RUANG DAMAI PANCAWARNA

Nurul Awaliyah
Chapter #15

Toska: Masih Jurus Tenang

"Satu gelas kopi instan untuk Ibu Arumi." Sinta meletakkan secangkir kopi di meja kerjaku.

"Thank you. Jangan panggil Ibu. Saya belum jadi ibu-ibu lho, Sin."

"Ya masa saya harus panggil nama, Bu? Nggak enak aja kalau panggil nama. Saya baru beberapa bulan kerja di sini. Atau panggil Kakak? Rasanya aneh juga."

Aku tertawa, kemudian mengisap kopi yang dia berikan. "Setelah selesai lembur, kamu mau ke mana?"

"Ke mana ya, Bu? Nggak ada rencana sih. Paling rebahan di kosan. Menikmati weekend aja. Memang kenapa?"

"Nggak apa-apa. Siapa tahu kamu punya acara jalan-jalan sama temen-temen gitu."

Dia menggeleng. "Kayaknya nggak deh. Saya belum cukup akrab sama temen-temen kantor ini. Teman lama juga sudah pada sibuk masing-masing."

Aku seperti melihat diriku yang dulu dalam diri Sinta. Selalu paling semangat dan sigap karena masih karyawan baru. Selalu bingung mau panggil senior dengan sebutan apa. Kini aku mengalaminya, disebut Kakak rasanya aneh, disebut Ibu rasanya ketuaan.

"Satu kotak pizza cheeseburger untuk Mbak Arumi." Agung meletakkan sekotak pizza di meja kerjaku.

Aku terheran, sebab aku merasa tidak memesan pizza. "Pizza? Dari mana? Kamu yang pesan?"

"Katanya teman Mbak Arumi. Dia cuma nitip pesan ini untuk Arumi lantai empat, siapa lagi kan di lantai empat yang namanya Arumi cuma Mbak Arumi."

"Orangnya mana?"

"Di lobi, mungkin dia ..."

Aku langsung beranjak.

"Bu, pizza nya?" teriak Sinta.

"Kalian makan aja."

Aku berjalan secepat kilat menuju lobi untuk menemui orang yang Agung maksud. Aku mengedarkan pandang di sekitar lobi sambil mengatur napas. Kemudian berjalan keluar menuju parkiran. Beruntungnya aku masih bisa melihat mobil yang kutahu siapa pemiliknya.

"Han ..." teriakku pada lelaki berkemeja hitam.

Dia menoleh dan tersenyum padaku. "Di makan ya."

Aku membalas senyumnya dan mengangguk. Dia memasuki mobil lalu lekas melajukan mobilnya menjauh pergi. Menyadari kalau aku lupa mengucapkan hati-hati, segera kurogoh saku blazerku untuk mengambil ponsel lalu mengirimkan pesan WA padanya.

"Hati-hati. Dan thank you untuk pizza-nya. Sekarang gue akui kalau seorang Firhan memang baik hati." Tak lupa memberikan emotikon tersenyum di akhir.

"Rum, ngapain? Buruan, lo dipanggil Mas Gandi tuh mau meeting." seru Intan. Aku langsung naik lagi untuk meeting.

"Tumben banget lo semangat ikut acara beginian sampe jadi panitia segala." ucap Gandi. Aku dan beberapa rekan lainnya baru saja selesai meeting terakhir dalam rangka membahas tentang piknik karyawan kantor. Semua perencaan sudah rampung dan siap untuk berangkat minggu depan.

"Lumayan buat refresh otak, capek lembur mulu." balasku.

Dia tertawa. "Udah hampir enam tahun lo jadi karyawan di sini baru kepikiran ikut piknik dan refresh otak? Ke mana aja lo?"

"Sok tahu lo. Bisa jadi selama ini gue lebih bersenang-senang daripada lo."

"Oh ya? Masa sih?" Dia benar-benar menggodaku. "Gimana? Udah mulai pedekate lo sama Firhan?"

"Apaan sih. Nggaklah. Biasa aja."

"Dia baik lho, Rum. Udah ganteng. Mapan. Pekerja keras. Walau dia anak orang kaya tapi dia masih kerja lembur bagai kuda kayak kita-kita. Menurut gue dia setipe sama lo." Dia mulai lagi mempromosikan temannya itu.

"Udah ah. Gue mau balik. Ada urusan. Bye." Aku melengos pergi sebelum dia semakin bicara panjang lebar. Beberapa waktu lalu aku dikenalkan pada temannya yang bernama Firhan. Jujur saja aku tidak tertarik, maksudku bukan sama sekali tidak tertarik pada orangnya, tapi memang aku belum ingin memiliki hubungan seperti itu. Ketika Firhan bilang dia sedang mencari pendamping, tanpa membuatnya menunggu aku langsung jelaskan kalau aku sedang tidak ingin memiliki hubungan semacam itu, apalagi yang lebih jauh dari itu. Dia mengerti dan kami sepakat untuk menjadi teman saja. Hanya teman.

Jakarta sedang labil-labilnya. Satu jam yang lalu di luar masih panas terang benderang. Sekarang aku disambut hujan deras. Sudah tidak sabar untuk buru-buru rebahan di kosan malah harus tertahan sejenak di depan kantor untuk berteduh.

