Ruang Bersamamu

F. Chava
Chapter #1

INTERMITTENT FASTING

Aku menyesal tidak melanjutkan diet intermittent fasting. Sebenarnya, sejak beberapa tahun lalu, aku bermimpi memiliki tubuh ideal. Atau setidaknya, tubuh ini ringan untuk dibawa melangkah. 

Bisa jadi, aku terkena karma atas tindakan yang kulakukan di masa lampau. Aku sering menertawai bapak-bapak yang cukup kepayahan membawa tubuh sendiri. Melangkah beberapa puluh meter dengan jalan sedikit menanjak, sudah membuat mereka ngos-ngosan dan kehilangan napas yang normal.

Kupikir, mereka sangat payah. Kemana semangat masa muda mereka? Kenapa tidak bisa menjaga tubuh dan kebablasan sampai perut maju ke depan, sehingga celana pun hanya bisa dipakai dilingkarkan di bawah perut. Lucu sekali. Lucu. Namun yang paling lucu dari semuanya adalah—sekarang, aku pun mengalaminya.

Beberapa tahun lagi, lebih tepatnya 4 tahun lagi, usiaku genap 50 tahun. Tentu bukan usia yang singkat jika mengingat banyak hal yang telah kulakukan. Namun seperti kata pepatah, masa muda adalah masa yang berapi-api. Masa dimana tubuhku jarang dibuat sakit meski aku melakukan hal ekstrim sekalipun.

Dulu, aku bebas melakukan apapun. Gunung kudaki, lautan kusebrangi. Mengendarai sepeda motor tanpa mengenakan jaket di malam hari pun tidak membuat suhu tubuhku naik. Jangankan demam, dingin pun enggan bertandang ke tubuhku yang anti badai ini.

Usia memang gila. Aku merasa tidak melakukan apapun, tapi berat badanku terus saja bertambah. 

“Udahlah, Rud! Kita ini memang udah tua. Jadi wajar kalau gendut,” kata teman kantorku, Syafrie saat aku menolak untuk menambah satu porsi nasi ketika divisi kami sedang mengadakan acara makan-makan bersama.

“Nggak wajar, dong. Kalau gendut, tandanya kita harus diet.”

Tentu aku tidak setuju dengan persepsinya. Tidak ada hal buruk yang diwajarkan begitu saja. Pasti ada yang salah. Entah itu pola hidup atau faktor-faktor lain yang belum terdeteksi. 

“Halah! Nggak perlu diet, Rud,” sambar Syafrie. “Udah punya anak dan istri. Mau ngapain lagi? Umur juga udah mau gocap. Ngapain mikirin penampilan. Nggak ada yang ngeliat juga. Nggak apa-apa gendut, yang penting sehat.”

Ini. Ini yang kubenci dari Syafrie. Sekarang, orangnya terlalu pasrah. Padahal, dulu dia tidak begini. Karakternya selalu berapi-api ketika menjumpai hal-hal baru. Kami dulu satu kampus, juga satu jurusan. Lebih dari seperempat abad usia pertemanan kami. Syafrie yang dulunya selalu enerjik, perlahan mulai kehilangan sinarnya.

Lihat selengkapnya