Ruang Bersamamu

F. Chava
Chapter #15

Terima Kasih

Diri ini akhirnya berani juga untuk mengutarakannya. Meski harus melakukannya dua puluh lima tahun kemudian.

Tidak mudah bagiku untuk mengajakmu bertemu. Ada rasa yang tidak biasa, yang mengganjal di dalam dada, mengakar dan seperti menghisap sebagian diriku yang lain.

Aku bersyukur bertemu denganmu sekali lagi. Perlu usaha, keyakinan hati dan tekad untuk menghubungimu kembali. Rudy Mulyadi, nama itu terus tertanam dalam ingatan. Juga wajahmu yang tak lekang dalam bayangan di kepala.

Kamu selalu datang ke dalam mimpi. Kamu tidak pernah absen menyapaku dalam mimpi yang kuanggap sebagai perantara di antara kita.

Rud, apa kamu masih ingat ketika aku meminta izin untuk melihat buku tabunganmu? Mungkin kamu bertanya-tanya melalui pesan yang kusampaikan di LinkedIn. Aku sengaja meminjam buku tabunganmu untuk melihat nama lengkap yang kamu miliki.

Lidah ini rasanya kelu dan sepertinya tak lazim menanyakan nama lengkap seseorang yang baru kita kenal. Karena itu, aku memilih untuk mencuri informasi tersebut dari buku tabunganmu.

Oya, apakah selepas kita berpisah, kamu berhasil membeli komputer impian? Jika ya, ah, aku pikir kamu tidak sabar atau memang takut sesuatu yang tidak diinginkan semakin parah terjadi.

Dua puluh lima tahun berselang, kurs dollar ternyata tak pernah lebih dari enam belas ribu rupiah. Apa kamu masih ingat, kurs dollar sewaktu kita terjebak di kios kecil itu? Enam belas ribu rupiah, Rud! Bayangkan betapa berpengaruhnya perjuangan para pejuang reformasi saat itu. Sehingga hari ini, kurs yang sama kita jumpai di tahun yang berbeda. Tentunya, inflasi yang terjadi selama dua puluh lima tahun terakhir bukan seratus, dua ratus, atau tiga ratus persen, melainkan ribuan persen!

Apa kamu masih ingat, ketidaksetujuanmu dengan apa yang aku dan teman-temanku lakukan? Sekarang, kamu lihat hasilnya, bukan?

Syafrie dan Donny berhasil mengantarku dengan selamat sampai tujuan. Dua bulan setelah pelarianku, Papa dan Mama menelepon, terjadi kerusahan besar di Jakarta. Toko kami habis dijarah massa dan adikku pun turut menjadi korbannya. Adikku yang malang, Widya, kala itu masih berusia tujuh belas tahun, harus menjadi korban kebiadaban orang-orang yang mengatasnamakan Tuhan atas tindakan mereka.

Aku minta maaf karena baru bisa menemuimu sekarang. Setelah Widya berpulang, Papa dan Mama memaksaku untuk pergi ke New Zealand dengan sisa uang tabungan. Mereka tidak ingin aku mengalami hal serupa. Karena mataku yang tidak memiliki lipatan, juga kulitku yang putih, bisa saja di masa depan, aku mengalaminya, karena karakteristik tubuhku ini menjadi penyebab terjadi tragedi yang menimpa Widya.

Aku tidak punya pilihan lain waktu itu. Padahal, sebelumnya, aku berniat ingin menjumpaimu. Namun, ketika aku tiba di kosanmu, kudengar dari penjaga dan beberapa penghuni di sana, kalian bertiga memilih untuk tidak melanjutkan kuliah sementara waktu. Kalian bertiga mengambil cuti secara mendadak. Mungkinkah itu disebabkan karena menyelamatkanku? Karena mungkin saja dua intel itu mencari kalian?

Lihat selengkapnya