RUANG DAMAI PANCAWARNA

Nurul Awaliyah
Chapter #6

Pancawarna: Truth or TRUTH

Hari di mana kami akan memberi kejutan pada Arumi dalam rangka merayakan keberhasilannya diangkat menjadi karyawan tetap di kantornya. Terpaksa kuterima tawaran Virza yang ingin mengantarku karena setelah beberapa lama menunggu tidak ada tukang ojek yang menerima orderanku.

"Thanks, Za. Lain kali saya traktir kamu kopi." ucapku setibanya di ruang damai seraya mengembalikan helm yang tadi kupakai.

"Janji, ya? Aku tagih lho, Dre. Jangan ingkar." Virza mengajakku melakukan pinky promise.

"Oke. Telepon saya aja kapanpun kamu mau ngopi." Aku menyambut ajakan pinky promise-nya. Agar ia cepat-cepat pergi dari sana. Aku merasa canggung karena Gladys, Handika, dan Digta terlihat jelas mengintip dari jendela. Aku yakin mereka bergosip sesuatu dari dalam sana.

"Sorry ... sorry. Ojek gue nggak dateng-dateng. Udah beres semuanya?" Aku langsung cepat-cepat masuk selepas Virza pergi.

"Terus kenapa lo nggak minta gue jemput? Itu siapa?" Digta menginterogasi.

"Lo emang bawa motor? Kalau pake mobil butuh waktu banyak untuk lo sampe kantor gue dan butuh waktu lebih banyak lagi untuk kita sampe sini. Tau sendiri kan Jakarta macetnya kayak gimana kalau jam-jam pulang ngantor kayak gini."

"Kan, ada motor saya, Dre." Handika ikut protes.

"Gue juga lewat kantor lo. Tau gitu gue jemput lo. Gue kira lo bawa mobil sendiri jadi gue nggak memberikan penawaran untuk nebeng." Gladys ikut-ikutan memberi komentar. Bukan hal aneh ketika kami saling protektif satu sama lain.

"Hah? Apaan nih? Kok Happy Birthday?" Aku salah fokus pada balon huruf yang ditempel di dinding. Sekaligus mengalihkan pembicaraan.

Handika dan Digta geleng-geleng kepala dan mengedikkan bahu. Gladys nyengir kuda sambil mengeluarkan jurus jari V. Sudah pasti ia tersangkanya.

"Dys, gimana sih lo? Masa happy birthday? Gagal dong?" Sungguh aku sangat putus asa saat itu.

"Ya ... sorry, Dre. Gue nggak sadar, gue langsung beli-beli aja. Buru-buru juga." Gladys dengan ekspresi memelas.

"Mana ulang tahunnya masih lama. Gue merasa bersalah untuk Arumi. Kita udah nggak ada waktu buat ganti. Fokus dong fokus, mikirin cowok mulu sih lo." Mulut Digta memang terkadang cukup pedas.

"Sorry. Ntar gue sendiri yang minta maaf sama dia." Gladys masih berusaha. Aku yakin ia juga merasa bersalah.

"Udah ... udah. Mending kita siap-siap. Anaknya barusan ngabarin dia udah deket-deket sini." Handika melerai perdebatan konyol ini.

"Kadonya mana kado? Lo nggak lupa kan, Dys?" tanyaku padanya.

"Ini, ini, ini. Gue udah rapi-rapi. Udah gue bungkus." Gladys menunjukkan sebuah kotak kecil berwarna toska. Kami menghadiahi Arumi sebuah jam tangan. Alasannya klasik, agar di mana saja dan kapan saja ia bisa tetap mengingat kami.

Handika memegang cheeseburger pizza kesukaan Arumi. Aku mencoba menyalakan lilin di atasnya. Gladys siap menyambutnya di depan pintu. Digta si raja jahil tengah sibuk mencari topeng muka rata untuk mengejutkan Arumi.

"Cilukkkbaaaa." Digta benar-benar mendalami perannya sebagai hantu muka rata. Spesies hantu yang paling ditakuti oleh Arumi. Otomatis Arumi langsung berteriak dan merengek karena terkejut sekaligus ketakutan.

"Surprise ... selamat lo udah berhasil jadi karyawan tetap dan semoga lo sukses terus kedepannya." Kami langsung memberikan ucapan selamat dengan kompak padanya yang masih ketakutan. Handika langsung memeluk Arumi yang ketakutan. Tangisnya pecah dalam pelukan Handika. Entah karena masih ketakutan atau karena terharu. Kemudian kami bergantian memeluk Arumi, lantas saling berpelukan. Sudah seperti teletubbies.

Kami mempersilakan Arumi untuk tiup lilin dan make a wish. Semua dari kami melakukan make a wish. Entah apa harapan mereka, tapi harapanku cukup banyak dan panjang saat itu.

Lihat selengkapnya