Pagi ini masih lenggang lagi—Baru beberapa sepeda motor yang berada di parkiran. Riella datang lebih awal dari perkiraannya.
"Kenapa senin harus sekolah sih." Rutuknya kesal. Pasalnya, hari ini ia harus belajar untuk ujian biologi, walaupun itu pelajaran kesukaannya.
Gadis itu memusatkan pandanganya pada kunci sepeda yang berbentuk sandi,
Aku memusatkan fokus ku pada tali yang sengaja ku bawa untuk mengikat sepedaku dibawah pohon.
Sekolah ku memang aman tapi, sering sekali ku temukan sepeda ini menjadi sasaran empuk kakak kelas yang frustasi dengan nilai mereka atau saat bel pulang berbunyi parkiran yang lebarnya hanya 20 x 15 meter ini akan di penuhi manusia lapar dan tidak enak dipandang itu akan menyulitkan untuk mengambil sepedaku. aku teringat kejadian saat mos waktu itu.
"Sudah selesai," Ucapnya sambil membuka bungkus permen karet dan memakan isinya ia tidak membuang sembarangan sampah tersebut tapi, mengantungi pembungkusnya.
Sama seperti yang sering ku lakukan, kakak kelas itu menawari ku sebuah permen karet yang di genggamnya tapi, aku menolaknya.
Ia langsung memperbaiki tanpa bertanya terlebih dahulu dan apa-apaan dengan wajah datarnya itu, aku sebenarnya tidak keberatan jika ia membantuku. Apakah dia ikhlas membantuku.
"Makasih kak,"Ucapku. Aku rasanya malu pada diriku sendiri karena, aku tidak dapat membantu ku diriku sendiri
"Ehem! Btw, bajumu." Tegurnya membuatku terlonjak kaget. Tanpa sadar aku memegang bajuku dengan tangan yang terkena oli rantai sepeda.
Cerobohnya aku, kakak kelas itu menahan tawanya. Ia memberikan ku selembar tisu basah yang baru saja ia keluarkan dari dalam tasnya.
Aku menatap wajah kakak kelas yang baru saja menolong ku itu ia cukup tampan dengan kacamatanya itu. yah harus aku akui bahwa, aku suka cowok yang berkacamata karena memberikan kesan dewasa dan sopan, dengan ekspresi yang ku buat senetral mungkin, semoga saja ia tidak tau jika aku curi-curi pandang terhadapnya.
Aku menetralkan degub jantung yang berdetak kencang dengan menarik napas secara teratur. mungkin hal itu akan membuatku sedikit lebih tenang.
"Kamu ceroboh banget, siapa nama kamu?," Tanyanya membuatku tubuhku menengang, aku tidak sengaja menahan napasku sendiri. Ya Tuhan, ia type idamanku.
"Dek, nama kamu siapa?," Ulangnya.
Astaga, aku tersadar ketika ia melihatku dengan ekspresi bingung miliknya.
"A-Anu kak, Saya Riella, Riella Hadeqaa Humaira." Cicitku, ia menahan tawanya, ketika tersenyum mata kakak kelas yang ada di hadapan ku ini sipit dan menghilang, sungguh sangat manis.
"Santai aja, kakak ga gigit kok, kakak Dio. Dio Mahardika Setyawidjaya,"Ujarnya dio
"Salam kenal kak."
"Makasih udah bantu saya tadi kak, saya pamit pulang,"Ujarku sambil menuntun sepeda milikku menuju gerbang utama, kak dio segera berjalan setengah berlari kearahku.
"Dek, tunggu! " serunya membuatku menoleh kearahnya, dan ia tersenyum memandangku, bisa ku lihat dengan jelas bahwa ia memiliki lesung pipi yang tercetak apabila ia tersenyum, kak Dio sangat manis.
