Nadya mulai bercerita tentang perjuangannya dan teman-temannya di Jakarta. Bagaimana mereka berusaha kabur dari kejaran para intel yang tak pernah putus memburu mereka satu per satu. Sejak awal tahun, hidup mereka tidaklah tenang. Yang satu mengingatkan yang lain untuk bersikap dan bertindak hati-hati di mana pun mereka berada. Sebab, pada akhirnya--yang bisa melindungi diri mereka adalah diri mereka sendiri. Teman tidak bersama selama 24 jam. Siapapun bisa ditangkap, diculik, bahkan menghilang tanpa bisa dimakamkan dengan layak.
Satu hal yang sedari tadi ingin kuutarakan. Apakah perjuangan mereka itu layak dan sama berharganya dengan nyawa mereka? Maksudku--apakah cita-cita itu layak ditukar dengan nyawa manusia?
Apa mereka tidak berpikir bagaimana perasaan orang tua yang menyekolahkan mereka dengan keringat dan darah? Bagaimana pula dengan perjuangan orang tua mereka yang berjuang sangat gigih untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya?
Namun sepertinya, Nadya belum bisa kupotong ucapannya. Dia masih terus bercerita tentang apa saja yang dilakukannya selama di Jakarta. Apa yang dilakukan Nadya ternyata mirip dengan aktivitas Donny dan Syafrie. Tapi, aktivitas Nadya dengan teman-temannya jauh lebih ekstrim ketimbang mahasiswa di sini. Mereka benar-benar berhadapan dengan maut.
"Apakah itu layak?" Akhirnya aku mengutarakannya juga setelah mendapatkan momen yang pas untuk bertanya kepadanya.
Kami tahu, kios kecil ini pasti tidak bisa meredam ucapan kami. Karena itu, sambil berbincang, mata kami tetap memperhatikan keadaan di luar melalui celah antarpapan. Selain itu, kami juga berbicara pelan. Jarakku dengannya tak sampai satu meter. Saat ini, kami duduk berhadapan, dengan kedua lutut tertekuk. Kalau tak begini, kami tak punya jarak untuk bersikap leluasa.
Aku mencuri-curi pandang ke arahnya. Sedari tadi, aku tidak berani memandangnya dengan tatapan penuh. Dadaku terasa kembang kempis melihatnya. Saat kuperhatikan diam-diam, Nadya memiliki hidung yang bangir, rambut lurus menjuntai ke bahu, pipi yang sedikir chubby, dan bibirnya yang mungil.
Tanpa orang perhatikan pun, mereka bisa mengelompokkan Nadya sebagai kaum yang saat ini sedang didiskreditkan. Mungkin, dua intel itu berpikir bahwa kehadiran Nadya dan tindakannya mengundang pekerjaan baru untuk mereka.
"Gimana? Ketemu?"
Tiba-tiba telinga kami menangkap suara itu. Secara otomatis, kami pun langsung menahan napas dan berlagak bagai patung di dalam kios ini. Tentu saja, lebih baik bersesak-sesakan di dalam daripada tertangkap basah. Jika kami tertangkap, aku tidak bisa menjamin apakah kami bisa hidup.
Dua lelaki berbadan tegap tadi bertemu di depan kios tempat mereka bersembunyi. Aku buru-buru mengintip dari celah papan.
Lelaki yang satu menggelengkan kepalanya. "Nggak. Kemana ya mereka? Kok cepat sekali perginya."
"Aku sih nggak percaya mereka udah pergi. Coba kita cari lagi. Sialan, kalau laki-laki krempeng tadi nggak ada, mungkin perempuan itu udah kita bawa ke Jakarta!" Temannya mendengkus kesal.
Aku tahu siapa lelaki krempeng yang dimaksud mereka. Siapa lagi kalau bukan aku? Aku melihat ke bawah, ke arah perutku sendiri, terlihat bagian perutku memiliki sedikit buncit. Krempeng apanya? Huh. Kalau krempeng, aku pasti tidak punya tenaga untuk mendorong dan menerjang keduanya.
Begini-begini, beratku mencapai 63 kilogram! Cukup berisi untuk ukuran mahasiswa. Syafrie saja beratnya hanya 59 kilogram! Apalagi Donny, tingginya memang semampai, tapi beratnya hanya 53 kilogram! Untuk lelaki bertubuh 175 cm, menurutku Donny sangat kurus. Ya, kalau dipikir-pikir, wajar keduanya kurus. Sebab keduanya adalah perokok berat. Kudengar dari mereka berdua, katanya merokok sudah membuat mereka kenyang, tak perlu makan.
"Iya. Bisa jadi omongan kamu benar. Mungkin mereka belum pergi. Bisa jadi hanya bersembunyi. Coba kita lihat-lihat lagi di sekitar sini, ada nggak lorong atau jalan kecil menyempil yang bisa aja dijadikan tempat persembunyian sama mereka?"
"Ide bagus. Sekarang kita berpencar lagi ya. Aku ke sana, kamu ke situ," katanya membagi area.
Kami tetap tidak bicara sampai menyakini bahwa dua laki-laki itu benar-benar telah pergi. Dari kejadian ini aku belajar, setiap tindakan menolong seseorang tentu tidak serta merta memberikan dampak positif saja. Akan tetapi, bisa juga dampak negatif. Buktinya, apa yang kualami saat ini. Karena menolong Nadya, aku harus ikut bersembunyi.
"Rud, tadi apa yang kamu bilang?" tanya Nadya setelah memastikan kedua lelaki itu pergi.
"Yang mana?" Aku sendiri sudah lupa dengan apa yang aku katakan.
"Kamu tadi nanya, apa yang layak?"
"Oh. Iya. Apa yang kamu lakukan dan teman-temanmu itu layak? Apa yang kalian lakukan ini sangat berisiko. Apa kalian nggak mikirin orang tua yang udah susah payah cari uang, tapi kalian malah sibuk sama demo?"