Aku tidak menyangka Digta bersedia jadi orang pertama yang bercerita dan aku tidak menyangka Digta menceritakan hal menyakitkan itu sebagai bagian awal yang harus kutulis. Beberapa kali aku bertanya apakah ia yakin cerita itu yang harus kutulis. Beberapa kali juga ia meyakinkan kalau hal itu memang harus kutulis. Di balik betapa santainya ia bercerita, aku tahu ada sesak ketika ia harus memanggil memori mengerikan itu lagi. Suara Digta masih bergetar kalau sedang membicarakan mendiang Ibunya, padahal itu terjadi enam tahun yang lalu.
"Dig, gue turut terluka atas kejadian ini." Satu-satunya kalimat yang bisa terlontar dari bibirku saat Ibunya Digta meninggal. Digta memelukku erat seerat ia memeluk tiga sahabat kami yang lainnya.
"Dre, kayaknya gue nggak sanggup. Nggak akan ada yang tahu betapa hancurnya gue saat ini." bisik Digta saat memelukku.
Hari itu untuk pertama kalinya aku melihat Digta sangat kacau. Pertama kalinya melihat ia menangis bahkan meraung di hadapan pusara Ibunya. Betapa aku bersyukur saat itu Digta menunjukkan sisi terlemah dirinya pada kami. Setidaknya kami sedikit memberimu kekuatan, kan?
Setelah semua prosesi pemakaman selesai, aku malu ketika keempat sahabatku mendapati diriku tengah menangis tersedu di salah satu sudut rumah Digta. Arumi dan Gladys dengan cepat meraih dan memelukku.
"Nggak apa-apa, nggak apa-apa, lo kalau butuh nangis, ya nangis aja." Gladys mencoba menenangkanku saat itu. Aku tahu Digta langsung sadar akan sesuatu pada saat itu.
"Penderitaan yang gue alami hari ini membuat gue lupa bahwa lo juga pernah merasakan penderitaan yang sama. Gue minta maaf." Permintaan maaf dari Digta sebelum aku meninggalkan rumahnya.
Banyak orang yang pernah mengalami hal serupa, seperti aku yang pernah mengalami hal yang sama dengannya, jauh sebelum Digta mengalaminya dan bahkan itu terjadi sebelum kami saling mengenal. Ketika mendapat kabar kalau Ibunya meninggal, hatiku berkecamuk. Memori itu mendadak berlarian di kepalaku. Seluruh anggota tubuhku mendadak lemas. Tapi saat itu bukan waktunya untuk ambruk.
Melihat Digta yang menangis meraung sejadinya membuatku bertanya-tanya apakah rautku sekacau itu saat Ibuku meninggal. Saat Digta berbisik padaku kalau ia tidak sanggup dan sangat hancur, aku bahkan tidak bisa menjawab apa pun. Meskipun kami pernah mengalami hal yang sama, tapi aku tidak bisa memastikan apakah aku atau Digta yang lebih hancur. Aku bahkan tidak berani untuk menjawab "Gue ngerti perasaan lo, Dig. Gue pernah di posisi lo."
Respon dan rasa sakit setiap orang akan berbeda bahkan ketika dihadapkan pada persoalan yang sama persis. Bukan saatnya untuk berlomba-lomba menyuarakan siapa yang lebih hancur dan menderita. Bukan saatnya untuk merasa luka orang lain jauh lebih kecil dibanding luka diri sendiri. Aku dan Digta sama-sama kehilangan seorang Ibu. Tapi kami sampai saat ini tidak pernah saling mengumbar pengertian.
"Gue ngerti perasaan lo."
Kami tidak pernah saling bertukar kalimat seperti itu. Aku tidak mengerti secara pasti apa yang Digta rasakan, begitu pun sebaliknya. Apakah aku masih sangat terluka? Ataukah Digta yang jauh lebih terluka? Kami tidak saling tahu. Seberapa sering aku merindukan Ibuku dan seberapa sering Digta merindukan Ibunya? Kami pun tidak saling tahu.
"Kita kuat, kan? Gue tahu lo kuat, Dre."
"Gue tahu lo kuat, Digta."
Kami jauh lebih sering bertukar kalimat seperti itu. Bagiku, ketika orang terdekatku mengetahui dan percaya bahwa aku kuat jauh lebih menenangkan daripada orang yang sok tahu tentang seberapa terlukanya diriku. Lebih baik bagiku ketika orang percaya bahwa aku kuat dibandingkan orang yang meyakinkanku untuk percaya bahwa mereka mengerti perasaanku.