"Hati-hati di Jalan, nanti Kamu jatuh," Teriak kak Dio membuat ku tersenyum tipis, aku tertegun- dia bilang apa tadi hati-hati nanti jatuh,- hatiku sangat berbunga-bunga sekarang tiba-tiba menjadi kesal. Ku dengar suara langkah kaki yang mendekat.
Mungkin aku salah dengar. aku segera menghadap Kebelakang dan benar saja aku melihat kak dio berada di belakangku.
" bawa sepedanya pelan-pelan aja yah!" Serunya lagi dengan wajah serius membuatku benar-benar tidak habis pikir, apakah ia begitu dengan semua gadis? Sepertinya tidak.
" Hahaha," tawa renyahnya masuk ke indera pendengaranku. Membuat ku ikut tertawa juga, kami menertawakan hal yang tidak ku mengerti. Mungkin Saat Ini aku sedang Menampilkan Wajah Bodoh milikku.
"Apa yang lucu kak?"Tanyaku di sela-sela tawanya.
"haduh, Kamu lucu banget tadi aku tuh mau bilang hati-hati kalau kamu jatuh, kakak mau nambahin pasti sakit tapi kalau jatuh ke hati aku ga bakalan sakit."ujarnya menunduk dan mendekatkan wajahnya kearahku.
"Maksudnya?"Tanyaku membuatnya membuang muka. Jantungku berdegub tidak normal.
ia mengenggam tanganku yang berada di stir sepeda dan mengelus jari-jariku dengan pelan, aku segera menepis kasar, untuk menetralkan perasaan ku yang tak menentu.
"Jangan pegang tanganku, aku bakalan teriak! "Ancamku membuatnya menarik tangannya dari atas tanganku.
"Maaf, tadi ke bawa suasana dek,"Tuturnya membuat detak jantungku tidak normal, sehingga aku memalingkan wajahku dan tidak menatap kak dio sama sekali. Aku segera menaiki sepedaku dan berpamitan kepadanya.
" Aku balik dulu kak. selamat sore"pamitku dan aku segala mengayuh sepedaku dengan kecepatan sedang.
"Iya sore juga cantik," teriaknya sambil melambaikan tangannya kearahku.
Kenangan saat itu tidak dapat ku lupakan seumur hidupku, Aku terlalu lama berdiri di depan pohon ini, orang akan berpikir mungkin aku kerasukan Arwah penunggu sekolahku.
Aku segera mengikatkan tali sepeda dengan kuat dibawah ranting dahan pohon. Setelah mengunci sepedaku, Aku merapikan rok abu-abu miliku yang terlihat kusut, Yap! Aku sudah menjadi anak SMA sekarang akan tetapi, tidak ada yang spesial dari menjadi seorang anak SMA ternyata.
Ini adalah genap 1 tahun aku menjadi seorang siswi di SMA yang terbaik di kota ku, walau tidak dipungkiri sebenarnya aku menyesal berada di sekolahku yang sekarang.
Pak Karim baru saja sampai ke sekolah, tumben tidak seperti, mungkin beliau sedang kelelahan tetapi, dengan sedikit tergesa-gesa beliau membuka pos jaga.
Aku menghampiriku pak karim dengan langkah lebar, pria setengah abad lebih tersebut sangat senang saat aku menyalimi tangannya, ia selalu mengatakan jika aku mirip dengan anaknya yang meninggal 3 tahun lalu.
Dari isu yang beredar Pak Karim sudah lebih dari 35 tahun menjaga sekolah ini. Ia bekerja di sekolah ini sebelum ia menikah dan saat usiannya masih mengijak 20 tahun, pak karim sangat loyal dengan SMA ini walau gajinya tidak seberapa.
Aku pernah bertanya kepadanya apa yang membuat pak karim sangat betah bekerja di sekolah ini. ia hanya mengatakan "Ketika aku bertemu kalian semua, aku merasa muda kembali." Begitu kata Pak karim, ia benar-benar sosok yang hangat dengan kumis yang tebal seperti Alm. Pak Raden.
