Tenggorokanku mulai terasa kering. Entah kenapa, waktu terasa berjalan lebih lambat. Maghrib belum juga datang. Saat kami mengintip, sesekali ada orang yang melintas. Mayoritas, sih, hanya numpang lewat untuk transit angkot. Selain penumpang yang ingin transit, suara deru mesin kendaraanlah yang menjadi latar keheningan kami.
Tanjung Karang Pusat adalah jantungnya kota Bandar Lampung. Tak lengkap apabila Tanjung Karang Pusat tidak dikaitkan dengan Pasar Tengah. Berderet toko-toko yang menyediakan apapun yang kita perlukan. Di Pasar Tengah ini, toko listrik, toko diesel sampai grosiran baju, semuanya lengkap. Jangan heran, jika mahasiswa sepertiku pun tahu dengan tempat ini. Sebab, untuk selisih harga yang ditawarkan, tentu saja lebih murah.
Selain itu, tak jauh dari kios ini, berjalan kaki lurus selama lima menit, akan terlihat Stasiun Kereta Api Tanjung Karang. Andai Nadya ingin kabur ke Palembang, atau minimal Kota Bumi saja, pasti aku akan mengajaknya menunggu di stasiun saja.
Berlama-lama di kios yang kecil ini, lama kelamaan membuat suasana di dalam terasa pengap. Tidak ada udara yang masuk. Di dalam kios ini juga terdapat beberapa barang yang membuat gerak kami tidak leluasa.
"Aku haus," katanya.
Wajah Nadya mulai berpeluh. Bulir-bulir peluhnya mulai tampak di keningnya yang putih serta bersih dari jerawat. Baru aku memperhatikan, keningnya berkilau ketika cahaya sore memantul dari celah papan. Secara ajaib, pikiranku bergejolak hebat. Aku yang semula menganggapnya sebagai perempuan asing sejam lalu, kini melihat dengan kacamata yang berbeda.
"Sama. Aku juga haus," jawabku.
Berlari sampai kehabisan napas, tak ayal membuat tenggorokan kami terasa kering lebih awal. Sebagai anak muda, rasanya aneh kalau membawa air putih kemana-mana. Di pedagang asongan sampai toko kelontong pinggir jalan pun pasti menjual air putih. Sayangnya, untuk kali ini--aku berharap membawa sebotol air minum untuk melepas dahaga yang semakin terasa.
"Di dalam sini ada nggak ya?" tanya Nadya tiba-tiba. Dia mengedarkan pandangannya ke tumpukan barang seperti piring, gelas, dan alat makan lain yang tersedia. Karena tak menemukannya, dia pun berniat untuk bangun dan mencarinya.
"Kamu waras?" kataku sebelum dia benar-benar menggunakan tangannya untuk membongkar barang-barang di sini. "Tahan dulu kenapa? Sebentar lagi maghrib. Satu jam lagi. Kalau kamu nggak sabaran kayak gini, bisa-bisa orang dari luar bakalan dengar dan bisa aja dua lelaki tadi menemukan kita."
"Iya." Dia mengurungkan niatnya. Aku bisa melihat tangan kanannya yang mulai terjulur ke depan, mulai ditarik kembali.
Aku benar-benar khawatir soal ini. Andai kami tertangkap, sama saja aku menyerahkan nyawa dan mati konyol padahal aku tidak melakukan aksi yang mereka lakukan.
"Kamu kuliah di mana?" Nadya tiba-tiba bertanya.
"Unila," jawabku.
"Universitas Lampung?" katanya menerka.
"Iya."
"Jurusan apa?"
"Pertanian."
"Oh."