Pukul setengah delapan malam Radel baru saja pulang ke rumahnya, sebab ia nongkrong terlebih dahulu bersama teman-temannya. Rencananya, setelah ini ia akan pergi bersama Naumi untuk menemaninya belanja dan menonton di bioskop.Sesampainya di ruang tamu ia melihat ibunya tengah bercakap-cakap dengan Geri, laki-laki yang ditemui teman-temannya malam itu ketika mereka hendak pulang. Laki-laki yang sangat dibencinya, karena telah merebut ibunya sejak usia sepuluh tahun dan dari ayahnya. Ya, jadi saat Radel berusia sepuluh tahun ibunya berselingkuh dengan Geri, rekan kerjanya dan hubungannya masih berlanjut sampai sekarang. Suaminya telah meninggal dunia, iapun terang-terangan menjalani hubungan dengan Geri, meski ia tahu ini sangat-sangat melukai Radel. Namun ia sangat berharap, seiring waktu berlalu Radel dapat menerima hubungannya dengan Geri dan mengizinkannya untuk menikah. Ah, namun jelas saja sampai kapan pun Radel tak akan menerima hubungan mereka, karena hatinya sudah dibuat keras, sekeras-kerasnya dan tak akan pernah bisa ditembus, seperti batu oleh air walau terus ditetesi.
Rasanya Radel muak melihat mereka berdua. Rasanya ia ingin menampar Geri dan menyeretnya keluar rumah.
“Heh, laki-laki berengsek ngapain ke sini lagi?’’ tanya Radel sambil menarik kerah kemeja Geri, lalu ia menonjok pelipisnya dengan keras, hingga Geri tersungkur menghantam sofa.
Sebetulnya malam itu, ia ingin sekali menghajar Geri habis-habisan. Namun karena ada teman-temannya, ia pun menahannya walau tangannya sudah sangat gatal. Sebab, pertama dia memeluk ibunya di hadapannya, kedua ia berani menginjakkan kaki di depan rumahnya, dan sekarang memasukinya lagi.
“Jaga sikap kamu Radel!” bentak ibunya sambil memegang kepalan tangannya yang hendak menghantam Geri kembali.
“Jaga sikap? Kamu dan dia yang harus jaga sikap!” Radel melepaskan tangan ibunya, lalu menatapnya tajam-tajam dan seiring itu Geri bangkit dari ketersungkurannya sambil mengusap darah di pelipis kirinya, kemudian menatap Radel tajam-tajam. Entahlah ia harus bersikap seperti apa padanya? Ia benar-benar tak tahu, namun ia sangat geram karena selalu saja Radel mengatainya laki-laki berengsek dan suka menyerangnya.
Radel bisa saja tinggal di hotel ayahnya yang kini dikelola oleh pamannya, atau di rumah neneknya dan meninggalkan rumah ini beserta ibunya yang selalu memasukkan laki-laki yang paling ia benci di ruang semesta ini. Akan tetapi, di sini banyak kenangan ayahnya yang selalu menahannya untuk pergi. Terlebih ia tak rida, rumah yang dibangun ayahnya dengan cinta untuknya dan ibunya diinjak oleh Geri.
“Radel, yang sopan!’’ teriak ibunya geram.
Ia sudah terlanjur membenci tingkah laku Radel yang katanya seperti sampah. Tawuran, minum-minuman keras, urakan, kasar, tak punya sopan santun, sering berbuat ulah sesuka hati, dan selalu mengibarkan bendera perang pada Geri. Karena tingkah Radel itulah dan kesalahannya yang terasa indah, batas-batas pun tercipta, hingga hubungan antara anak dan ibu menjadi renggang dan retak.
“Ngapain harus sopan sama pembunuh?” Radel tersenyum sakartis.
“Mama bukan pembunuh.”
“Lalu apa? Papa mati karena mama sama laki-laki bajingan ini.” Radel menunjuk wajah Geri dengan telunjuknya tanpa mengalihkan pandangan, sebab rasanya tak sudi melihat wajahnya itu, terlalu menjijikkan untuknya. Ia terus menatap mata ibunya yang baginya tidak pernah menyorotkan penyesalan. “Mama tahu? Mama membunuh papa secara perlahan oleh perselingkuhan mama dan dia. Mama juga mau membunuh aku yang kata mama sampah dengan terus bersamanya. Mama dan dia itu sama-sama gak punya hati, sama-sama bejad.’’
Karena depresi dan frustasi, tersebab pertengkaran-pertengkaran dan perselingkuhan istrinya, ayah Radel mencari pelarian pada alkohol yang membuatnya sakit keras dan meninggal dunia. Radel pun menyalahkan ibunya, atas kematian ayahnya yang sangat ia cintai dan sayangi. Ya, jika saja ibunya tak selingkuh, ayahnya tak akan pernah lari pada alkohol, itulah pemikiran Radel.
“Radel, jaga bicaramu!’’ teriak ibunya sambil menampar pipi kirinya dengan sangat-sangat keras.
