RUANG DAMAI PANCAWARNA

Nurul Awaliyah
Chapter #14

Pancawarna

Toska


Menghabiskan jatah cuti sepuluh hari liburan di kampung halaman. Tak bisa dibilang liburan juga sih sebab sibuk mengurusi urusan rumah selama Ibu masih belum benar-benar sehat. Setelah Ibu jauh lebih sehat dan mulai beraktifitas seperti biasa, aku memutuskan untuk langsung kembali ke Jakarta. Kembali ke kehidupan nyata. Pekerjaan sudah menunggu di kantor. Tapi beruntungnya aku masih bisa istirahat setidaknya dua hari, sebelum akhirnya masuk kerja lagi di hari Senin.

Jumat sore tiba di terminal, mereka berempat yang mendeklarasikan bahwa mereka adalah sahabat sejati tapi tak ada satu pun yang menjemputku. Untung aku punya rasa toleransi yang tinggi. Memaafkan karena mereka punya alibi yang cukup kuat, belum pulang kantor. Padahal barang bawaanku cukup banyak. Tas gendong berisi beberapa baju dan oleh-oleh yang Ibu titipkan untuk keempat sahabat tersayangku. Aku merasa Ibuku jauh lebih menyayangi mereka jutaan kali lipat dibandingkan dia menyayangiku.

"Keripik ini jangan lupa ya, Rum. Ini kesukaannya Handika lho ... Kerupuk ini bawa ya, Rum. Jangan lupa lho buat Gladys ... Bawa strawberry yang banyak ya Rum, Andrea sama Digta kan hobi banget makan strawberry." Begitulah kiranya kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Ibuku.

Tak ada yang lebih kurindukan dari Jakarta selain mereka berempat. Benar-benar tak ada. Apalagi kami sudah merencanakan untuk kumpul dan menghabiskan malam Minggu di ruang damai. Rindu ocehan-ocehan mereka, karaokean, makan-makan. Lumayan buat refresh otak sebelum akhirnya berkutat lagi dengan urusan kantor.

Sampai di kosan dengan mengandalkan jasa ojek online, langsung disambut dengan kondisi kamar yang sudah bagai kapal pecah. Baru ingat saking paniknya dapat telepon dari Bapak kalau Ibu sakit, tak terpikirkan olehku untuk membereskan kosan dulu. Baju bekas pakai masih menggantung, sudah jadi sarang nyamuk dan siap untuk dicuci. Kasur yang berantakan dan sprei yang butuh dicuci. Hilang sudah harapan untuk bisa bersantai-santai mengobati capek dan pegal setelah empat jam perjalanan.

Ponselku berbunyi, nama dan foto Gladys tertera di layar. Anak yang dari kemarin tak ada kabar. "Halo, Dys. Masih ngantor lo? Sibuk amat."

"Di mana lo? Udah sampe kosan?" Suaranya terdengar lesu.

"Baru nyampe banget. Kenapa?"

"Do you miss me? Mau dibawain apa?"

"I do miss you. Apa ya? Apa aja deh. Bawa yang seger-seger, ya. Minuman apa kek. Ditinggal sepuluh hari nggak ada yang berubah, Jakarta masih panas."

"Oke. Tunggu ya."

Dia menutup teleponnya setelah aku mengiyakan. Ada apakah dengan dirinya? Kok suaranya terdengar lesu? Patah hati? Mana mungkin. Sambil menunggu Gladys datang dengan makanan dan minuman yang dia janjikan, aku langsung mandi dan merendam apa-apa yang harus kucuci.

"Nih. Pesenan lo." Satu jam kemudian Gladys datang dengan sekotak pizza dengan rasa favorit dan kopi mahal yang terkenal. Aku begitu riang gembira.

"Thank you. Gue kangen banget sama lo." Kami berpelukan untuk melepas kangen. "Bentar, gue pasang sprei dulu." Aku beralih untuk memasangkan sprei baru ke kasur busaku.

"Ibu lo udah sehat, Rum?"

"Sehat. Udah mulai kayak biasa lagi sih."

"Syukurlah. Senin lo mulai masuk?"

