapa bisa dengan mudahnya mengingat apapun yang ku baca dan lihat. 

Teman-teman formalitasku selalu saja mengatakan bahwa aku bukan membaca buku tersebut tetapi, melahapnya hingga tidak menyisahkan apa-apa. Jujur aku tidak mengerti apa yang mereka maksud, setidaknya hari ini dapat berbaur dengan teman sekelasku.

Aku sempat berpikir bahwa Pak Johan akan marah karena terlambat masuk saat jam 

pelajarannya ternyata tidak. Pak Johan seolah-olah bersikap tidak terjadi apa-apa dan melanjutkan pelajaran yang sempat tertunda. 

Aku harus berterimakasih banyak kepada kak Huda karena telah membantuku tetapi, harus mencari keberadaan dimana sedangkan kelasnya saja aku tidak tahu. 

Jika ku mencari Kak Huda sekarang itu akan memakan waktu yang cukup lama dan kemungkinan saja ia sudah pulang, soalnya sekolah nampak lenggang 

Dengan perasaan malas ku langkahkan kaki keluar kelas, sebenarnya aku tidak ingin pulang ke rumah karena firasatku mengatakan bahwa Alfa dan Rein masih ada di sekolah.

  Sejak tidak teguran Rein kemarin, sampai sekarang aku masih menghindar dari Alfa dan Rein. Betapa bodohnya aku mengapa, senin kemarin berjanji kepada Alfa jika hari ini ikut akustik. 

Apa aku harus absensi saja namun, . Kemungkinan Alfa belum pulang saat ini karena ia adalah salah satu pelatih musik di Akustik SMA Harapan Bangsa namun, aku tidak tahu apakah Rein sudah pulang atau belum.

Aku belum memiliki keberanian untuk bertemu dengannya. Tatapan tajam Rein waktu itu membuatku takut ia akan semakin marah jika aku datang ke kelasnya dan menyapa seperti biasa.

“Ri, tunggu!,” Teriakan seseorang memanggil membuat langkah kaki ku terhenti, aku mengenal suara itu.

lalu menoleh ke belakang tatapan mataku bertemu dengan manik matanya dan benar saja dugaanku, itu Rein. Aku memberanikan diri untuk berbalik namun, aku membuang muka karena tidak berani menatap wajahnya.

“Eum, ya.”Jawabku dengan suara gemetar yang muncul tidak kuduga. Aku melihatnya melangkah mendekatiku dan berhenti tepat di hadapanku.

“Belum balik?,” Tanya Rein kepadaku, aku mengangguk tanpa melihatnya. dan hanya menatap ujung sepatuku yang terlihat sedikit berdebu.

“Ya”Ucapku tanpa mengalihkan pandangan dari ujung sepatuku. 

“Ri, Kamu marah ama aku?,” Tanya Rein membuatku bingung, Apa tidak salah dengar. Harusnya Rein yang marah kepadaku

“Gak,”Ucapku singkat, aku benar-benar tidak ingin menatap Rein saat ini tetapi, entah mengapa rasa penasaran mengunci dan membuatku memberanikan diri menatapnya. Hanya ekspresi yang tidak terbaca nampak di wajah ovalnya saat ini. 

“Mau balik bareng?,”Tanya Rein membuatku mengeleng pelan, aku tidak mau menyusahkan Rein lebih lama namun, ia hanya tersenyum tipis ---sangat tipis--- hingga aku merasa Rein hanya menarik bibirnya untuk membuat lengkungan.

“Gak usah deh, aku akustik, duluan.”Tolakku halus kepada Rein dan langsung pergi meninggalkannya tanpa menengok kebelakang. 

Aku tahu yang ku lakukan saat ini tidak sopan tapi, kurasa tidak nyaman berada didekat Rein lebih lama lagi. 

Aku berjalan menjauh dari Rein dan menuruni tangga dengan tergesa-gesa, serasa benar-benar tidak nyaman jika berlama-lama dengannya. takut ia semakin marah karena sikapku yang kasar kepada Raffi.

 Yang membuatku heran adalah mengapa Rein bertanya apakah aku marah padanya atau tidak, sangat membingungkan. Bahkan hari ini aku tidak bertemu Raffi dimana pun mungkin ia sedang absensi. 

Ibuku menyuruh untuk berdamai saja dengan Rein karena itu sepenuhnya memang salahku tetapi, aku sampai sekarang tidak memiliki keberanian untuk sekedar menegur perkataan Rein selalu saja terngiang dipikiranku tanpa ku minta. 

Aku segera mengenyahkan pemikiran tersebut dan berlari menuju kelas musik, dan melihat mereka semua sedang melakukan latihan dengan kelompok masing-masing, sepertinya aku telat.

