Ruang Bersamamu

F. Chava
Chapter #8

Seharusnya...

"Ssst!"

Langsung kubekap mulut perempuan itu setelah aku berhasil menarik lengannya. Aku tidak mau napas kami terdengar sampai ke luar. Bisa saja, dua orang tadi masih mencari kami dan berusaha menemukan kami.

"Jangan batuk. Kita aman di sini," kataku lagi.

Dadaku berdebar begitu kencang. Nyaris copot mungkin apabila aku memaksakan diri untuk berlari kencang, sembari menarik lengan perempuan itu agar mau lari bersama. Namun, aku tidak yakin bisa melakukannya. Aku payah dalam olahraga, apalagi lari. Makanya, kuputuskan untuk bersembunyi. Aku sangat sadar diri.

Soal fisik, aku cukup beruntung. Genetik keluargaku memang kurus-kurus, semampai bak kayu lurus. Sampai sekarang, ayahku saja masih bertubuh ideal. Kotak-kotak pada perutnya masih sedikit membekas. Aku yakin, ketika tua nanti akan bertubuh seperti Ayah juga. Tak perlu rajin olahraga, karena genetik keluargaku memang kurus-kurus semua.

Namun, belum tentu orang kurus mampu berlari kencang. Tidak ada jaminan orang kurus bisa berlari kencang, karena berlari dengan benar membutuhkan sebuah latihan rutin sehingga paru-paru mampu bekerja maksimal.

Aku mengintip keluar. Memastikan bahwa dua orang lelaki tegap itu tidak berhasil melihat kami bersembunyi di sini. Sebuah celah menolongku untuk melihat keadaan di luar.

Nyaris saja tadi. Kuakui diri ini memang tidak berpengalaman. Proses menyelamatkan perempuan ini pun, lebih mirip seperti menyerahkan nyawa sendiri alih-alih menyelamatkan orang lain.

Selama 2 tahun tinggal di Bandar Lampung dengan pusat kota berada di Tanjung Karang, aku cukup hafal dengan jalan-jalan di antara ruko yang berderet-deret menembus dari jalan Kartini sampai ke Raden Intan ini. Karenanya, aku cukup percaya diri untuk menolong perempuan itu. Sayangnya, aku tak paham bela diri selain melakukan seruduk-menyeruduk.

Sepasang mataku tidak menangkap bayangan dua lelaki tersebut. Karena merasa aman, aku pun menarik telapak tanganku yang semula membekap mulut perempuan itu.

"Maaf," kataku salah tingkah.

Inilah kali pertama aku memberanikan diri untuk melakukan sesuatu yang tidak berhubungan denganku langsung. Andai aku menutup mata, mungkin aku tidak akan berakhir di sini. Naluri kecil di sanubari ini akan berteriak kencang apabila terjadi sesuatu pada perempuan di hadapanku ini.

Saat ini, kami sedang berada di kios kecil berpintu dan berdinding papan kayu. Kios kecil ini adalah kios nasi uduk yang pada pagi hari baru beroperasi. Sepertinya sih, begitu. Aku hanya menerka-nerka saja. Tidak mungkin kios ini digunakan untuk menjual mie ayam atau bakso sebab aku tidak melihat dandang di sini. Di dalam, terdapat beberapa perabotan dan alat-alat makan. Terdapat juga sisa makanan yang belum dibuang. Sebetulnya, aku juga tidak yakin kalau salah satu papan pada kios ini mudah dibuka dari luar. Untung saja, tanganku yang iseng ini menemukan celah ketika tak punya waktu untuk mencari tempat perlindungan yang lebih nyaman.

Jujur, aku kelimpungan. Menarik tangan perempuan itu di tengah keramaian agar tidak menimbulkan kecurigaan dari dua lelaki berbadan tegap itu adalah kekonyolan paling gila yang pernah kulakukan.

Sayangnya, gerak-gerikku tetap saja ketahuan. Aku menyeruduk lelaki yang satu dengan sekuat tenaga, sementara temannya berusaha menangkap perempuan itu. Dan ketika aku berhasil menabrakkan punggungnya ke folding gate, aku menerjang punggung temannya dari belakang dan langsung menarik tangan perempuan itu dan kami pun segera berlari tanpa menoleh.

Lihat selengkapnya