RUANG DAMAI PANCAWARNA

Nurul Awaliyah
Chapter #16

Merah: Masih Perang Batin

Selalu ada perbedaan antara ketika gue menginap di rumah bokap dengan ketika gue menginap di rumah nyokap. Kalau gue menginap di rumah bokap, bawaannya santai banget. Bangun siang juga leluasa karena istri bokap gue yang sekarang gue panggil Ibu, selalu ngelarang gue ikut campur urusan dapur. Dia selalu bilang nggak apa-apa biar Ibu aja. Gladys tidur aja, capek kan kalau hari libur mending istirahat. Begitu baik dan pengertian. Walaupun awalnya gue ogah banget kalau harus punya nyokap baru. Tapi ketahuilah kekejaman nyokap tiri cuma ada di sinetron, pada kenyataannya boro-boro saling kejam malah saling malu dan nggak tahu harus ngapain. Itu sih yang gue rasain.

Lain lagi kalau menginap di rumah nyokap, matahari belum menampakkan diri saja dia sudah nyusul-nyusul ke kamar untuk cubit-cubit kaki agar gue bangun. Belum lagi nyokap suka nyuruh anak dari suami barunya alias sekarang jadi adik gue untuk bangunin dan tiba-tiba gerasak-gerusuk naik kasur. Gue cuma bisa pasrah, nggak enak sama bokapnya kalau gue marah.

"Dys, tiap weekend emang kamu nggak ada acara? Tidur mulu. Di rumah mulu." Hal yang selalu ditanyakan oleh nyokap gue setiap akhir pekan.

"Weekend itu gunanya kan buat liburan, Ma. Liburan versi Gladys ya begini. Tidur-tiduran, santai, diem di kamar." jawab gue sambil mengoleskan selai cokelat ke roti tawar.

"Perasaan dulu kamu sering main-main sama temen-temenmu itu. Kok sekarang nggak? Mereka udah pada nikah? Harusnya kamu segera nyusul."

"Temen-temen yang mana?"

"Yang mana lagi, emang ada yang lain? Temen kuliahmu itu, lho."

"Ohhh ..."

"Kok cuma ohhh ...?"

"Ya nggak apa-apa. Nggak ada yang nikah kok. Belum ada."

"Terus pada ke mana? Lagi marahan? Kayak anak kecil aja." Gue suka bingung kalau jawab pertanyaan kayak gini. Masa gue harus jujur kalau gue, Arumi, Digta cuma lagi fokus kerja. Handika lagi nyari tahu soal kopi. Andrea lagi sakit. Dan kita sama-sama kasih ruang untuk diri kita masing-masing agar nggak terus-terusan bergantung dengan satu sama lain. Nggak selalu harus saling tahu tentang satu sama lain. Mungkin akan berasa drama banget persahabatan gue sama mereka di mata yang lain. Tapi kenyataannya memang itulah kita.

"Nggak. Lagi pada sibuk kerja aja. Udah ah, ngantuk."

"Dys ... Dys, baru juga bangun udah ngantuk lagi." Gue buru-buru kembali ke kamar sebelum nyokap ngomel-ngomel panjang.

Sudah tujuh bulan, tapi rasanya kayak bertahun-tahun. Nggak jarang gue nggak bisa tahan untuk chat atau telepon mereka, gue tahu itu sah-sah saja dan nggak ada salahnya juga. Tapi kapan lagi kami mau belajar? Kapan lagi kami bisa sadar? Kami semua sudah terlalu bergantung dengan satu sama lain. Terlepas itu sehat atau nggak sehat, kami semua hari itu sadar kalau ada hal yang harus sedikit diubah dari hubungan kami ini. Apa-apa yang terlalu erat digenggam bisa pecah, hancur, diri kita sendiri yang akhinya bakal sakit dan terluka.

Sama kayak gue yang selalu takut sendiri, selalu takut mereka tinggalin gue, takut mereka bosan dan jenuh ketika kami berlima kumpul. Ketika gue susah dan butuh tempat ngadu dan di saat yang bersamaan mereka sibuk, gue kesal sendiri dan menganggap mereka sudah nggak peduli. Disitulah kenapa itu menjadi sedikit nggak sehat dan harus diubah.

Walaupun begitu, gue sendiri selama ini masih sangat rajin stalker mereka di media sosialnya. Tapi nggak banyak hal yang bisa gue dapat, mereka berempat bukan tipe manusia yang dikit-dikit posting.

Gue jadi teringat hari itu. Hari paling kacau sedunia.

"Guys, gue bulan depan udah nggak di Jakarta. Kemungkinan gue menetap beberapa lama di Singapura. Ayah gue ada beberapa kerjaan di sana dan gue harus ..."

"Maksud lo? Lo harus pindah ke sana juga? Bulan depan? Bulan depan tinggal beberapa hari lagi, Dre." Digta bahkan nggak bisa nunggu Andrea ngomong sampai akhir.

"Iya, gue akan ikut pindah karena emang udah direncanain jauh-jauh hari dan gue juga punya hal yang harus ..."

"Bentar, Dre. Maksud lo? Lo niat pindah dan bahkan berencana untuk pindah dari jauh-jauh hari tapi baru kasih tahu kita hari ini?" Arumi ikut-ikutan menyela pembicaraan.

"Nggak gitu maksud gue, Rum. Bukan kayak gitu."

"Gue nggak paham. Gue nggak paham. Sama sekali nggak paham, Dre."

"Dengerin gue dulu, Dig. Gue harus jelaskan."

"Lo sadar nggak sih, bokap lo tuh terlalu posesif sama lo. Lo udah dewasa. Udah gede. Nggak harus selalu ikutin apa maunya dia."

"Dia bokap gue, Dig. Dia berhak."

"Tapi nggak gini, Dre caranya."

"Rumi, gue minta maaf. Bahkan gue belum jelasin semuanya."

"Nggak habis pikir. Gue nggak habis pikir ..."

"Lo semua nggak berhak atas hidup Andrea. Lo pada bisa komentarin bokapnya posesif, terus kalian apa?" Handika mulai emosi.

"Terserahlah, pergi ya pergi aja."

"Andrea sakit, Dig." Gue nggak tahan dengan kekacauan mereka.

"Maksud lo?" Gue tahu Arumi akan cepat bereaksi.

"Genetik, dari Ibunya. Dia harus ikut bokapnya, dia harus ditangani." Gue tahu mereka langsung paham apa maksudnya karena mereka tahu apa yang menyebabkan Ibunya Andrea meninggal. Ruang damai jadi sangat hening setelah gue buka suara. Semuanya kayak lagi mencerna apa yang mereka dengar.

"Guys, gue minta maaf. Gue nggak bermaksud ..."

"Gila ya ... gue ngerasa nggak dianggep tau nggak, sih? Buat apa coba? Selama ini tuh apa? Gue tuh apa buat lo, Dre? Gue tuh apa sih buat kalian?"

Lihat selengkapnya