RUANG DAMAI PANCAWARNA

Nurul Awaliyah
Chapter #1

Biru: Ambang Mimpi dan Kenyataan

"Halo, halo, hai, hai. Satu, gue heran kenapa harus cerita gue yang ditulis di bagian pertama? Emang semenarik itu, ya? Dua, selain yang gue ceritakan, lo kan tahu banget tentang diri gue. Tahan-tahan jari lo dan pilih mana cerita yang wajib lo tulis dan simpan hal-hal yang haram lo tulis. Tiga, mohon gunakan gaya bahasa yang gue banget. Gue kirim voice note aja, ya. Lo rangkum deh. Semangat. Lo tahu, kan, gue sayang banget sama lo." - Digta.


Jujur saja, gue agak kaget ketika Andrea muncul di groupchat dan mengajak kami berlima kumpul secepat mungkin. Di antara kami berlima Andrea cukup jarang dalam hal mengusulkan pertemuan. Sampai hampir satu jam belum ada satu pun yang menolak atau menerima ajakan Andrea. Mungkin mereka masih berpikir waktu yang pas untuk kami mengadakan pertemuan lagi. Masalahnya baru dua minggu yang lalu kami bertemu dan mengoceh 12 jam penuh. Pada akhirnya gue orang pertama yang balas Andrea di groupchat. Gue bilang gue siap kapan saja asal harus weekend. Secara gue nggak pernah lembur kerja kalau weekend. Mana mungkin anak bos perusahaan dikasih jadwal kerja lembur di akhir pekan.

Entah bagaimana detilnya kesepakatan itu dibuat karena gue nggak memantau lagi groupchat, pertemuan terjadi hari sabtu sore di ruang damai. Empat hari sebelum gue mengirim voice note ini.

"Gue pengin nulis." Andrea melontarkan kalimat pertamanya ketika menyadari pandangan mata kami berempat kepadanya menyiratkan rasa penasaran dengan maksud dan tujuan dia mengajak berkumpul pada hari itu.

"Terus lo mau minta gue bantu lo buat ngetik, gitu?" celetuk Gladys.

"Jadi Andrea yang selalu sok sibuk sekarang punya banyak waktu luang sampe punya rencana nulis segala?" Gue ikut memberikan komentar.

"Bukannya selama ini lo emang nulis?" Arumi yang bertanya dengan nada paling normal.

"Nulis apa?" Gue rasa pertanyaan Handika ini yang paling manusiawi.

"Tentang lo semua. Tentang kita. Tentang ruangan ini dan apa-apa yang terjadi di sini pun yang kita bicarakan di sini." jelas Andrea.

Kami diskusi cukup panjang, gue nggak yakin apakah gue yang harus menceritakan proses diskusi panjang kami atau salah satu dari mereka berempat. Yang pasti hasil akhirnya kami sepakat untuk menyetujui permintaan Andrea. Lalu dua hari setelah pertemuan itu, Andrea kirim pesan pribadi ke gue.

"Dig, gue mau lo jadi orang pertama yang bercerita. Cerita apa pun yang mau lo ceritain. Tentang diri lo, tentang hidup, tentang kita berlima. Thank you."

Gue sebetulnya bingung harus mulai dari mana. Sebenarnya dari hati gue yang paling dalam awalnya ada sedikit, sedikit banget rasa nggak setuju sama ide ini. Cerita kita dijadikan tulisan kayak gini. Gimana, ya? Gue merasa ini nggak akan menarik. Tujuannya apa? Gue penasaran. Buat Drea, lo ngaku aja deh. Lo bersikeras nulis kisah kita ini cuma buat mewujudkan obsesi lo jadi penulis, kan? Bagus banget gue jadi orang pertama yang bercerita di sini, biar lo pikir ulang akan meneruskan tulisan ini atau nggak.

Apa yang harus gue ceritakan? Gue harus mulai dari mana? Mulai dari apa yang gue pikirkan atau mulai dari apa yang gue rasakan? Mulai dari apa yang gue lihat atau dari apa yang gue dengar? Dre, gue bukan pencerita yang baik. Kalau kisah ini nggak pernah jadi dan akhirnya nggak pernah dibaca oleh orang lain, lo jangan salahin gue. Tugas lo buat mengemas cerita ini jadi lebih hidup dan menarik. Tapi ada hal yang selalu begejolak dalam hati gue dan selalu ingin gue ceritakan.

