Setelah membantu ketiga guru Bknya memeriksa ratusan ponsel bersama rekan-rekan Osisnya yang lain dan sebelum masuk kelas, Ilmi pergi dulu ke toilet untuk membasuh wajahnya agar lebih segar. Sesampainya di dalam toilet, ia mendengar isak tangis dari dalam salah satu toilet dengan nada yang begitu memilukan, sendu, dan menyesakkan. Seakan-akan penuh ketakutan, kekhawatiran, dan penyesalan yang begitu mendalam, dan saat ini toiletnya cukup sepi, tak ada yang memasukinya kecuali dirinya.
Ia berjalan menuju toilet paling ujung sambil mengerutkan dahi. Apakah ada hantu? Kuntilanak mungkin? Jin penunggu toilet? Ah, mana mungkin, ini siang hari dan sekolah ini tidak terbilang angker. Apa mungkin itu Risa atau Sera? Pikirnya. Tangannya lambat-lambat ia angkat, berniat membuka pintu untuk memastikan di dalam toilet tersebut Risa atau Sera, atau mungkin bukan.
“Haa...’’ terdengar seseorang dalam toilet tersebut menjerit, membuat Ilmi kaget bukan main.
Terlihat tangannya hendak membukakan pintu, namun urung saat mendengar seseorang yang suaranya sangat dikenal berkata, “Aku benci kamu, bener-bener benci. Bagaimana aku harus menghadapinya?’’ lirih Risa putus asa dan penuh amarah.
Siapa yang ia benci? Apa yang harus ia hadapi? Ah, Ilmi jangan terlalu ingin tahu, itu tidak baik. Semua orang memiliki masalahnya masing-masing, pikirnya yang kemudian memilih mengurungkan niatnya. Ia pun membasuh wajahnya dan mengeringkannya dengan tisu, setelah itu kembali dengan langkah penuh harap, bahwa tidak akan ada hal buruk yang terjadi kepada Risa.
~*~
Terlihat Pak Ginanjar memasuki kelas sebelas IIS-5 sambil menggendong tas yang isinya ponsel hasil razia tadi pagi. Selain itu Pak Ginanjar membawa beberapa amplop yang isinya surat panggilan untuk orang tua yang isi ponselnya ada apa-apa. Pak Ginanjar meminta izin kepada pak Nuriman untuk menyita waktu mengajarnya, setelah itu ia meminta bantuan kepada Prayoga dan Ilmi untuk membagikan ponsel para siswa.
Ilmi dan Prayoga membagikan ponsel teman-temannya, sedangkan ponselnya yang ada apa-apa dibagikan oleh pak Ginanjar bersama surat panggilan. Dan paling mengejutkan, Risa juga mendapatkannya. Setelah ponsel dan surat panggilan dibagikan, pak Ginanjar pun undur diri. Tak lama dari itu bel pulang berbunyi, pak Nuriman mengusaikan pelajarannya.
“Kenapa orang tua kamu bisa dipanggil? Kamu ngoleksi bokep? Hamil? Atau ada chat yang isinya kamu lagi pesen narkoba?’’ tanya Disi penuh curiga setelah Pak Nuriman keluar dari kelas.
“Apaan sih Dis?’’ dengus Risa kesal, karena Disi tak bisa membaca situasinya saat ini.
Sera tertunduk dengan mata yang berkaca-kaca sambil mengepal tangan secara perlahan, lalu menghela napas panjang dan berkata, “Risa hamil sama kak Reko dan ia udah gugurin kandungannya beberapa minggu lalu. Mungkin pihak sekolah sekarang udah tahu, karena Risa lupa menghapus chatnya dengan kak Reko saat merencanakan aborsi dan chat janjiannya sama dokter yang enggak punya perikemanusiaan.’’
Seketika teman-temannya terhenyak, mereka yang hendak keluar kelas tertahan. Benar-benar tak menyangka Risa bisa melakukan hal yang bejad, benar-benar tak berperikemanusiaan, pikir sebagian besar teman-temannya. Namun ada juga yang bersikap acuh tak acuh, toh buat apa ikut-ikutan andil dalam masalah orang lain.
Seketika Risa tertunduk sambil menderaikan air matanya dengan deras. Rasanya ribuan anak panah secara beruntun mendarat tepat di ulu hatinya, sakit sekali dan benar-benar perih. Ia pun merasa seolah-olah ditarik paksa ke dalam ruang yang paling kelam, sendirian, terasingkan. Tatapan-tatapan temannya terasa seolah-olah ribuan belati yang siap merobek-robek tubuhnya. Ia benar-benar tak menduga, sahabat terbaiknya, seseorang yang paling dipercaya, tempatnya mencurahkan segala lara, kesedihan, kepahitan, dan ketakutan, kini berkhianat dengan mengatakan semua aibnya.