Bukannya aku tidak mencari tahu. Aku sudah mencari tahu sejak Facebook merebak dan digunakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Aku sendiri sudah memiliki akun Facebook sejak tahun 2009, lalu kuhapus akun itu setelah merasa lelah dengan perdebatan politik yang sangat panas pada tahun 2019.
Tidak ada gunanya bermain medsos jika ujung-ujungnya yang kudapatkan hanyalah pertengkaran. Jadi, kuputuskan untuk menghapus akun Facebook tersebut.
Segala upaya telah kulakukan untuk mencari tahu dimana keberadaannya. Hanya berbekal nama Nadya, tanpa tahu nama lengkapnya, aku mencari di kolom pencarian Facebook.
Pernah suatu kali aku memecahkan rekor hasil pencarian dari nama “Nadya” yang kuketik di kolom pencarian Facebook. Mau tahu berapa jumlah hasil pencariannya yang kutemukan?
1200!
Ada 1200 orang nama pengguna Nadya. Membayangkan jumlahnya saja sudah membuatku bergidik ngeri. Jika aku memilih untuk meng-kliknya satu persatu, tidak ada jaminan aku akan menemukannya.
"Rud, buatlah akun LinkedIn." Syafrie memberi saran.
Setelah menghapus akun Facebook, aku tidak lagi memiliki niatan untuk membuat akun di aplikasi medsos lain sejenis. Aku memiliki rasa kapok yang cukup membuatku enggan untuk menjadi warganet +62 lagi. Toh, tak bermain medsos pun tidak membuatku mati atau ketinggalan berita lokal maupun internasional.
Semakin berumur, aku semakin sadar, hidup ini sejatinya untuk dinikmati–bukan untuk diperlombakan, apalagi dipamerkan. Biarlah orang-orang di luar sana berlomba memposting apa yang mereka lakukan. Sementara aku berusaha untuk menikmati apa yang ada di dalam.
Karena itu, aku menolak usulan dari Syafrie. "Untuk apa?" tanyaku.
"Ya untuk kamu pakai, lah, Rud! Memangnya akun LinkedIn kalau nggak untuk dipakai, dipajang, ya untuk apalagi? Mana bisa dimakan."
Sejak pandemi, teman-temanku–termasuk Syafrie berlomba-lomba membuat akun LinkedIn. Katanya, memiliki akun LinkedIn akan membuat mereka semakin profesional.
Aku yang tak menggilai validasi, merasa apa yang dilakukan teman-temanku sangatlah kurang kerjaan. Bagiku, validasi hanya dibutuhkan oleh mereka yang masih setengah-setengah di bidangnya.
Namun, semua itu berubah ketika Pak Muis memintaku membuat akun LinkedIn karena jabatanku dinaikkan menjadi HR Recruitment. Kata Pak Muis, aku berbakat dalam menilai, memiliki intuisi yang bagus terhadap mencari kandidat yang layak.