"Nih." Aku menyerahkan helm pada Andrea.
"Kenapa kita nggak ketemuan langsung di kafe aja? Saya bisa naik gojek."
"Sekalian aja, kebetulan saya lagi deket-deket sini. Digta sama Gladys udah sampe di kafe. Tahu sendiri kan kalau kita telat mereka ngomelnya kayak gimana?"
"Mereka udah ada di sana? Kesambet apa? Wah, perubahan yang sangat signifikan dari raja dan ratu ngaret."
"Entahlah. Udah naik aja." Aku membersihkan jok bagian belakangku karena ada sedikit debu di sana.
"Nggak bocor ke Arumi, kan? Bukan kejutan dong namanya kalau kita ketahuan lagi nyari hadiah buat dia."
"Nggak, rencana ini cuma kita berempat yang tahu. Aman." Kami berempat janjian mencari sesuatu untuk Arumi. Sebagai hadiah atas diangkatnya dia menjadi karyawan tetap di tempatnya bekerja. Kerja keras Arumi selama lima tahun, akhirnya terbayar setimpal.
"Gimana? Kamu udah pilih cerita mana yang harus saya tulis?"
"Tujuannya apa?"
"Iseng. Coba-coba."
"Iseng? Coba-coba? Buat apa?"
"Ya ... kalau nggak mau ya nggak apa-apa. Nggak maksa juga."
"Arumi bilang beberapa hari lalu kamu ketemu sama dia. Dia bilang kamu kayak ada sesuatu yang disembunyikan."
"Dasar Arumi."
"Udah sembilan tahun lho, Dre."
"Iya, Dika. Sembilan tahun. Gila, ya."
"Kalau ada masalah tuh cerita."
"Emang saya nggak pernah cerita?"
"Terserahlah."
"Dih, kok ngambek. Terserah kamu mau dukung dan bantu aku nulis cerita ini atau nggak. Nggak konsisten. Kemarin excited, sekarang kayak gini. Terserahlah." Dia meniru gaya bicaraku.
Apa pun tujuan Andrea, aku yakin pada akhirnya kita semua akan tahu. Malam itu juga setelah berhasil dapat hadiah untuk Arumi, aku memberikan beberapa lembar kertas berisi tulisan tanganku. Aku tidak pandai menulis, kuserahkan pada Andrea untuk membuatnya lebih layak baca.