RUANG DAMAI PANCAWARNA

Nurul Awaliyah
Chapter #19

EPILOG

"Apa kabar, Drea? Belum puas sudah bikin kami jadi uring-uringan nggak jelas hampir sebelas bulan ini? Udah gue kira, suatu hari bom yang lo simpan akan meledak. Tapi gue nggak tahu bomnya sebesar ini. Daya ledaknya sekuat ini. Hancurnya serusak ini. Boleh gue tepuk tangan? Prok, prok, prok. Jangan diterusin. Gue bukan tukang sulap yang bisa bikin semua hal mustahil jadi kenyataan. Tapi kalau gue dianugerahi kemampuan itu, gue mau menyulap lo jadi es batu. Gue kutuk lo jadi es batu beneran. Dasar si kepala batu yang punya tatapan sedingin es.

Kami nggak lengkap. Nggak ada penengah. Lo tahu, kan, kalau gue sama Gladys suka bingung kalau cuma nongkrong berdua. Selera kami yang jauh berbeda dalam hal pilih baju, pilih makanan, pilih tempat-tempat buat nongkrong. Dan lo selalu jadi penengah yang tiba-tiba bilang "Ke sini aja, deh. Yang ini aja, deh. Makan ini aja, deh." Dan dengan sukarelany kita ngikut aja apa yang jadi keputusan lo.

Lo tahu, kan, kalau Digta sama Handika suka nggak sepaham? Mereka ribut untuk hal-hal kecil. Sekarang juga masih. Soal lagu, soal siapa yang harus bersihin ruang damai, ini dan itu. Kalau aja ada elo, sekali lo bilang "Berisik banget, sih." Gue jamin otomatis mereka bungkam.

Kita semua memutuskan buat meneruskan cerita ini, melanjutkan hal yang sangat lo inginkan. Drea, take your time. Thank you, I am loved selama ini. Voice note ini gue bikin malem-malem. Agak ngantuk tapi mudah-mudahan omongan gue nggak ada yang aneh-aneh, ya. See you dari Arumi yang paling menenangkan. Ketawa nggak, ya? Ketawa aja, deh. Haha ..."

"Agak gimana, ya kalau ngomong di voice note. Nggak biasa, kayak lagi ngomong sendiri. Bodo amatlah. Hey woy ... cepet balik. Eh, nggak usah cepet-cepet balik juga, sih. Yang penting lo cepet pulih. Udah itu aja. Tenang, ruang damai aman. Arumi aman, Handika aman, Digta doang yang agak galau. Tapi lo nggak usah mikirin. Haduh, udah pengin keliling mall bertiga lihat ini itu tapi nggak jadi beli. Momen paling nikmat.

Kapan gue bisa tiba-tiba dateng ke rumah lo lagi? Kapan gue bisa curi-curi pandang ke Mas Candra yang ganteng itu? Lo dengerin ini pake headset, ya. Gawat kalau Mas Candra denger. Udah ah, capek. Bye ... peluk cium dari Gladys."

"Halo, Dre. Saya udah di Jakarta. Semoga kamu udah denger voice notes saya yang sebelum-sebelumnya. Saya sengaja kirim cerita dan beberapa foto setiap saya datang ke tempat baru. Soalnya saya tahu, kamu juga punya keinginan untuk melakukan banyak perjalanan. Waktu masih panjang, Dre. Saya yakin kamu bisa lakukan nanti.

Kedai saya mulai buka bulan depan, saya harap kamu bisa datang. Tapi jangan memaksakan diri. Banyak jalan menuju Roma, apalagi menuju Indonesia. Kita bisa video call. Thank you. Kabari kalau sempat. Saya tunggu. Eh, nunggu nggak ya? Nunggu aja, deh. Biar kamu senang. Eh, senang nggak ya? Iya, dong. Iya, kan? Jangan senyum. Bye ... dari Handika yang ke-Bapak-an. Hihi."

"Ehm ... Drea, ... Di mana, lo? ... Eh, maksud gue ... Apa kabar? Semuanya baik? Ehm ... see you. Hmm ... lo tahu, kan, gue sayang lo. Semua sayang sama lo."


Lihat selengkapnya