Riella Pov
Dengan berbekal semangat yang aku miliki, aku memasuki kelas dan mendapati meja ku tidak berada pada barisannya, Netra mereka menatapku acuh, perasaan jengkel muncul perlahan-lahan dalam hatiku. Aku, sakit hati dengan perlakuan mereka.
Meja ku berada di belakang kelas, dengan susah payah aku membawanya ke barisan sesuai urutan nama yang tertulis di presensi kelas.
Perundungan ini terjadi lagi, dan aku sasaran empuknya.
Hening, perasaan tidak enak tiba-tiba muncul di dalam hatiku, aku merasa hari ini tidak beres. jangan menangis riella, ini hanyalah masalah kecil. Kamu gadis kuat. Batin ku menjerit.
Hari ini ulangan biologi, ada baiknya aku belajar. Batinku, aku mencari buku biologi di dalam laci namun, tidak menemukan apapun. Cemas, mereka semua sibuk dengan urusan masing-masing. Tidak akan ada yang perduli, sama seperti waktu itu semester lalu.
"Fera, gua boleh pinjem buku Lu ga?" Tanya ku, berharap cemas semoga saja Fera dapat membantuku.
"Ngapain gua pinjemin orang kaya lu." Balasnya dengan sinis.
"Gua butuh banget nih, please." Pintaku, tatapan miliknya menjelaskan semua.
"Mata lu ga liat kalau gua pakai?"
pasti akan sama lagi, hanya Fera teman sebangku ku yang aku kenal lumayan dekat, mungkin.
"Kenapa? Buku lu ilang lagi?" Tanya Fera tiba-tiba, aku terkejut dengan pertanyaan yang datang segara tiba-tiba ini," iya."
"Mau pinjem buku gua?" Tanyanya, ia menyerahkan buku catatannya kepada Riella, "Lu, ga masalah? Bukannya pas awal-awal lu ngga mau?"
"Karena lu melas, gua suka ngeliat orang melas. Lu tuh, harusnya sadar diri aja sih, orang kaya lu ga pantas di sekolah kita. Bikin sakit mata, walaupun gua nggak mau ikut-ikutan hujat lu, cuman kayaknya bully lu, boleh juga," Jawabnya ringan, tidak ada perasaan bersalah sedikitpun dari Fera.
" Gua ga pernah ngusik lu," cicit ku pelan, Fera berdecih.
" Gak akan ada yang percaya sama cctv guru. Lu dengan tenang catat nama kita semua, biar poin kita sekelas di kurangin. Kalau Najwa ga nemuin catatan itu di buku lu, kami bakalan masih baik sama lu tapi, lu di kasih hati minta jantung. Ayo aduin aja sama guru BK, gua nggak takut."
Mata Fera menatapku dengan tajam, "Justru lu harus takut, di jauhin sekelas," ujarnya sengit.
Dengan satu tarikan napas, ingin rasanya aku membalasnya namun percuma juga, tidak akan ada yang perduli.
"Aku mau ke toilet dulu permisi."
Airmata ku turun begitu saja tanpa di minta saat aku menuju ke dalam toilet perempuan yang ada di sebrang kelas, tangis tanpa di minta perlahan muncul beriringan dengan isakan perlahan dari tangis yang aku redam mengunakan tangan kiriku.
SIALAN, aku malahan ngga tau apapun soal buku catatan itu tapi, percuma juga toh mereka sudah mengira aku adalah mata- mata kelas.
Semua permasalahan ini bermula saat kami melakukan upacara penerimaan siswa baru dengan lantang pak Udin mengatakan bahwa di setiap kelas ada mata - mata yang siap mengintai untuk menertibkan sekolah agar disiplin
Dengan melakukan pengurangan point. upacara telah usai, di kelasku berisik tentang mata-mata kelas itu, sang CCTV guru ini.