"Beberapa orang selalu mengeluh karena mawar memiliki duri; aku bersyukur bahwa duri memiliki mawar." Alphonse Karr.
Terbiasa hidup di Jakarta hampir sembilan tahun tak serta merta membuatku paham akan kota ini. Aku masih selalu meraba-raba. Mana yang aman dan mana yang akan membahayakan. Mana yang akan membuatku jatuh dan mana yang dengan sukarela membuatku bangkit. Mana sahabat dan mana musuh. Kadang aku terjebak oleh situasi, kadang aku dijebak oleh manusia. Itu semua membuat rasa percayaku pada dunia jadi berkurang beberapa persen.
Kadang merindukan kampung halaman dan ingin pulang saja menyerah pada keadaan. Kadang merasa betah dan menganggap tempat ini adalah pelarian yang paling tepat untuk aku mencapai tujuan. Semua aku rasakan sampai menangis sudah jadi kebiasaan. Tenaga yang kupunya memang cuma tersisa untuk menangis saja. Mengeluarkan air mata memang hal yang paling berguna agar perasaan yang berkecamuk ini tiada. Marah-marah bagiku hanya akan jadi hal yang sia-sia.
Seperti malam itu, aku hanya bisa duduk di kursi parkiran kantor. Delapan jam penuh selalu tak cukup untukku sampai harus mengambil lembur agar mendapat tambahan rupiah yang masuk ke rekening setiap bulannya. Lelah, tapi salah satu obat mujarabku terpampang nyata di layar ponsel. Sebuah foto lima orang konyol sedang berpose konyol yang kujadikan wallpaper. Baru beberapa detik aku menatap layar ponsel, salah satu orang di foto itu meneleponku.
"Halo, Dys. Kenapa?" Secepat kilat aku menerima teleponnya, tak ada alasan untukku menunda.
"Lo tau nggak kenapa Andrea ngajak kita ketemuan secepatnya?" tanya Gladys di telepon.
"Andrea? Ngajak kita ketemuan? Kapan?"
"Lo belum buka WA?"
"Sorry, Dys. Gue tadi masih ada kerjaan, belum sempat buka WA."
"Gue kira lo udah tau. Bales, deh. Kayaknya kita bakal ketemuan lagi minggu ini. Gue sih udah setuju.”
"Oke, oke. Thanks udah kasih tau."
"Di mana lo? Udah balik? Mau gue jemput? Kebetulan gue lagi di jalan."
"Baru mau balik. Nggak usah, gue bawa motor."
"Oke. Tiati. See you."
"Oke. Thanks."
Setelah Gladys memutus sambungan aku langsung membuka groupchat, membaca pesan Andrea dan yang lainnya. Aku hanya langsung menyetujui, lagipula aku punya waktu luang di hari yang mereka sepakati. Meski sebenarnya aku pun tak tahu apa tujuan Andrea mengajak kami semua kumpul.
Masih malam yang sama di kosan sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil, aku menelepon Andrea. Selain rasa penasaran yang amat sangat tinggi, aku juga cukup khawatir. Ini bukan hal yang biasanya Andrea lakukan.
"Halo, Dre. Ngapain lo?"
"Baru balik, Rum. Kenapa?"
"Lo nggak apa-apa, kan?"
"Maksudnya?"
"Nggak biasanya aja lo tiba-tiba ngajak ngumpul. Ada apa?"
"Ohhh, jadi ceritanya lo cemas sama gue, gitu?" Tawa renyahnya terdengar.
"Gila, lo. Ya, nggak biasanya aja mendadak kayak gini. Biasanya segala sesuatu tentang lo selalu terencana. Ini malah ngotot secepatnya."
"Ntar aja hari Sabtu gue jelasin."
"Awas aja ya kalau ternyata bukan hal yang penting-penting banget."
"Emang biasanya kita kumpul karena hal yang penting-penting banget?"