Sebuah mobil berhenti di depanku, orang yang ada di dalamnya menurunkan kaca mobil. "Naik, Rum. Gue anter lo pulang deh. Hujannya gede banget, kayak gini sih biasanya susah reda." Intan setengah berteriak karena berlomba dengan suara derasnya hujan.

"Emang nggak apa-apa? Kejauhan kali." Aku tahu tempat tinggal Intan berlawanan arah dengan jalan menuju kosanku.

"Nggak, gue juga ada urusan daerah sana. Buruan masuk aja. Gue anter."

Aku mengangguk lalu buru-buru memasuki mobil dan duduk di sampingnya. "Thanks, ya. Ntar gue traktir kopi." ucapku sambil memasang sabuk pengaman.

"Apaan sih lo. Nggak usah. Kayak sama siapa aja." balasnya.

"Bentar. Emang lo siapanya gue?" Aku memasang tampang jahil.

"Rese, lo. Udah lima tahun lebih lho kita satu kantor. Dari zaman masih kejar target sampe nyuruh orang kejar target."

Aku tertawa. "Nggak kerasa ya, Tan. Kayak baru kemaren kita antre buat wawancara kerja."

"Bener. Kayak baru kemaren gue ngerasa takut-takut mau masuk ruang wawancara. Pas gue lihat elo, dalem hati gue mikir ini orang santai banget. Antre wawancara muka seneng amat aja udah kayak antre sembako."

"Setenang itu ya gue?"

"Banget. Salut gue sama lo."

Kami berdua tertawa. Aku jadi sadar mungkin ini pertama kalinya aku mengobrol hal lain selain soal pekerjaan dengan teman kantorku. Aku dan Intan adalah karyawan satu angkatan. Kami juga bekerja di ruangan yang sama.

"Gila, macet banget. Hujannya deres pula." keluh Intan lagi.

Aku menyenderkan kepala ke kaca jendela mobil. Jakarta memang selalu macet sepaket dengan suara klakson yang saling bersahutan. Orang-orang itu mungkin sudah tak sabar untuk pulang. Pulang ke rumah keluarganya agar bisa segera menyantap makanan hangat yang telah disediakan di rumah. Atau sudah tak sabar pulang ke kontrakan agar bisa segera merebahkan tubuh mengobati penat karena sepanjang hari sibuk dengan pekerjaan. Atau mungkin sudah tak sabar ingin cepat sampai ke suatu tempat karena sudah janjian dengan pasangan atau sahabat-sahabat.

"Thanks, Tan. Hati-hati lo." Sampai di depan kosan aku langsung berlari masuk sambil menutupi kepalaku dengan tas agar rambut tak terlalu basah terkena hujan.

Selepas bersih-bersih, mandi, dan mengganti baju aku langsung keluar untuk menemui abang ojek online yang mengantarkan pesanan dua potong sayap ayam bakar ditambah satu porsi nasi yang kupesan untuk makan malam. Sejak enam bulan yang lalu sayap ayam bakar menjadi makanan favorit yang sering kupesan. Makanan yang terkadang membuatku senyum-senyum sendiri. Makanan yang terkadang membuatku menangis tersedu saat mengunyahnya.

Ponselku berbunyi, nama Ibu dengan foto ketiga anaknya yang dipakai sebagai foto profil tertera di layar. Aku buru-buru cuci tangan dan segera menjawab telepon.

"Halo, Bu."

"Halo, Rum. Sudah pulang kamu?"

"Sudah, Bu. Sudah makan juga barusan. Semua sehat hari ini?"

"Sehat, Rum. Besok kamu libur, kan? Jangan lembur terus. Kapan mudik?"

"Besok Rumi libur, Bu. Kemungkinan dua minggu lagi. Minggu depan kan Rumi ada acara piknik."

"Piknik? Sama Digta dan yang lainnya? Sampaikan salam Ibu sama mereka ya, Rum."

Aku mendadak bisu, hanya bisa menggigit bibir.

"Di sana masih hujan, Rum?"

"Masih, Bu."

"Hati-hati banjir lagi, Rum. Mungkin harus jaga-jaga barang kamu amankan."

"Tenang, Bu. Mudah-mudahan nggak banjir. Ibu tenang aja."

Ibu berceramah panjang. Jangan lupa makan, jangan lupa ibadah, berdoa, istirahat yang cukup, dan jangan lupa cari pacar karena sudah umur dua puluh enam lebih. Aku telah sampai di usia rawan timbulnya pertanyaan, kapan menikah?

Setelah sambungan terputus, ponselku kembali ke layar utama. Aku berhenti sejenak untuk menatap wallpaper yang tertera di sana. Foto lima orang konyol berpose tampang konyol sambil memegang piring berisi nasi dengan dua sayap ayam bakar. Beragam perasaan seketika menyelimutiku. Menyeretku kembali ke hari di mana foto itu diambil.

Pada saat itu aku hanya merasa damai. Tawaku jauh lebih keras dibanding suara hujan deras di luar. Dulu malamku sangat berisik dengan sapaan dari mereka satu per satu. Sekarang aku hanya butuh membenamkan wajahku ke bantal dan berteriak sekuat tenagaku agar aku lelah dan tidur lebih mudah. Sebelum kenangan-kenangan itu muncul dan membuat bantalku menjadi basah.


Lihat selengkapnya