Aku merasa lega karena Arumi dan Andrea masih mempercayaiku untuk dimintai pertolongan. Mereka benar-benar tahu kalau aku akan melakukan hal apa pun untuk mereka. Bagiku, terbuka dan tidak ragu dalam meminta tolong di antara sahabat itu wujud dari eratnya hubungan persahabatan itu sendiri. Aku selalu merasa lega ketika mereka berempat mempercayaiku untuk ada di saat mereka kesulitan. Bersama-sama dalam menghadapi naik dan turunnya keadaan dalam hidup akan membuat hubungan kami semakin erat.
"Dika, thanks ya sudah mau anter aku pulang. Bikin kamu capek semalaman nyetir."
"Apaan sih, Rum. Santai aja. Aku serius lho ketika aku ngomong akan melakukan hal yang sanggup aku lakukan untuk kamu, Digta, Gladys, dan Andrea."
"Oke. Oke. Percaya, deh. Percaya banget."
"Gimana? Udah ngerasa tenang?"
Arumi mengangguk dengan yakin. "Tenang. Aku yakin ibu nggak akan kenapa-kenapa."
"Mungkin ibumu kangen sama kamu. Udah lama juga kan anaknya jadi orang yang super duper sibuk di Ibukota. Kamu paling pulang kampung dalam setahun cuma beberapa kali, kan."
"Haha. Bisa aja. Tapi serius lho, semalem aku sempat nggak bisa pake "jurus tenang" sama sekali. Rasanya panik aja."
"Wajar kali, Rum. Toh, merasa nggak tenang dan sedikit panik itu manusiawi. Kamu berhak merasakan hal itu."
"Pokoknya, thanks banget."
"Arumi ..." Kadang aku tidak mengerti, kenapa aku sangat suka memanggil nama Arumi.
"Ya?"
"Nggak, manggil aja."
"Haha. Apaan sih, lo." Dia menepuk pelan bahuku. Mendadak kami jadi saling tatap. Dua detik kemudian kami jadi saling canggung. Situasi macam apa ini?
"Aku sama Drea pamit ya, Rum. Pokoknya kalau ada apa-apa telepon aja. Selalu kabari."
"Siap, Pak Handika! Hati-hati, jagain aset bangsa ini. Jangan sampe orang sama mobilnya lecet. Bisa digebukin lima orang sekaligus."
"Lima orang? Siapa?"
"Gue, Digta, Gladys, ayahnya, kakaknya. Kamu tahu kan kalau dia itu aset bangsa dan tanah air ini?"
"Gila, lo." Kami berdua tertawa pecah.
Arumi selalu membuatku kagum. Kecerdasannya, kerja kerasnya, dia yang selalu fokus untuk masa depannya, dan dia yang selalu jadi sumber ketenangan untuk kami berempat. Kata-kata yang Arumi ucapkan selalu menenangkan. Dia pendengar yang baik dan tidak pernah menghakimi. Aku tidak tahu bagaimana kalau tidak ada Arumi. Selain memang kami dekat, situasi kami hampir mirip. Sama-sama harus kuat untuk keluarga kami. Sama-sama menjadi orang yang harus bertanggung jawab atas hidup keluarga kami. Banyak hal yang kami bicarakan berdua. Hidup kami sama sekali tidak mudah.
"Rum, sebenarnya kamu cape nggak, sih?" tanyaku padanya waktu itu. Aku tidak ingat kapan tepatnya, yang pasti saat itu aku sedang merasa sangat lelah dengan pekerjaan.
"Capek? Emang kamu lagi ngerasa capek?"