RUANG DAMAI PANCAWARNA

Nurul Awaliyah
Chapter #11

Abu-abu: Jernih

Apakah kalian pernah menyembunyikan sesuatu dari sahabat kalian? Mungkin pernah. Pasti ada hal-hal yang tidak bisa kita ceritakan, bukan? Aku yakin keempat sahabatku juga punya hal yang ingin mereka simpan sendiri. Meskipun pada akhirnya mereka memberi tahu, tapi pasti itu pun butuh waktu. Dan memang, kadang aku juga merasa cemas. Apakah mereka berempat baik-baik saja? Membuatku berharap mereka akan selalu bicara. Meski tidak selamanya bisa membantu, tapi minimal aku tahu kalau mereka sedang tidak baik-baik saja.

Tapi pikiranku mulai jernih saat ini, sehingga aku sedikit mengerti atas apa yang Digta katakan malam itu. Cemas itu bukan hanya milik Digta, tapi milik kami semua. Aku mengerti bagaimana cemasnya ia ketika salah satu dari kami sembunyi atau menyembunyikan sesuatu. Kuharap ketika tiba waktunya aku mengatakan sepenuhnya tentang aku dan hidupku, mereka masih ada dan bersedia. Mulai saat ini, perlahan akan kuceritakan satu per satu. Semuanya.

Dua minggu setelah kejadian Gladys malam itu, kami semua sedikit diam. Kembali kepada kesibukan masing-masing. Groupchat juga tidak terlalu ramai. Tanpa canda, tak jarang hanya sekadar mampir untuk hanya memastikan bahwa semua baik-baik saja. Setelah itu sepi kembali. Beberapa kali aku hanya memgobrol dengan Gladys dan Arumi di telepon. Dua minggu tanpa pertemuan, ada sedikit rindu yang ingin dipuaskan.

Hal ini normal terjadi, bukan satu atau dua kali. Bahkan pernah satu bulan penuh kami tidak bertemu sama sekali. Yang awalnya kukira dunia ini sangat sempit sampai bisa mempertemukan kami yang berasal dari ujung yang berbeda, sekarang aku merasa Jakarta saja terlalu luas sampai tidak memberi kesempatan bagi kami untuk berpapasan satu kali saja di salah satu sudut kota ini.

"Halo, Rum. Kenapa?" Malam itu tiba-tiba Arumi meneleponku.

"Drea, apa gue bisa minta tolong?"

"Untuk? Ada apa? Ngomong aja, Rum." Aku mendadak khawatir dengan nada suara Arumi yang terdengar panik.

"Bisa antar gue pulang? Ibu gue sakit, Dre. Dan gue sepertinya harus buru-buru ke sana. Tolong gue, Dre."

Aku segera meraih kunci mobilku, memakai jaket, dan memasukan baju ganti karena sudah malam dan sudah pasti butuh menginap setidaknya satu malam.

"Ke mana, Dre?" tanya Ayah ketika melihat aku turun terburu-buru.

"Drea mau antar Arumi, Yah. Ibunya sakit dan jam segini nggak mungkin ada kendaraan buat ke sana."

"Maksud kamu? Kamu mau nyupirin dia sejauh itu? Itu jauh, Dre. Ayah nggak izinkan. Ini sudah malam. Bahaya."

Aku memutar otak bagaimana caranya agar Ayah setuju. "Handika, Yah. Handika yang nyetir. Drea mohon, sekali ini aja."

Ayahku hanya mengangguk. Aku memberi isyarat padanya agar tidak khawatir. Segera aku keluar dan menelepon Handika agar segera menuju kosan Arumi.

"Turun, biar saya yang nyetir." perintah Handika setibanya aku di sana. Aku duduk di kursi belakang untuk membantu membuat Arumi tenang.

.....


Kami tiba di rumah Arumi jam empat pagi, setelah sebelumnya mengunjungi Ibunya di rumah sakit. Syukurlah, semua baik-baik saja dan tidak ada yang perlu terlalu dikhawatirkan terkait kondisinya. Saat itu baru pertama kalinya aku melihat raut wajah Arumi yang benar-benar panik.

"Tenang, Rum. Ibu pasti baik-baik aja. Mana Arumi yang selalu tenang setenang warna toska?" Aku sedikit menggodanya agar ia tidak terlalu tegang lagi.

"Bisa aja, lo. Gue tenang kok, tenang banget sekarang. Maaf, gue jadi ngerepotin kalian berdua. Bapak gue trauma lihat ibu sakit sampe kayak gitu. Dia takut ibu sakit kayak dulu jadi dia buru-buru hubungi gue. Dan gue langsung minta tolong kalian."

"Kayak sama siapa aja. Apa pun itu, kamu tinggal kabari, nggak usah sungkan." Handika mencoba menenangkannya lagi. "Kamu sudah kabari Digta sama Gladys? Mereka tahu, kan? Mereka juga pasti cemas soal keadaan di sini."

"Udah kok, Han. Aku sudah kabari. Digta semalem nggak angkat telepon gue katanya lagi ada kerjaan. Gladys lagi ... ibunya ... jadi ..."

Telingaku mendadak berdengung dan suara Arumi jadi samar-samar terdengar. Puluhan jarum seperti sedang menusuk-nusuk kepalaku secara bergantian.

Lihat selengkapnya