Gue kadang berpikir kalau hidup gue ini cuma sekadar mimpi. Bisa saja gue hanya seseorang yang hidup di dunia mimpi. Bisa saja semua ini nggak nyata. Memang ada orang yang benar-benar sadar bahwa hidupnya ini nyata dan semua yang terjadi ini adalah kenyataan? Gue nggak yakin.

Gue selalu mendapatkan apa yang gue inginkan. Gue nggak pernah merasakan kekurangan. Jadi gue berpikir ini hanya mimpi. Mimpi yang mungkin semua orang ingin wujudkan.

Contoh ketika gue lulus kuliah lima tahun lalu, semua kenalan gue bahkan sahabat gue yang lulus juga pada saat itu mulai bingung menentukan langkah baru untuk hidup mereka. Mencari tempat untuk benar-benar menyalurkan ilmu yang sudah mereka dapat. Mencari pekerjaan yang tujuannya bukan cuma untuk menambah pengalaman, tapi juga untuk jaminan bagaimana mereka akan hidup di masa depan.

Sedangkan gue? Satu minggu setelah wisuda, pintu masuk perusahaan bokap gue terbuka lebar-lebar. Tanpa harus mengurus berkas, tanpa harus antre wawancara, tanpa harus menunggu apakah gue diterima atau nggak.

Nah, sampai sini lo masih mau lanjutin nggak, Dre? Tolong sabar dan tingkatkan kekuatan lo untuk menulis ocehan gue yang random ini.

Tapi kadang gue juga sadar hidup gue ini nyata dan segala hal yang gue alami ini kenyataan. Gue melihat, gue mendengar, gue bisa sentuh apa-apa yang ada di hadapan gue. Satu lagi, gue merasa kesakitan padahal tangan gue cuma kegores pisau, darah yang keluar juga cuma setetes. Apalagi kalau sampai kampak yang gores tangan gue dan sampai putus. Rasa sakit bikin gue lebih sadar kalau ini semua adalah kenyataan.

Dan di sinilah gue sekarang, di ambang mimpi dan kenyataan. Gue cuma manusia biasa yang berharap cuma hal baik saja yang terjadi di kehidupan gue dan hal buruk biar terjadi dalam mimpi gue. Gue egois dan gue bilang. Tapi kenyataannya gue memang manusia biasa yang nggak bisa mengatur apa saja yang harus terjadi dalam hidup gue.

Salah satu kejadian yang bikin gue sangat berharap kalau semua ini mimpi adalah hari itu. Hari di mana untuk pertama kalinya gue nangis sejadinya. Hari di mana rasanya dunia runtuh. Hari di mana gue bahkan nggak merasa bahwa gue hidup. Tatapan mata orang yang gue temui seolah-olah merasa kasihan sama gue. Rasanya menambah keinginan gue untuk banting semua barang mudah pecah belah yang ada di dekat gue terus gue injak-injak sampai benar-benar hancur. Hancur sehancur-hancurnya seperti hati gue pada saat itu. Nyokap gue mendadak meninggal karena serangan jantung dan gue bahkan nggak ada di dekatnya di saat-saat terakhir. Gue berharap semua itu cuma mimpi, tapi rasa sakitnya terlalu nyata sampai membuat gue sadar itu semua memang kenyataan.

"Lo mau kayak gini terus? Sampai kapan? Life must go on, Digta. Ini kenyataan yang harus lo hadapi. Yang mati udah nggak bisa hidup lagi. Yang hidup nggak seharusnya merasa mati."

Gue masih ingat Gladys orang pertama yang menerobos masuk ke kamar gue untuk menyeret gue kembali melanjutkan hidup. Tangan Gladys hampir melayang ke muka gue. Sampai saat ini gue masih penasaran, kenapa dia nggak jadi nampar gue? Mungkin kalau dia benar-benar nampar bisa bikin gue lebih cepat sadar dan melanjutkan kehidupan gue. Tapi gue juga bersyukur dia nggak jadi nampar, gue terlalu keberatan kalau dia jadi cewek pertama dan satu-satunya yang pernah nampar gue. Karena sampai detik ini di umur dua puluh enam tahun nggak ada cewek yang pernah nampar gue.