Terlihat Radel meneteskan air mata, bukan karena sakit ditampar di wajah, melainkan sakit ditampar terus-terusan hatinya. Ah, rasanya terlalu banyak luka yang telah ditorehkan ibunya, hingga luka selalu menganga dan bertambah parah. Rasa sakit tak kunjung reda. Radel, benar-benar membenci semua ini dan sudah sangat-sangat muak.
Sungguh ibunya tak berniat menamparnya seperti yang sudah-sudah jikalau Radel bersikap seperti ini, akan tetapi entah kenapa ia tak bisa mengontrol diri? Dan rasanya ia merasa bersalah kepada Radel, karena lagi-lagi menyakitinya. Ia merasa benar-benar menjadi ibu yang paling jahat di dunia.
“Maafkan mama!’’ ucapnya sambil menyentuh pipi Radel yang memar karena tamparannya.
Radel menepis tangannya dengan geram, kemudian beranjak ke kamarnya sambil menyeka air mata. Dengan segera ia berganti pakaian, lalu pergi. Sebab, rasanya muak saja berada di rumah, menyaksikan ibunya bermesraan dengan laki-laki yang telah merenggut kebahagian dan ayahnya.
“Menjijikkan,’’dengus Radel saat melihat ibunya tengah mengobati Geri.
“Radel!’’ panggil ibunya sambil meneteskan air mata. Lagi-lagi batas semakin meluas. Rasanya ia sudah lelah seperti ini, ia juga inginkan ruang kembali bersama Radel yang penuh kasih sayang dan tetunya bersama Geri, laki-laki yang dicintainya. Akan tetapi jelas saja itu mustahil. Jadi, harus bagaimana? Tinggalkan Geri dan kembali memulai hidup baru bersama Radel? Atau tetap bersama Geri dan menanti Radel menerimanya? Pikirnya bimbang, tak tahu harus apa?
Radel sama sekali tak menghiraukan ibunya, ia bergegas dengan cepat memasuki mobil dan melajukannya bersama kacaunya hati dan pikiran. Ketika tepat ia di depan pagar rumahnya, ia menyalakan klakson dengan kencang, sekencang-kencangnya. Mang Utis yang tengah duduk di kursi halaman samping rumahnya bergegas dan dengan segera membukakan pintu pagar. Lalu mobil Radel melaju dengan cepat, meninggalkan rumahnya dan meninggalkan mang Utis yang tertegun diam merasa kasihan padanya, karena telah menjadi korban keegoisan dan nafsu ibunya.
Padahal Radel anak yang sangat baik, tetapi karena kesalahan ibunya dan kematian ayahnya, ia menjadi bengal dan bebal. Kasihan nian dia, setiap saat harus merasakan kepedihan-kepedihan dari pengkhianatan sang ibu dan dari batas yang sudah tercipta. Kasihan dia, karena harus terus bergelut setiap hari dengan kebencian dan kenangan sang ayah yang amat berharga baginya. Demikianlah yang selalu dipikirkan mang Utis.
Radel mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi, hingga ia sampai di depan sebuah hotel milik ayahnya. Ia bergegas keluar, lalu memasuki hotel tersebut dan cepat-cepat membuka lift. Terus-terus menekan tombol naik, hingga akhirnya terbuka setelah menantinya beberapa waktu. Ia meluncur ke lantai paling atas, bergegas ke atap. Duduk di pinggirannya, menantang angin, menatap kerlap-kerlip cahaya temaram dari lampu-lampu pemukiman, gedung-gedung dan jalanan yang nampak lelah dan tak lagi ramah.
Kemudian ia mengeluarkan benda kecil yang tak lain harmonika dari saku celananya, lalu menghela napas dan memainkannya. Terdengar notasi-notasi yang dihasilkan angin dari mulutnya sendu dan menyedihkan, seolah tengah menyampaikan ritme-ritme kepedihan. Berharap sesak tererai, berharap sakit segera reda, berharap dapat melupakan sejenak realita yang menyakitkan.
Tiga menit ia memainkan harmonika, tak lantas membuatnya bisa melupakan realita, tak bisa melerai sesak, dan sakit tetap saja terasa. Hah, pelarian yang sia-sia, pikirnya yang kemudian berteriak sekencang-kencangnya. “Haaaaa...’’
Ia menghela napas panjang sambil tertunduk, lalu ia kembali beranjak untuk mencari pelarian yang lain. Ia mengemudi lebih ngebut dari sebelumnya dan ugal-ugalan, karena tak hentinya berteriak dan memukul-mukul setir. Ia tahu ini bahaya, sebab bisa saja menyebabkan kecelakaan. Namun ia tidak bisa mengontrol diri, tersebab sudah terlalu banyak amarah yang menumpuk di dadanya dan tak pernah mau redam padam.
Lalu tiba-tiba terlihat matanya membeliak dan dengan segera ia mengerem mobilnya. Sebab ada seseorang yang melintas di depan mobilnya, hampir tertabrak. Kemudian ia turun dengan dada kembang kempis, sebab amarahnya semakin memuncak.
“Mau mati ya?”