"Iya dong." jawabku bersemangat, walau sebenarnya tak semangat-semangat banget.

"Rum ..."

"Hmm?"

"Rum ..."

"Hmmmm?" Aku masih sibuk memasang sprei.

"Rum ..."

"Apaan? Ram Rum Ram Rum." Selesai memasang sprei aku langsung duduk di sampingnya dan siap menyantap sepotong pizza.

"Besok kita jadi nginep di damai?"

"Jadilah. Emang kenapa? Jangan bilang lo nggak akan ikut, Dys."

"Gue ikut kok. Kapan lagi coba. Bisa jadi tahun depan udah nggak sama-sama lagi." Rautnya mendadak serius.

"Kenapa?"

"Ya ... nggak apa-apa. Ya kali tahun depan tiba-tiba ada yang nikah."

Aku tertawa. "Iya. Ada yang mau dijodohin sama pengusaha batu bara, kan? Ke mana tuh anak belum bales WA gue lagi. Kenapa nggak lo ajak ke sini sekalian?"

"Hmm ... ya kali gue harus muter-muter jalan dulu kalau jemput dia di kantornya."

"Dia sama Digta udah biasa lagi? Atau masih kesel-keselan?"

"Entahlah."

"Kok entahlah?"

"Rum ..." Gladys memposisikan duduknya menjadi berhadapan denganku.

"Kenapa?" Aku heran kenapa rautnya menjadi sangat serius.

"Gue takut." Gladys seperti orang yang hampir menangis.

"Takut apa, Dys? Ada masalah? Soal nyokap lo? Soal bokap lo? Atau apa?"

"Gue takut aja kalau Tuhan ngambil sesuatu yang berharga buat gue." Air matanya mulai jatuh. Entah kenapa lagi perempuan satu ini. Tapi aku tahu kalau dia sudah menangis berarti ada suatu hal serius yang dia hadapi. Secara Gladys adalah orang yang kuat dan cuek. Sekalinya menangis pasti karena dia memang sedang kesulitan. Aku pun saat itu hanya bisa memeluknya karena belum tahu apa masalahnya. Seseorang harus dibiarkan tenang dulu saat kesulitan, jangan langsung diberondong pertanyaan tentang inti permasalahan. Itu namanya sopan santun.

"Tuhan berhak ngambil apa pun dari gue. Tapi nggak harus secepatnya juga." lanjut Gladys tersedu.

Aku mengusap punggungnya sambil menerka kira-kira apa yang terjadi karena aku belum berani bertanya. "Lo tenang, Dys. Lo tahu kan jurus tenang gue selalu ampuh? Tenang. Meskipun gue nggak tahu apa yang sedang lo hadapi saat ini. Tapi semua bakal baik-baik aja."

Tangisnya semakin pecah. Dan kenapa aku jadi berpikiran aneh-aneh. Firasatku jadi ikut jelek.

"Gue nginep sini aja kali ya, Rum?"

"Oke. Lo ganti baju pake baju tidur gue aja. Masa iya mau tidur pake baju kantor." Aku mulai mengajaknya bercanda lagi. Kemudian menyerahkan satu setel baju tidur kepadanya. Dia beranjak ke kamar mandi. Gladys memang sulit ditebak. Dia bisa sangat ceria. Bisa sangat sedih.

"Rencana apa lagi yang lo buat untuk kedepannya, Rum?" tanya Gladys ketika kami tiduran sambil menatap langit-langit kosan. Saat itu sudah hampir tengah malam.

"Apa, ya? Nggak ada sih. Kayak gini juga gue udah nyaman."

"Yakin? Nggak ada hal yang mau lo eksplor apa? Atau misal cari suasana baru?"

"Nggak. Gue cenderung setia dan konsisten. Kalau gue udah nyaman ya udah. Rasanya gue nggak mau buang tenaga buat sesuatu yang baru dan mulai dari nol."

"Kita nggak pernah tahu sepenuhnya seratus persen tentang orang lain ya, Rum. Sedekat apa pun pasti ada yang kita nggak tahu."

