Meski napas tersengal-sengal, paru-paru ini tetap kupaksa bekerja lebih keras. Aku memohon kepadamu, bertahanlah sedikit lagi, sedikit lagi. Jika kau tidak bertahan, maka tamatlah riwayat kami--riwayatku, dan termasuk kau.
Tangan Nadya tetap kupegang erat. Tak akan kulepaskan dia. Sambil berlari, aku membatin dalam hati, bertahanlah. Kita tidak mungkin bisa menyamai kekuatan lelaki yang terbiasa hidup di medan perang.
Kemampuan untuk hiduplah yang membantuku untuk sedikit lebih kuat dari biasanya. Bayanganku melesat memikirkan Ibu serta suaranya yang memaksaku untuk pulang. Meski begitu, aku percaya kekerasan hati ini tentu direstui juga oleh Sang Maha. Aku perlu menarik kesimpulan, setidaknya--kekerasan hati ini memiliki dampak positif yang sedang kuupayakan sampai selesai.
Dampak positif itu adalah menyelamatkan Nadya.
Selepas kami melarikan diri tadi, aku langsung berbelok ke kanan. Kami mengitari sisi belakang Plaza Pos, melewati ruko penjual pakaian dan sandal grosiran. Ada satu lokasi yang muncul di kepalaku tiba-tiba. Jika kami berhasil meraih lokasi itu sebelum dua lelaki itu berhasil mengejar kami, aku yakin--kami akan selamat.
Lokasi yang kumaksud adalah Pasar Pasir Gintung.
Banyak sekali jalan bercabang di jalan itu. Aku pernah sekali berkunjung ke sana ketika rekan se-jurusanku mengadakan bazaar untuk acara sosial.
Di jam tiga pagi begini, Pasar Pasir Gintung tentu sudah ramai pembeli. Banyak pedagang makanan yang menggantungkan harapan mereka dengan membeli bahan baku terbaik namun dengan harga yang miring
Kuusahakan tidak menengok lagi ke belakang. Setelah berhasil tiba di jalan raya, posisi kami berbeda satu jalan dengan bank tempatku ingin mengambil uang.
"Kita mau kemana, Rud?" tanya Nadya. Kami berhenti sejenak ketika tangan Nadya yang kupegang sedikit mengeraskan diri. Aku melihat dada Nadya naik turun, dia juga melepaskam pegangan tanganku dan memegangi kedua lututnya. "Rasanya pengen mati. Bisa istirahat dulu, nggak? Kakiku benar-benar pegal!"
"Kita nggak punya waktu lagi, Nad. Kalau kamu istirahat sekarang, bisa jadi kedua orang itu bakalan nyusul dan habislah riwayat kita!" Pekikku. Tentu, aku tidak bisa mengiyakan keinginannya. Bertaruh dengan nyawa begini, bagiku tak ada waktu untuk memanjakan diri.
"Tapi aku nggak kuat lagi untuk berlari! Fisikku sangat lemah," jawabnya tetap pada posisi yang sama.
Dari kejauhan, aku melihat dua lelaki tadi berlari mengejar kami. Tidak, kami tidak punya waktu. Segera, setelah melihat mereka berdua, langsung saja kutarik lengan Nadya tanpa peduli dia menyetujuinya atau tidak, sebab nyawa lebih penting daripada letih yang tak akan bertahan cukup lama.
"Kalau kamu nggak kuat lagi berlari, itu artinya nyawa kita sampai di sini!" Pekikku cukup lantang.
Aku tidak peduli apakah dia tersinggung dengan ucapanku atau tidak. Jantung dan kaki kupaksa untuk bekerja lebih dari semestinya.
Tepat di ujung Jalan Pemuda, kami menyeberangi jalan. Namun, tiba-tiba Nadya berteriak dan genggaman tangannya pun terlepas.
"Tolong aku, Rud! Tolong aku!" Nadya berteriak meminta tolong. Mengulurkan tangannya kepadaku agar kembali kugenggam.
Sosok besar menghalangi pandanganku akan Nadya. Lelaki tegap itu menghalangi, sementara temannya menyeret tubuh Nadya semakin menjauh. Lampu kota berpendar, aku kehilangan akal dan kurasakan jantung ini tidak lagi berdetak sebagaimana mestinya.
Sekujur tubuhku gemetaran. Aku bimbang, mana yang harus kuputuskan?
"Pergilah. Perempuan itu bukan urusanmu," kata lelaki itu dengan suara berat. Matanya menyalang seperti ingin melahapku hidup-hidup.
Aku tetap berdiri, memandangnya dengan rasa takut yang kusembunyikan. Aku tidak bisa pergi begitu saja, nyawa Nadya bergantung kepadaku.
"Kenapa dia ditangkap?" tanyaku kepada lelaki itu.
"Bukannya perusuh negara memang harus ditangkap? Perusuh negara bisa saja membuat negara ini makin sengsara."
"Memangnya apa yang dilakukannya? Tubuhnya kecil begitu."
Lelaki itu tertawa renyah, dan sepertinya juga malas meladeninku. "Kamu kira ini zaman perang? Sudah, jangan banyak basa-basi. Pergilah sebelum saya berubah pikiran," ancamnya.
Aku bergeming. Bingung diantara persimpangan. Naluriku menolaknya dengan keras. Aku harus menolongnya.
"Memangnya apa yang akan Anda lakukan?" tantangku. Walaupun kurasakan kedua tanganku mengalami tremor, bibirku seperti bergetar sendiri, aku sudah memutuskan, aku tidak akan lari.