Gue ngerti kami nggak selalu bisa kumpul lengkap berlima. Tapi gue selalu berharap kalau nggak bisa setidaknya kasih alasan yang jelas. Sudah sembilan tahun, bukan hanya satu atau dua tahun. Seharusnya saling tahu apa yang harus dilakukan. Setelah semuanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing, dalam satu bulan kami hanya bisa kumpul lengkap berlima setidaknya dua atau tiga kali. Gue selalu berharap semuanya lengkap.
"Udah dong, Dig. Nggak usah ditekuk mulu itu muka. Jangan kesel-kesel." kata Arumi ketika kami sampai di depan kosannya.
"Ya ... gue kesel aja. Udah kita ngumpulnya makin jarang banget. Sekalinya kumpul nggak lengkap. Nggak jelas juga alesannya."
"Soal Andrea, lo kayak yang nggak tahu aja. Kerjaan dia kan yang kita tahu banyak. Belum lagi ayah sama masnya yang protektif banget, bisa jadi dia nggak diizinin keluar. Soal Gladys, paling dia hangout sama gebetannya."
"Gue cuma worry sama mereka. Gladys sama Andrea kayak ada yang ditutupi. Elo juga. Kalian bertiga nyimpen rahasia, kan?"
"Lho? Kok gue? Kok jadi gue? Nggaklah. Sejak kapan kita semua ada rahasia? Udahlah, Dig. Jangan dibawa serius kayak gini."
Apakah gue terlalu sensitif? Gue juga nggak habis pikir kenapa gue secemas ini.
"Nih, Handika nelepon. Bentar." Arumi menerima telepon dari Handika. Kemudian rautnya menjadi panik.
"Ada apa?"
"Gimana dong, Dig? Kita harus ke kantor polisi sekarang. Gladys kena masalah dan sekarang ditahan. Handika bilang dia sama Andrea udah dijalan mau ke kantor polisi."
"Maksud lo?"
"Udah, kita ke sana aja supaya tahu permasalahannya. Gue juga nggak ngerti ada apa."
Gue dan Arumi langsung menuju ke kantor polisi yang Handika maksud. Entah masalah apa yang Gladys alami. Yang pasti saat itu gue semakin cemas.
.....