"Hmm ... gue rasa gue tahu tentang lo sepenuhnya."

"Soal Digta?"

"Gue tahu."

"Soal Handika?"

"Gue juga tahu."

"Soal Drea?"

"Gue rasa elo sama Drea orang yang paling gue tahu dan kalian orang yang paling tahu gue."

"Berarti lo tahu apa yang sedang gue pikirkan sekarang? Lo tahu apa yang gue rasain sekarang?"

"Setidaknya gue tahu saat ini ada hal yang sangat mengganggu lo."

"Gue ngantuk, Rum. Night."

Dia mengganti posisinya jadi membelakangi diriku. Aku hanya harus bersabar menunggunya untuk bercerita.

.....


"Kita harus bawa apa aja? Apa ntar di jalan kita beli sesuatu? Enaknya beli apa ya?" tanya gue pada Gladys yang sibuk memasukan barang-barangnya ke bagasi mobil.

"Aman. Konsumsi ditanggung Digta. Kita cuma tinggal makan enak. Santai-santai karaokean." Anak ini tadi malam nangis-nangis tak jelas, hari ini sudah kelihatan happy maksimal. Syukurlah. Semoga acara malam ini akan lebih kasih dia energi positif.

"Dys, lo udah tanya Drea mau bareng kita apa nggak?"

"Udah. Dia bilang bawa mobil sendiri." Dia menutup bagasi mobilnya. "Beres! Yuk langsung cabut."

Butuh waktu satu jam untuk sampai di ruang damai. Jakarta sedang macet-macetnya sore itu. Sampai di sana ternyata cowok-cowok rese itu belum kelihatan batang hidungnya. Hanya ada Andrea yang duduk di teras ruang damai.

"Kok nggak masuk?" tanyaku padanya.

"Kuncinya nggak di gue. Dipegang Digta."

"Semuanya?"

Dia mengangguk.

"Rese tuh orang. Terus kita nunggu di luar kepanasan gitu?" omelku.

"Kita tunggu di mobil aja. Lebih adem. Di sini panas." ajak Gladys. Aku mengikutinya, usul yang bagus.

"Drea, ngapain lo? Ikut masuk mobil gue. Di luar panas." perintah Gladys pada Andrea. Aku merasa nada bicara Gladys tak seperti biasanya. Pada akhirnya kami bertiga masuk mobil. Gladys duduk di kursi kemudi. Aku di sampingnya. Andrea di kursi belakang.

"Cowok-cowok ini pada ke mana coba? Udah sepuluh menit lho kita kayak gini. Cowok nggak bertanggung jawab." Aku terus berkomentar. Krik, krik, krik. Tak ada yang menanggapi. Atmosfirnya tak seperti biasa. Setelah lima belas menit tapi cukup hening.

"Dys, gue ..."

"Ya, Dre. Kenapa?" Gladys langsung memutar posisi duduknya dan melihat Andrea. Mereka berdua aneh.

"Gue mau ke toilet. Numpang yang di minimarket aja." Andrea keluar dari mobil. Tak lama Gladys menyusul dan menutup pintu mobilnya agak keras. Aku yakin mereka sedang ada sesuatu. Mungkin sedang saling salah paham? Tapi sebelumnya tidak pernah terjadi. Entahlah. Aku tersentak ketika seseorang tiba-tiba mengetuk kaca mobil.

"Buka."

"Lo ke mana aja sih, Dig. Panas tau kita nunggu lo berdua dateng. Pada ke mana dulu sih. Heran."

"Sorry ... sorry. Ada beberapa hal yang kita harus beli. Gladys sama Drea ke mana?"

"Tuh ..." Aku menunjuk ke arah mereka berdua yang baru saja keluar dari minimarket. Suasana di antara mereka sepertinya belum berubah.

Kami semua masuk ruang damai. Handika langsung menyalakan speaker untuk menyetel lagu. Digta langsung sibuk membereskan keresek-keresek yang dia bawa. Aku, Gladys, dan Andrea langsung menyerbu cokelat-cokelat yang Digta bawa.

"Giliran yang enak-enak aja gercep banget." celetuk Digta.