“Ri!,’ Teriak seseorang membuatku mencari sumber suara, aku tersenyum saat melihat seseorang melambaikan tangannya kepadaku. Siska Annantias, sering akrab disapa Anna. 

Aku baru tahu jika Anna ikut klub akustik namun, ia tidak mengatakannya apa-apa padaku padahal kami sering sekali bersua. 

Syukurlah aku tidak merasa kesepiaan. Anna langsung menghampiri dan langsung menarik tanganku menuju tempat dimana tadi ia duduk, untunglah masih ada bangku kosong yang tersisa.

Aku dan Anna bertemu saat masa orientasi kami, itupun karena ia lupa membawa alat kebersihan dan meminjam sapu ku saat kami melakukan bersih-bersih lingkungan, mungkin jika di pikir kembali ucapan Rein ada benarnya juga aku harus menambah lingkaran pertemananku agar tidak merasa kesepiaan saat berada di sekolah. 

“Ri, kamu mau ikut apa?,” Tanya Anna membuatku tersadar dari lamunanku.

“ Mau ikut, Piano!.”Ucapku sambil membuat jariku berbentuk tanda peace.

“Oh, kamu kenal sama Alfa kan?,”Tanya Anna membuatku menangguk sambil menatap bertanya-tanya, untuk apa Anna menanyakan hal itu. 

Apakah Anna menyukai Alfa, mungkin dugaanku ini hampir benar karena daritadi Anna memperhatikan Alfa terus.

“Nggak pa-pa kok, tapi diem aja yah, pinky promise dulu!”perintah Anna yang tersenyum malu membuatku semakin yakin jika Anna menyukai Alfa. 

“Ok-ok, Jadi?,”Tanyaku sambil mengaitkan jari kelingku dengan jari kelingking Anna namun, Anna malah tertawa membuatku menyeritkan dahi, kenapa ia tertawa dan apa yang lucu. 

“Ternyata dugaanku bener.”Serunya membuatku menyerit heran, bukan Anna tadi ingin bercerita. 

“Apa?,”Tanyaku dengan penasaran membuatnya semakin tertawa terbahak-bahak, apa yang lucu. Perasaan daritadi tidak ada yang melawak.

“Itu-tuh jari kamu mirip banget sama Adekku yang masih SD kelas 3, Hahaha,”

Tawa Anna membuatku tersenyum kecut masa jari tanganku di sama-samain jarinya anak SD, Jahat banget. 

Padahal aku rasa dari SD jari tanganku paling besar dari teman-teman yang lain namun, Ternyata dari SD sampai sekarang jari tanganku tidak berkembang sama sekali. 

Anna menarik nafasnya dan mengembuskan dengan perlahan untuk mentralkan ekspresinya, lalu ia menatapku dengan intens.

 Aku sadar jika Anna yang memang benar-benar menyukai Alfa, tunggu kenapa ada perasaan tidak rela jika Anna menyukai Alfa dan mengapa rasanya sesak sekali.

 Bagaimana jika Alfa tertarik dengan Anna. 

‘Duh! Reilla berhentilah berpikir yang tidak-tidak, jika memang Alfa tertarik dengan Anna ya sudah. 

Ikhlas! Lagipula Alfa tidak menganggapmu lebih dari sahabatnya, Jangan berpikir yang tidak-tidak semua perhatiannya kepadamu karena ia peduli dan menyayangimu tidak lebih.

’Rutuk Riella dalam hati, Anna memusatkan perhatiannya kepadaku membuatku merasa tidak nyaman. Apakah aku benar-benar menyukai Alfa.

“Jadi, kamu mau cerita apa?,”Tanyaku kepada Anna membuatnya tersenyum senang, sebenarnya aku tidak menyukai Alfa tetapi, aku hanya takut sahabatku dipermainkan hatinya karena Alfa nampak terlihat lugu.

“Diem aja yah, sebenernya aku tuh suka benget sama Rein!.”Ucap Anna sambil menutup wajahnya yang malu. Apa aku tidak salah dengar Anna menyukai Rein. 

“Kamu seriusan?,”Tanyaku dengan suara lantang membuat sekitar mulai menatapku risih, Anna langsung membekap mulut dengan jari tangannya.

“Iya dan please deh nggak usah toa juga ntuh suara.”Omel Anna sambil memutar matanya malas. Aku terkekeh melihat Anna yang cemberut. 

“Oke, apa alasan kenapa kamu suka sama Rein?,”Tanyaku membuat Anna nampak berpikir keras, lalu ia tersenyum menampilkan gigi yang berkawat mau tak mau aku juga ikut tersenyum hanya untuk menghargainya. 

Lihat selengkapnya