Gue berjalan menuju parkiran kantor dan mendapati Arumi yang sudah berdiri di sana sambil melambaikan tangan. Gue tahu apa tujuan Arumi datang ke kantor dan ajak gue ketemu. Jujur, sejauh ini memang cuma Arumi yang sanggup gue temui. Kalau ketemu yang lain rasanya gue nggak siap dan bakal emosional. Ini pun pertemuan kedua gue dengan Arumi setelah hampir sembilan bulan. Gue bertemu dengan dia sekitar tiga bulan lalu saat kosannya kebanjiran.
"Katanya minuman sama makanan di kafe ini nggak enak-enak banget. Kok, lo bawa gue ke sini?" cetusnya saat gue ajak dia masuk ke kafe di samping kantor.
"Gue masih ada kerjaan, jadi mending di sini. Dan gue tahu kita bakal ngobrol panjang. Daripada berdiri di parkiran."
"As expected, Digta ..."
"Apaan sih lo. Jadi, ada apa? Mau ngomong apa? Awas aja kalau nggak penting-penting banget."
Arumi tertawa. "Emang kita kalau ketemu suka bahas yang penting-penting banget?"
"Langsung ngomong aja, gue masih ada kerjaan."
"Jadi sekarang Digta sibuk banget nih?"
"Rum ..." Gue mulai kesal.
"Iya. Iya. Sorry. Gue langsung ngomong. Kita udah sama-sama kayak gini tuh berapa lama sih, Dig?"
"Kenapa lo nanyain hal yang udah lo tahu jawabannya?"
"Lo kenapa sih?" Pertanyaan yang akhir-akhir ini selalu gue dengar.
"Jangankan elo, gue aja nggak ngerti gue kenapa." Jujur, memang gue nggak ngerti sebenarnya gue kenapa.
"Kenapa lo ninggalin groupchat?" Gue paling nggak mau jawab pertanyaan ini. Bukan karena gue nggak tau jawabannya. Gue hanya nggak mau jawab.
"Rum, lo pikir deh. Harus nggak sih kita kayak gini?"
"Gue nggak tahu ini harus atau nggak harus, tapi kenyataannya kita lagi sama-sama belajar, kan? Gue pengin menikmati momen kita kayak sebelumnya, Dig. Gue pengin menikmati tanpa bertanya-tanya dalam hati, temen-temen gue kenapa nih? Mereka baik-baik aja, kan? Kok, si ini nggak dateng atau si itu nggak dateng? Satu lagi, gue jadi nggak bisa nyelesain masalah gue sendiri. Gue jadi nggak percaya diri, karena selama ini kalian ada. Kita jadi kekanakan."
"Gue nggak pernah keberatan kalau harus ikut selesaikan masalah kalian. Gue siap bantu kalian kapan aja."
"Gue yang keberatan, Dig. Gue jadi terbiasa, ketergantungan sama kalian. Gue keasyikan. Suatu saat nanti waktunya tiba untuk kalian memasuki fase baru kehidupan, gue bisa gila. Disitulah gue merasa hal ini harus kita lewati. Buat semuanya jadi sehat lagi. Supaya kita semua lebih menikmati lagi. Niat kita sama-sama itu buat happy. Buat jadi lebih happy, jangan sampe terbebani dengan pikiran-pikiran negatif."
"Gue selalu bersyukur, Rum. Nggak ada yang lebih ngerti gue selain kalian. Nggak ada yang bisa nerima keegoisan gue selain kalian."
Arumi tertawa. "Hebat banget ya kita bisa tahan hampir sepuluh tahun ngadepin lo yang egois dan emosian."
"Ohh ... jadi lo merasa kesiksa gitu?"
"Sensi banget sih lo." Dia meminum Matcha Latte yang dipesannya. "Eh, gue penasaran deh. Gimana sih first impression lo sama gue?"
Gue tertawa sambil mengingat penampilan Arumi dulu kayak gimana. "Tau nggak sih, elo, Gladys, dan Andrea tuh ngasih kesan yang beda banget dulu. Beda banget."
"Ya jelaslah. Mereka berdua keren banget. Aku mah apa."
"Bukan itu maksud gue. Beda banget karakter kalian tuh. Elo yang culun banget, entah emang polos atau emang bego." Gue nggak bisa nahan tawa.
"Rese lo sialan."
"Gladys yang rese, masa ada cewek yang nggak ada malunya. Udah ngomong ceplas-ceplos, tapi gue salut sih dia kalau ngomong jujur banget. Andrea yang ..." Berat banget untuk meneruskan kalimat gue. Bahkan nyebut namanya saja, gue merasa sesak.
"Yang cantik, kalem, dan pinter banget?" Arumi berusaha menebak apa yang akan gue ucapkan.
"Yang paling normal di antara kalian bertiga. Tapi lama-lama gue sadar kalian sama. Sama-sama nggak normal, konyol semua." Gue tertawa, dipaksakan.
"Entah siapa yang kena pengaruh dan yang memengaruhi. Pokoknya gue juga makin lama makin ngerasa kita bertiga tuh sama."
"Bedanya lo bisa tenang di situasi apa pun, bisa terbuka menceritakan luka dan masalah dalam hidup lo tapi nggak ngebuat kita khawatir berlebihan karena elo-nya aja santuy banget. Lo cuma butuh sandaran biar lo nggak terlalu lelah, kan? Gladys yang sukanya buka-bukaan, kalau dia takut ya takut, kalau dia pengin nangis ya nangis, kalau dia marah ya dia marah. Dia butuh lebih banyak ditenangkan. Andrea ..." Gue butuh menghela napas panjang sebelum menjelaskan tentang dia. "Dia nggak tenang tapi dia pura-pura tenang. Dia pengin nangis tapi ditahan. Si peragu akut, mau ngomong tapi nggak jadi-jadi."
Seraya senyum-senyum mengingat kenangan-kenangan itu, gue dan Arumi cuma menikmati minuman yang kami pesan.
"Lo marah sama gue, Dig?"
"Nggak."
"Sama Gladys?"
"Nggak."
"Hmm ... Andrea?"
"Udah ah gue cabut, banyak kerjaan." Gue beranjak dari kursi. Tapi Arumi segera nahan gue.
"Lo marah sama Andrea?"