"Ini rasa apaan aja sih dalemnya? ..."

"Oh ada tulisannya, Rum ..."

"Lo mau rasa apa? ..."

"Lo kayaknya suka yang asem-asem deh ..."

"Gue yang dalemnya ada rasa strawberry kali ya."

"Ini nih. Kalau Drea lo biasanya nggak suka asem. Berarti yang campur oreo." Gladys memberikan sepotong cokelat kecil pada Andrea.

"Thanks, Dys. Lo yang mana ... si Digta bisa juga beli beginian ..."

Aku terlalu overthinking. Melihat mereka yang sudah seperti biasanya, membuatku jadi lega. Tak ada yang lebih membahagiakan selain melihat semuanya baik-baik saja.

"Kalian mau lagu apa ..."

"Ini mana makanannya? Kok ayam mentah? ..."

"Pizza mana? ..."

"Kampret, siapa yang mau masak ..."

"Bareng-bareng lah ..."

Entah bagaimana aku sekarang kalau sembilan tahun lalu tak berkenalan dengan mereka. Apakah situasiku lebih buruk dari sekarang? Atau mungkin lebih baik? Tak ada yang tahu. Tapi sedetik pun aku tak pernah menyesal dan tak akan pernah menyesal. Bersama mereka adalah salah satu hal yang selalu disyukuri jutaan kali lipat dibandingkan hal-hal baik lain yang terjadi dalam hidup seorang Arumi.


.....



Biru


"Tante, boleh saya tanya sesuatu?" tanya gue ke istri bokap gue. Jujur gue masih belum bisa panggil dia Ibu atau Mama padahal kita sudah serumah kurang lebih lima tahun. Tapi dia nggak pernah keberatan, bokap gue juga nggak pernah menuntut gue untuk melakukan hal yang belum mau gue lakukan. Di rumah gue juga ada anggota baru yang lahir tiga tahun lalu, anak mereka. Saat itu juga gue agak kesal, sedewasa itu gue baru punya adik? Tapi lama-lama, gue juga pada akhirnya hanya harus menerima, kan? Tapi bokap sekali lagi nggak pernah maksa gue untuk apa pun. Gue hanya pernah gendong bayi itu empat kali. Saat dia pertama kali lahir, ulang tahun pertama, ulang tahun kedua dan ketiga. Dan selama ini gue cuma diam-diam melihat dia setiap gue pulang kerja. Terlalu canggung kalau gue ajak dia main di hadapan bokap atau istrinya.

"Tanya apa, Dig? Tanya aja."

"Bumbu yang diolesin ke ayam bakar itu apa aja ya bahannya? Bikinnya gimana?" Gue menanyakan ini sebelum berangkat ke ruang damai. Gue malu sebenarnya nanya ini. Tapi empat sahabat gue itu nggak ada yang bisa diharapkan. Tiga cewek yang selalu malas kalau sudah berurusan sama hal perdapuran, apalagi Handika.

"Buat apa, Dig? Atau mau sekalian Tante yang bikin aja?"

Gue langsung tersenyum lebar. "Saya ada acara sama temen-temen, Tan. Memang boleh?"

"Temen-temen kamu yang itu? Yang suka dateng ke acara ulang tahun Darren? Ya bolehlah, masa nggak."

"Iya, Tante. Temen-temen yang itu. Makasih, Tante." Gue memang selalu ngajak mereka berempat untuk dateng ke setiap acara ulang tahun bayi yang namanya Darren itu. Mereka selalu dateng, bahkan saat Darren sunat juga mereka dateng tanpa diundang. Nggak tahu malu. Segitu randomnya teman-teman gue, Tuhan.

Gue cuma nunggu setengah jam, bumbu ayam bakar gue sudah jadi. Gue menyiapkan kompor kecil, alat bakaran, dan beberapa alat pelengkapnya. Gue tahu seharusnya ini tugas cewek-cewek. Tapi sekali lagi, nggak ada yang bisa diharapkan dari mereka bertiga. Sip! Gue siap berangkat ke damai.

Lihat selengkapnya