Hitam
"Dikaaa!!!" Teriakkan dari Gladys yang sangat aku rindukan. Kalau sudah menghadapi Gladys, aku seperti menghadapi seorang adik perempuan. Sepuluh bulan tidak bertemu, rasanya seperti sepuluh tahun.
"Dys, apa kabar?" Kami langsung berpelukan.
"Baik. Gue kangen banget sama lo. Gimana kabarnya? Seru jalan-jalan ke banyak tempat?" Dia duduk di hadapanku. Aku sengaja mengunjungi dia ke kantornya, lalu aku berniat untuk membawanya ke ruang damai.
"Lumayan. Nggak banyak, Dys. Cuma beberapa. Mau langsung pergi sekarang?"
Dia mengangguk lalu memberikan kunci mobilnya padaku. "Semuanya bisa dateng? Kok, gue agak gugup."
"Nggak semuanya bisa dateng. Ngapain gugup, emang mau ketemu dosen pembimbing?"
"Gue salah nanya, ya? Bodohnya gue. Jelaslah nggak semuanya dateng." Dia cemberut seraya memasang sabuk pengamannya. "Ya ... gugup aja. Ini udah sekian bulan, Dik. Mana gue bikin mereka kesel lagi sebelumnya."
"Udah, lo tenang aja. Percaya sama gue." Aku mulai injak gas. Sepanjang jalan dia terus menenangkan dirinya. Aku tahu Gladys masih merasa bersalah. Meskipun sebenarnya dia tidak salah sama sekali. Aku yakin, kalau aku, Digta, atau Arumi ada di posisinya dan situasi mengharuskan kami untuk menyimpan rahasia soal Andrea juga pasti kami akan menyimpannya. Aku juga merasa bersalah karena menjadikan Gladys orang pertama yang kuberi tahu soal rencanaku merintis usaha kedai kopi dan pergi beberapa lama untuk mempelajari segala sesuatunya. Aku menempatkan dirinya menyimpan beban dua kali lipat saat itu.
Sampai di depan ruang damai, dia terus merapikan bajunya sebelum masuk. Sudah seperti mau ketemu pacar saja. Aku memegang tangannya saat kami masuk bersama. Aku jadi begitu emosional, sudah sekian lama momen ini baru bisa terjadi lagi. Aku, Digta, Arumi, dan Gladys berdiri saling melihat satu sama lain untuk beberapa lama. Seperti tidak nyata. Rasanya bumi seperti berputar ke arah sebaliknya, momen-momen kami selama sepuluh tahun bagai diputar di layar besar di hadapan kami.
Aku merasa bersalah. Aku punya andil besar dalam membuat situasi menjadi seperti sekarang. Tadinya aku hanya ingin membuat diriku saja yang sadar bahwa hubungan kami terlalu berlebihan. Tapi pertanyaan-pertanyaanku malah membuat mereka juga sadar. Jadi, kami pada akhirnya harus sama-sama belajar. Kami jadi sama-sama tersiksa. Tapi aku tidak pernah menyesal, aku yakin mereka sudah tahu harus berbuat apa kedepannya.
Banyak sekali jawaban yang kudapatkan. Apakah hubungan kami masih sehat? Jelas tidak. Mereka sebetulnya tidak pernah menahanku, tapi aku yang selalu merasa tertahan. Dirikulah yang menahan diri sendiri. Jika aku pergi, aku selalu tertahan dengan pertanyaan bagaimana jika mereka sudah tidak di tempat yang sama saat aku pulang? Aku memberanikan diri, kalau memang mereka sudah tidak di tempat yang sama, maka aku akan mencarinya. Seperti sekarang, satu per satu kutemui.
Aku takut mereka sendirian, mereka kesusahan, atau mereka disakiti oleh dunia luar. Tapi aku mulai tahu jawabannya. Mereka manusia kuat. Mereka akan tahu jalan keluarnya sendiri ketika mereka kesulitan. Dulu aku tidak berpikir selogis ini, karena apa? Karena dikuasai oleh perasaan-perasaan itu. Terlalu merasa sayang. Terlalu merasa mereka adalah milikku dan aku milik mereka.
Aku yakin mereka juga sudah menemukan jawaban dari pertanyaan mereka masing-masing. Aku yakin semua sudah belajar dan siap membuat hubungan kami menjadi sehat dan wajar lagi.
"Kok, nggak bilang kalau lo mau bawa Gladys?" Aku dan Digta keluar dan mengobrol dalam mobil. Kami membiarkan Arumi dan Gladys untuk bicara berdua dulu di dalam.
"Emang gue harus bilang dulu? Sekarang siapa pun yang mau ke sini harus izin lo dulu?"
"Ya ... maksud gue, nggak nyangka aja secepat ini."
"Terus lo mau lama-lama kayak kemaren? Mau lama-lama cari jawaban? Mending sekalian praktek. Kita mulai kayak dulu, have fun."
"Ya nggaklah! Cuma gue ngerasa aneh aja kalau nggak bener-bener lengkap."
"Kita butuh waktu beberapa lama lagi untuk yang itu."
"Dan gue yang akan sangat ngerasa bersalah kalau sampai dia nggak balik, Dik."
Jeda beberapa saat sebelum akhirnya kami masuk lagi ke ruang damai. Ada tangis di antara Arumi dan Gladys. Aku yakin mereka membicarakan hal-hal yang sebelumnya tertahan.
"Rum, apa kita perlu cari makanan tambahan?" tanyaku pada Arumi sambil menunjuk ke arah luar. Dia mengiyakan. Kami berdua berjalan keluar menuju minimarket yang ada di dekat sana. Kemudian duduk di kursi yang di sediakan di sana. Jujur saja, pertemuan pertamaku dengan Arumi setelah sekian bulan. Kami juga selama itu tidak pernah teleponan, hanya sesekali bertegur sapa di pesan WA.
"Sudah bisa beli galon sendiri pake motor?" Pertanyaan konyol di awal pembicaraan. Tapi aku ingat dia selalu meneleponku atau Digta di saat galon airnya habis, dia tidak bisa kalau harus beli galon pake motor sendirian. Terlalu berat katanya, sulit juga untuk menyeimbangkan motor.
Dia hanya mengangguk.
"Sudah bisa pasang gas dan nggak kepikiran terus gasnya bocor apa nggak?" Jadi ingat malam-malam dia nelepon cuma nyuruh aku datang untuk memastikan gas yang dia pasang benar atau tidak. Dia takut tiba-tiba kosannya meledak.
Lagi-lagi dia hanya mengangguk.