Tidak ada yang dapat kami lakukan setelah malam benar-benar bermegah. Sekeliling kami, hanya gelap seluruhnya. Di kios ini, tidak menyala lampu penerangan. Pun kami juga merasa was-was jika menyetek saklar lampu yang menggantung tepat di atas kepala. Di halaman parkir Plaza Pos, terdapat dua lelaki itu. Bisa jadi, mereka menaruh curiga bila melihat kios kecil di hadapan mereka menyala lampunya secara tiba-tiba.
Aku juga tidak berani berbicara. Takut sekali jika dua lelaki di belakang kami menyadari keberadaan kami. Bisikan pelan aku rasa mampu saja menggelitik telinga mereka.
Aroma kecut dari keringat yang kami hasilkan akibat pengap menguar sempurna. Selain aroma kecut dari tubuh kami, aroma tajam dari permukaan kios yang masih berlantai tanah, juga membuat aroma yang kami hirup bercampur-campur baunya. Belum lagi aroma alat-alat makan lain yang menurutku cukup tajam akibat terbatasnya sirkulasi udara.
Tenggorokanku juga semakin kering. Sudah lebih dari lima jam kami menahan haus. Sekarang, selain manahan haus dan bicara, kami juga menahan lapar.
Telapak tangan Nadya tiba-tiba meraba tubuhku. Telapak tangan itu berpindah-pindah seperti mencari tempat yang pas. Dalam gelap, aku mengulurkan tanganku yang semula bersedekap di atas lutut. Segera setelah telapak itu berhasil meraih tanganku, telapak itu berhenti mencari. Kulit kami bersentuhan. Sontak membuat jantungku berdebar-debar.
Apa dia merasakan yang sama? Apa motifnya menempelkan tangannya pada tanganku? Apa dia takut gelap? Jangankan wajahnya, tanganku sendiri saja, aku tak bisa melihatnya. Pandangan kami benar-benar terbatas. Sesekali, kami mendengar deru mesin melintas. Meski tak seramai biasanya. Maksudku, seramai sebelum mahasiswa mulai menjalankan aksinya untuk menuntut terjadinya reformasi.
Tangan Nadya yang menempel pada punggung tanganku mulai terasa basah. Ya, aku rasa--dia memang takut gelap. Aku juga merasakan tangannya gemetaran. Kalau dengan gelap begini saja takut, kenapa ikut-ikutan aksi mahasiswa yang menurutku jauh lebih berbahaya dari pada berhadapan dengan gelap?
Namun meskipun begitu, aku turut senang dengan ketakutannya. Setidaknya, aku merasakan bagaimana debar jantungku saat salah satu bagian tubuh ini disentuh oleh lawan jenis. Aku ingin hal ini terjadi lebih lama. Lebih lama.
"Tidurlah," bisikku pelan. Hanya itu yang bisa aku katakan. Dengan kondisi tak memungkinkan begini, aku tak bisa memberikan ide lain selain tidur. Jika aku mengajaknya untuk kabur sekarang juga, sama saja dengan mengantarkan nyawa kepada dua orang itu.
"Aku takut," jawabnya sama pelan. Aku bisa mendengar bagaimana parau dan takutnya dia. "Aku nggak bisa melihat apa-apa. Aku takut gelap."
"Ada aku di sini." Tanganku yang lain menimpa punggung tangannya. "Kita belum bisa pergi sekarang. Mungkin tengah malam nanti, kalau kurasa memungkinkan, kita bisa pergi saat dua orang itu terlelap."
"Bagaimana mengetahuinya? Kita aja nggak bisa melihat dua orang itu sedang tidur atau nggak," jawab Nadya.
"Mereka pasti capek perjalanan dari Jakarta. Mereka juga manusia, bukan robot, Nad," kataku penuh keyakinan.