Ruang Abu-abu

Rieldeeqa
Chapter #8

8. kelas (2)

Suara bel istirahat berbunyi, syukurlah! Aku gagal fokus karena jadi bahan perbicangan di kelas. Perutku sudah keroncongan dan apesnya lagi aku malah di panggil ke kantor saat berjalan menuju kantin.

Aku berpikir akan dihukum oleh Bu Ana karena cengesesan saat jam pelajarannya tadi ternyata tidak. Tujuan Bu Ana memanggilku adalah menyampaikan amanat dari Pak Umar, guru bahasa Inggrisku.

Alasan Pak Umar memanggilku ialah aku di tunjuk menjadi perwakilan sekolah bersama beberapa orang kakak kelas untuk mengikuti lomba resensi yang diadakan setiap tahun dan itu mencakup seluruh Indonesia.

Aku diberikan dua tumpuk buku yang satunya adalah fotocopy-an dari sebuah novel dan yang satunya lagi adalah satu buku tentang ilmu filsafat dan juga hukum pemerintahan.

Pak Umar memberikan buku ini karena melihat lembaran minat dan prestasi yang pernah ku raih.

Aku memang berminat dengan sastra, waktu aku ingin mendaftarkan diri untuk masuk ke jurusan bahasa Indonesia, ternyata aku sudah terdaftar dalam jurusan IPA.

Hal Itu membuatku menyesal namun, menyesali sesuatu yang sudah terjadi itu sama saja dengan menjilat ludahnya sendiri.

Sudahlah terlambat untuk menyesali apa yang sudah terjadi lebih baik aku terus menatap ke depan dan menikmati hidup.

Aku keluar dari kantor dan mengucapkan terimakasih kepada Pak Umar karena memberikan kesempatan untuk kembali berkarya setelah padam akibat larangan keras dari ibu.

Aku memasang kembali sepatuku dengan tergesa-gesa karena istirahat telah usai, kami memang memiliki kewajiban ketika masuk kedalam kantor guru harus melepaskan sepatu tetapi, ada sesuatu yang menganjal dalam pikiranku dan menjadi pertanyaan terbesarku.

Mengapa kami sebagai murid melepaskan sepatu saat memasuki kantor sedangkan guru tidak melepaskan sepatu dan seenaknya masuk ke dalam kantor.

Belum lagi sekolahku selalu mengadakan piket kelas bergilir setiap waktu sehingga membuat hampir seluruh murid resah.

Yah, jujur hal itu tidak perlu di besar-besarkan karena memang sudah kewajibannya seorang murid menuruti semua peraturan sekolah yang terkadang tidak masuk akal.

Ketika aku berjalan keluar dari kantor guru, aku melihat Pak Arkan Sehatullah sedang duduk di meja, guru olahraga sekaligus biologi kelasku itu sedang duduk di meja piket.

Aku menghampiri beliau dan menyalimi tangannya, Aroma kayu manis dan lemon menguar di udara ciri khas pak Arkan yang tidak bisa dilupakan.

"Hei robot!," Sapa Pak Arkan saat aku menyalami tangannya membuatku kesal.

Aku membalas ucapan pak Arkan dengan tersenyum kecut.

'Ya Tuhan, kenapa dipanggil robot lagi sih' Jeritku dalam hati sambil berjalan dengan langkah malas.

Selalu saja ketika aku bertemu dengan beliau selalu saja di panggil; hai robot, pagi robot, siang gini kok cemberut sih robot?

Entah mengapa aku selalu saja di panggil robot oleh pak Arkan, dengan cepat ku langkahkan kaki ku ke kelas, jika bel masukan berbunyi maka tidak akan ada waktu lagi untuk istirahat serta membeli siomay di kantin.

"Aduh!," Pekik seseorang membuatku tersadar dari lamunanku dan justru aku yang terpental karena tubuhnya yang tinggi.

"Maaf, saya enggak sengaja!," Cicitku pelan.

Aku tidak berani melihat wajahnya karena takut.

Apakah ia akan mempermalukanku lagi seperti kejadian SMP dulu, saat salah satu geng siswi yang ditakuti di SMP Tunas Harapan bernama -Destoyer- melabrakku di lapangan.

Lihat selengkapnya