RUANG DAMAI PANCAWARNA

Nurul Awaliyah
Chapter #13

Merah: Hangat. Beban. Melepaskan?

"Tenang, lo hanya butuh beberapa kali lagi untuk memeluk dan meraih nyokap lo duluan. Kalaupun memang selamanya harus begitu, kenapa nggak?" kata Arumi.

"Dipeluk, memeluk. Diraih, meraih. Mendekap duluan atau didekap duluan. Apa bedanya? Semua sama, pada akhirnya hangat yang tercipta, kan?" kata Andrea.

"Jangan hitung seberapa sering elo memeluk duluan atau orang yang lo sayang memeluk lo duluan. Pada akhirnya lo akan sadar itu bukan inti masalah." kata Handika.

"Setidaknya nyokap lo ada, dan elo ada. Dua hal yang ribuan kali lebih penting dibandingkan mempermasalahkan siapa yang ngeraih atau diraih." kata Digta.

Kenapa teman-teman gue jadi makin pada pinter ngomong? Dan semua omongan mereka itu cukup menarik gue keluar dari perasaan-perasan takut itu.

Perceraian orangtua gue membuat gue sering merasa sendiri. Selalu dihadapkan pada sebuah pilihan, tinggal dengan bokap atau nyokap. Seolah gue sama sekali nggak punya tempat buat menetap. Dulu sekolah gue berantakan, bisa lulus SMA saja rasanya sudah syukur. Meneruskan kuliah juga mau nggak mau. Tapi Tuhan mengirimkan empat orang buat menolong gue.

Awalnya gue nggak mau menceritakan apa yang terjadi dalam hidup gue. Gue nggak mau mereka tahu betapa berantakannya hidup gue saat itu. Betapa mindernya gue berkumpul dengan orang-orang yang luar biasa. Hidup mereka seperti sebuah hidup yang sempurna. Lambat laun, secara perlahan satu per satu dari mereka terbuka. Ada masalah-masalah yang mereka alami. Ada beban-beban yang mereka tanggung sendiri. Lambat laun juga gue jadi terbuka. Apa yang terjadi dalam hidup gue bukanlah hal yang memalukan untuk dibagikan ke orang-orang yang gue percaya dan sayang. Apa salahnya menceritakan kesulitan gue?

Adakah yang berbeda dari sikap mereka ke gue setelah gue menceritakan semuanya? Apakah mereka menjauh? Nggak sama sekali. Justru mereka semakin mendekat. Punya masalah dan punya persoalan hidup itu bukanlah dosa. Yang dosa itu menjadikan hal negatif sebagai pelarian. Untungnya, gue selalu diproteksi oleh mereka berempat agar jauh dari hal-hal negatif. Pelarian gue ya kumpul dengan mereka. Hanya mereka yang bisa gue percayai. Kejadian malam itu sampai gue ditahan adalah perbuatan orang yang menganggap gue rendah dan menjebak gue.

Malam itu setelah kejadian, gue merasakan sesuatu hal yang luar biasa dan nggak bisa gue jelaskan dengan kata-kata. Melihat teman-teman gue berlari buat memeluk gue, dan pertama kalinya gue melihat nyokap berlari untuk memeluk gue. Malam itu gue mendapatkan semua yang gue inginkan dalam satu waktu.

"Halo, Rum." Gue menelepon Arumi yang masih di kampung halamannya.

"Hai, hai, Dys. Kenapa? Kangen?"

"Ge-er. Gimana, ibu lo udah lebih sehat? Kapan lo balik? Kantor lo udah nyuruh lo lembur, tuh."

"Haha. Gue tiga hari lagi di sini, Jumat sore juga gue udah di Jakarta."

"Serius? Berarti Sabtu atau Minggu bisa kali kita kumpul?"

"Bisa, bisa. Lo atur aja."

"Oke. Kayaknya anak-anak juga bisa. Secara kita udah sebulan nggak kumpul lengkap."

"Kangen banget pokoknya." teriakannya membuat kuping gue sakit. "Dys ..."

"Ya, apa? Kenapa?"

"Are you okay?"

"Menurut lo?" Gue jadi senyum-senyum sendiri.

"Bener sih. Pertanyaan gue bodoh banget. Udah jelas sejelas-jelasnya elo sangat okay, dan pasti sangat happy."

"Haha. Gue sangat okay. Tapi gue nggak mau merasa sangat happy. Gue mau happy secukupnya aja. Yang paling penting, gue sekarang merasa hangat banget."

"Wah, lo kesambet siapa? Jadi bijak banget. Haha." Tawa Arumi kencang sekali.

"Anjir. Bergaul sama elo semua gue jadi begini. Tapi gue sangat-sangat bersyukur."

"Gue nggak mau pisah. Semuanya bakal stay, kan?"

"Apaan sih lo. Ya bakal stay lah, Rum. Emang lo pikir Handika mau ke mana? Ikut perang dunia ketiga dan menyelamatkan bangsa-bangsa? Emang lo pikir gue mau ke mana? Gue nggak ada niatan ke mana-mana. Emang lo pikir Andrea mau ke mana? Emang lo pikir Digta mau pindah ke Mars?"

"Hahaha. Ya kali siapa tahu lo semua mau mencari sesuatu yang baru atau pengin eksplor sesuatu."

"Nggak mungkin. Kita nggak boleh lagi pikirin hal-hal yang buat kita takut." Tumben sekali gue punya pemikiran seperti ini.

"Nah, setuju."

Gue nggak mau lagi memikirkan atau membayangkan hal-hal yang akan membuat gue takut. Sekalipun suatu hari nanti akan tiba waktunya untuk kami memasuki fase baru kehidupan, ikatan ini nggak akan pernah putus.

"Tapi kalau lo punya rencana untuk melakukan sesuatu atau pergi ke suatu tempat, kita harus tahu ya, Rum."

"Mau banget tau?" ledeknya.

"Anjir emang. Nggak harus sih. Tapi jangan mendadak. Gue nggak siap."

"Kebayang nggak sih. Ntar udah pada nikah, punya anak. Handika junior, gue junior, Andrea junior, Digta junior, elo junior."

Pecah tawa kami saat itu.

Lihat selengkapnya