“Kenapa? Muka kamu lusuh gitu!” sela Syafrie saat kami sedang nongkrong berdua di warung kopi.
Seperti yang sudah kubilang, ini memang jatah harian yang harus kubayar agar bisa mencicipi komputer miliknya. Segelas kopi dan seporsi indomie telur. Semenjak dia aktif di dunia aktivis, komputer Syafrie lebih banyak kugunakan. Pemiliknya sendiri asyik berkeliaran membahas kebijakan-kebijakan pemerintah yang menurutku terlalu lelah untuk dibahas. Ya, aku memang lelaki yang lebih memilih untuk menghindari konflik.
Aku tidak suka dengan keributan. Kalau bisa menghindar, lebih baik menghindar. Membuat konflik sama saja mempersulit diri sendiri. Aku tidak mau membuat hidupku dipersulit oleh permasalahan di luar. Mengurus diriku saja sudah sulit, apalagi masalah negara yang terdiri dari ratusan juta penduduk?
Yang benar saja!
Bendera putih akan kukibarkan kalau ada yang mengajakku untuk mengurusi kebijakan pemerintah.
Biasanya, kalau sedang kusut dan lusuh begini, pikiranku carut marut, apa lagi kalau bukan masalah keluarga? Hidupku tak jauh-jauh dari sana. Gebetan saja aku tidak punya. Pacar apalagi! Paling-paling, ya hanya seputar kehidupan keluarga saja. Terutama jika aku dipaksa untuk melakukan sesuatu yang tidak ingin kulakukan.
“Masalah keluarga ya?”
Tebakanmu benar, Saf! Aku memang dibuat lusuh dan kusut karena permintaan Ibu.
"Biasa. Ibu menyuruhku pulang," kataku menjawab jujur.
"Rud... Rud... Kamu ini masih belum paham dengan ibumu, yah?" Syafrie memandangku, lalu menggelengkan kepalanya. “Kondisi sekarang sedang pelik. Apa susahnya pulang sebentar?”
"Memangnya kenapa? Aku kan nggak kemana-mana dan nggak ngapa-ngapain. Yang ikut demo kan kamu dan Donny. Kenapa aku juga yang kena masalah?"
Syafrie menempelkan ujung filter rokok yang berada di sela telunjuk dan jari tengahnya ke mulut. Tak lama, mulut Syafri menghirup benda berbentuk pensil namun tangkas dalam memperbudak penggunanya itu. Asap mengepul saat Syafri menghembuskannya.
"Wajar kalau ibumu khawatir. Kamu kan mainnya sama kami. Beda lagi kalau kamu main sama mahasiswa alim. Memang sih," Syafrie berhenti sejenak dan mengambil gelas kopi di hadapannya. "Nggak jadi jaminan juga kalau kamu berteman dengan anak-anak lain. Pokoknya, mahasiswa sekarang, rata-rata dicurigai. Aku setuju dengan ibumu, mendingan kamu pulang."
"Ngapain? Aku nggak punya kerjaan di rumah. Lebih enak di sini. Aku bisa mainin komputer kamu." Aku menolak usul Syafrie. Di rumah, aku hanya jadi priyayi.
"Oya, harga kopi kudengar lagi naik-naiknya nih. Kenapa nggak minta komputer aja sama mereka? Siapa tahu dikasih."