"Lo nggak akan pernah tahu apa yang sedang gue rasain, Dys. Nggak semudah itu."

"Terus lo mau gue ngerasain, gitu? Lo berharap nyokap gue mati juga biar gue ngerti?"

"Bukannya itu yang lo inginkan?"

"Sialan, lo." Gladys melayangkan botol parfum ke arah kepala gue. Lemparannya tepat sasaran. Selamat Gladys, lo cewek pertama dan satu-satunya yang pernah lempar botol parfum ke kepala gue sejauh ini.

Yang hidup nggak seharusnya merasa mati. Tapi gue sudah terlanjur merasa mati. Gue mati rasa. Bahkan botol parfum kaca yang dilempar Gladys saja enggak bikin gue merasa sakit. Itu nggak ada apa-apanya. Gue sudah merasa sakit jutaan kali lipat dari itu.

Hari ketujuh setelah nyokap gue meninggal, masih banyak tamu yang datang. Sebetulnya pada saat itu gue masih nggak sanggup menerima kenyataan, apalagi menerima tamu. Pertanyaan mereka selalu sama dan jawaban gue pun selalu sama. Hal itu malah menambah rasa sakit yang gue rasain. Gue harus terpaksa menceritakan apa yang enggan gue ceritakan.

Sampai pandangan gue tertuju pada rombongan anak-anak yatim dari panti asuhan yang ikut mendoakan nyokap, bahkan tanpa permintaan dari gue atau bokap. Mereka tulus. Beberapa dari mereka sampai meneteskan air mata. Saat itu gue tahu ternyata nyokap gue donatur tetap untuk panti mereka. Saat itu juga gue baru tahu kalau nyokap rutin berkunjung ke sana dan main sama anak-anak itu.

"Mama nggak nyangka kamu udah segede ini, Dig. Rasanya baru kemaren Mama gendong-gendong kamu. Semua anak-anak tuh sama lho, Dig. Enggak jauh beda. Lazimnya mereka melakukan hal-hal yang sama." Gue baru ngerti sekarang kenapa nyokap waktu itu ngomong gini.

Melihat anak-anak itu nangis membuat rasa sakit gue ini sedikit berkurang. Nggak tahu kenapa. Bahkan gue bahagia karena mungkin doa-doa mereka punya kesempatan lebih besar untuk dikabulkan Tuhan buat kebaikan nyokap di alam sana. Doa-doa dari anak yang masih suci, belum punya dosa. Beda dengan gue. Mungkin gue merasa hidup gue lurus-lurus saja. Tapi siapa tahu kalau gue melakukan banyak dosa yang nggak gue rasakan atau nggak sengaja gue lakukan.

Pandangan gue beralih ke bokap. Dari hari pertama nyokap meninggal, itu baru pertama kalinya lagi gue melihat wajah bokap. Sebelumnya gue nggak berani. Tapi ternyata raut bokap nggak seburuk yang gue bayangkan. Bokap masih sanggup menyambut tamu dengan senyuman, dibandingkan gue yang lebih banyak mengalihkan pandang. Bokap masih kelihatan rapi, dibandingkan gue yang selama enam hari bahkan nggak punya tenaga buat mandi.

Tiga bulan setelah kejadian, semua orang sudah terlihat normal. Anggota keluarga lain yang biasanya datang juga sudah nggak kelihatan. Bokap juga sudah sibuk dengan bisnisnya. Dunia sudah tampak baik-baik saja, kecuali gue. Kuliah gue jadi bolong-bolong. Kumpul di ruang damai juga gue cuma bisa diam. Mati rasa.

"Kita nggak bisa kayak gini terus, Dig."

"Maksud Papa?"

"Kita harus hadapi dan mulai menerima kenyataan. Hidup harus terus berlanjut."

"Digta juga berusaha, Pa. Hanya belum terbiasa. Pelan-pelan."

"Kita butuh seseorang yang bisa bantu kita melanjutkan ini semua. Papa harap kamu bisa terima."

Lihat selengkapnya