Aku gagal menjalankan diet puasa air. Seperti biasa, aku memang jago soal berwacana, namun kosong dalam mewujudkannya.
Pada hari pertama berpuasa, aku memang melakukannya dengan menggebu-gebu. Namun, pada hari kedua, aku merasakan diriku tidak bersemangat. Tubuhku luar biasa lemas. Aku bahkan merasa tubuhku ini melayang dan tidak bisa menapak sempurna saat berjalan.
Selain lemas, aku juga merasa cacing-cacing di dalam perutku berteriak meminta makanan.
Sekonyong-konyongnya, tubuhku seperti kehilangan seluruh tenaganya. Maka, kuputuskan untuk menyantap makanan pada hari kedua.
Satu-satunya hal paling sukses yang pernah kulakukan dalam hidupku adalah menyelamatkan Nadya, Nadya Christina Wijaya. Seandainya aku tahu nama lengkapnya, mungkin pertemuan kedua kami ini bisa terjadi lebih cepat.
Hari ini adalah hari yang kutunggu. Aku mengenakan pakaian yang terbaik untuk bertemu dengannya. Tidak lupa, untuk menghibur Ririn yang merasakan api cemburu, aku pun mengajaknya dan Gio untuk pergi bersama.
”Kamu bisa ikut kalau kamu nggak yakin sama kesetiaanku untukmu, Rin,” ujarku kemarin.
Usai aku menyatakan niatku untuk bertemu dengan Nadya, suasana di rumah sangat tidak bersahabat. Hampir seminggu, dia melakukan silent treatment padaku. Apapun usaha yang aku lakukan, dia sama sekali tidak menggubrisnya. Namun, aku juga tidak bisa membohongi perasaanku sendiri.
Aku percaya, tidak ada kesempatan kedua tanpa adanya usaha. Persetan dengan kesempatan kedua. Kesempatan kedua hanya ada jika manusia berusaha. Dan, jika aku tidak berusaha, bagaimana mungkin aku bisa mendapatkan kesempatan kedua itu?
”Untuk apa?” Matanya mendelik tajam. Terlihat sekali keengganannya untuk ikut.
“Aku akan mengenalkanmu sebagai istriku. Rin, dua puluh lima tahun itu bukan waktu yang singkat. Kalau diibaratkan bayi perempuan, mungkin bayi itu udah menikah dan punya satu anak. Kita pergi sama-sama. Kalau kamu nggak mau ketemu dia, kamu bisa lihat apa yang kami dari jauh. Aku cuma nggak mau kamu berpikiran yang negatif.”
”Negatif apanya?! Kata siapa aku berpikiran negatif?” Rautnya seperti menunjukkan ketersinggungan terhadap ucapanku. Aku merasa, apapun yang aku katakan, pasti serba salah di matanya.
Harus kuakui, awal pertama kali aku memutuskan untuk membuka hatiku pada Ririn karena istriku itu memiliki jenis mata yang sama dengan Nadya. Sikap tahu diri yang tinggi dalam diri ini kalau aku tidak bisa memiliki Nadya, membuatku mencari pasangan hidup yang mirip-mirip dengannya. Beruntungnya juga, Ririn bersedia memeluk agama yang sama denganku.
“Kalau gitu, udah, kamu ikut,” kataku bernada perintah. “Kalau kamu nggak mau bertemu langsung, kamu bisa mengamatinya dari jauh.”
Setelah aku mengucapkannya, dia tidak bicara lagi. Jujur saja, aku sadar dengan umur dan hidupku sekarang. Tidak akan kubiarkan diri ini mendua setelah perjalanan panjang yang kami lalui bersama-sama. Aku mencintainya. Aku sangat mencintai Ririn. Dan pertemuanku dengan Nadya kali ini, tak ada maksud sama sekali untuk mendua hati.