"Senang?" Handika mengantarkanku pulang setelah merayakan diangkatnya aku menjadi karyawan tetap di kantor.
"Banget. Thanks. Aku udah nggak tahu lagi harus berterima kasih kayak gimana sama kalian."
"Apaan, sih. Sesuatu yang membahagiakan udah seharusnya dirayakan, kan?"
"Thank you. Mau minum dulu nggak? Tapi udah mau tengah malem, alamat ditegor lagi ibu kos."
"Haha. Nggak usah. Bentar lagi juga cabut. Numpang ngadem dulu bentar, ya."
"Lima menit aja, ya."
"Emang kamu nggak takut kebayang-bayang hantu muka rata?" Entah kenapa mereka semua suka menggodaku dengan hantu muka rata.
"Rese lo. Cabut sana." Kuusir saja dia. Kemudian aku menyadari ponselku berbunyi. Lekas aku menjawab telepon dari orang menyebalkan lainnya.
"Kenapa, Dig?"
"Si Digta." ucapku pada Handika memberi tahu kalau Digta yang meneleopon. Dia merespon hanya dengan anggukan.
"Seneng lo? Ngomong sama siapa, Rum?" tanya Digta.
"Senenggggg banget. Super duper seneng. Thank you. Dika, dia masih di sini."
"Loudspeaker coba. Gue mau ngomong." perintah Digta. Aku langsung menyentuh tombol loudspeaker.