"Pulanglah, Rud. Memangnya nggak bisa pulang sekarang?" Suara Ibu terdengar sangat memaksaku untuk pulang. Setiap menelepon, pasti kalimat itu kudengar. Entah di pertengahan percakapan, di awal percakapan, atau di akhir percakapan sebelum aku menyudahi percakapan kami.
Biasanya, aku menelepon Ibu di wartel satu minggu sekali untuk menghemat biaya. Namun, semenjak Januari 1998, Ibu memintaku setidaknya menelepon 3 kali seminggu karena merasa khawatir dengan aktivitas mahasiswa belakangan ini.
Aku paham kekhawatiran Ibu. Aku paham betul. Tidak ada orang tua yang rela anaknya berada dalam bahaya. Apalagi dikondisi yang sedang panas-panasnya ini. Beberapa temanku, termasuk Syafrie mengikuti kegiatan mahasiswa yang memprotes kebijakan pemerintah. Masalahnya, aku sama sekali tidak tertarik dengan kegiatan meng-aktiviskan diri. Sebagai teman, tugasku hanya mengingatkan diri mereka untuk berhati-hati.
Beberapa kali, Syafrie berbicara padaku bahwa geraknya seolah terbatas. Awalnya, aku tak percaya. Namun, ketika aku melihat seorang pria berbadan tegap mengikuti kami saat kami hendak membeli nasi goreng untuk makan malam, barulah aku percaya.
Bandar Lampung tentu berbeda dengan Jakarta. Kondisi di sini yang cukup aman jangan disamakan dengan kondisi di Jakarta. Setidaknya, aktivitas mahasiswa yang bergerak untuk menggulingkan pemerintah–tentunya aku tidak tahu terlalu dalam, tidak terlalu kentara terjadi di sini. Namun, Ibu menyamakan kehidupanku dengan kehidupan mahasiswa di Jakarta.
"Pulanglah, Rud. Ibu takut kamu ditangkap juga!"
Aku menghela napas yang panjang. Sudah berkali-kali kukatakan kepada Ibu, bahwa keadaanku di sini aman sentosa, tapi berkali-kali itu pula Ibu tidak percaya.
"Situasi semakin memanas, Rud. Ibu lihat di televisi, mahasiswa banyak yang hilang dan ditangkap. Ibu nggak mau kamu ditangkap."
Ibu tidak akan tahu ekspresiku yang kesal dan merasa malas dengan kekhawatiran Ibu yang menjurus ke kondisi paranoid.
Sudah kujelaskan berkali-kali, aku tidak suka dengan kegiatan mahasiswa yang melelahkan. Untuk apa aku menghabiskan malam panjang dengan berdialog dan berdiskusi tanpa ujung? Apalagi kalau membicarakan pemerintah. Aku merasa belum layak untuk membicarakan permasalahan negara. Celana dalam dan pakaian kotor saja kucuci satu minggu sekali. Piring kotor saja malas kucuci sehingga aku lebih senang membeli nasi bungkus.
"Aku nggak demo, Bu!" kataku kesal.
"Terus kenapa nggak mau pulang?" tanya Ibu terkesan memburuku. “Kalau kamu pulang, Ibu juga nggak akan was-was mikirin kamu di sana. Suasana lagi genting-gentingnya begini, kamu masih aja nggak mau pulang, bahkan ngotot nggak mau pulang. Kamu itu anak laki-laki satu-satunya! Kalau ada apa-apa dengan kamu, kami semua bisa gila di sini!”
Ingin rasanya kututup saja telepon ini. Aku sudah dewasa dan bisa menjaga diri sendiri. Lagipula, aku bukan tipikal mahasiswa yang senang beraktifitas di jalan. Jika ada hari libur, atau waktu tidak ngampus, lebih baik aku tidur saja di kosan.
Selalu begini. Jika aku melawan satu kali saja perintah dari Ibu, omongannya sudah bisa kutebak. Memangnya aku mau menjadi anak laki-laki satu-satunya di keluarga ini? Kalau Ibu tidak sepuh, lebih baik aku minta lagi saja seorang adik! Untuk apa terlahir sebagai laki-laki tapi dikekang melebihi anak perempuan?