Ruang dan Batas

Sri Winarti
Chapter #22

Bab 21

Ilmi kira dengan membaca novel dan mendengarkan musikalisi puisi dapat mengalihkan pikirannya dan dari rasa penyesalannya seperti biasa, karena telah melakukan kesalahan yang sama terhadap Risa. Namun ternyata kedua hal tersebut sama sekali tak berhasil. Harus bagaimana ini? Sedangkan semuanya telah terlanjur. Seharusnya kemarin ia gunakan jabatannya sebagai wakil ketua kelas untuk menghentikan kalimat-kalimat menyakitkan, yang diujarkan teman-temannya kepada Risa, tetapi malah diam seribu bahasa.

Sambil menghela napas, Ilmi menutup novel yang berjudul Guru Aini karya Andrea Hirata, lalu ia keluar dari angkot dan berjalan menuju sekolah sambil memasukkan novel tersebut ke dalam tasnya. Terlihat langkahnya gontai dan rasanya ia takut Risa melakukan hal yang sama dengan Aila. Namun semoga saja tidak, harapnya.

Tiba-tiba saat ia melintasi parkiran sekolah seseorang menarik tasnya, hingga ia melangkah mundur dan sejajar dengan seseorang itu. Dengan reflek ia mengalihkan pandangan ke arah kirinya dan dilihatnya Radel tengah tersenyum dengan indah dan rekah sambil melambaikan tangan, menyapa, “Hai!”

Ilmi tak menghiraukannya, ia kembali fokus pada langkah kakinya.

“Kalau ada yang nyapa harus dijawab dong, gak baik lho.’’

Ilmi tak menghiraukannya lagi, ia terus berjalan untuk segera sampai di kelas. Terlihat Radel menghela napas kasar, lalu melepaskan aerphone yang menempel di telinganya. Ia ingin dianggap, ia ingin senyumannya dibalas hangat.

“Kembaliin del!’’ Ilmi menengadahkan tangannya dan terlihat matanya sayu.

“Enggak mau, gimana dong?’’ Radel tersenyum nyengir, lalu ia memasang aerphone tersebut di telinganya, ingin tahu musik apa yang disukai Ilmi.

 Saat mendengarkannya ia tersenyum, lalu menyanyikan lagu yang didengarnya sambil menatap Ilmi penuh arti.

Mencintai angin harus menjadi siut

Mencintai air harus menjadi ricik                                

Mencintai gunung harus menjadi terjal

Mencintai api harus menjadi jilat

Mencintai cakrawala harus menebas jarak

Mencintaimu harus menjelma aku                            

“Wah enak ya, musikalisasi puisi Sajak kecil tentang cinta karya Pak Sapardi Djoko Damono ini.’’ Radel begitu antusias. “Wah, sekarang ada lagi karyanya Pak Goenawan Mohammad, Berjaga padamukah lampu-lampu itu cintaku.” Radel heboh sendiri. “Wah enak-enak nih. Pinjem hp kamu dong.’’

“Untuk apa?’’                                 

“Untuk ngirimin semua musikalisasi puisinya, jangan pelit, minjem ya!’’

Ilmi tertegun diam, rasanya takut meminjamkan ponsel pada Radel. Takut diapa-apakan, dia kan usilnya suka kebangetan.

“Tapi, enggak akan diapa-apain kan?’’

Radel tergelak melihatnya nampak khawatir. “ Kalem, enggak akan diapa-apain kok.’’

Ilmi menganggukkan kepalanya, berusaha percaya sepenuhnya. Dengan ragu-ragu ia merogoh saku roknya, mengeluarkan ponselnya dan memberikannya kepada Radel.

“Polanya gimana?’’

Ilmi menunjukkan cara membuka polanya dan terlihat Radel begitu serius memerhatikannya.

“Oh, ok,” ucapnya sambil memasukkan ponsel Ilmi ke dalam saku celananya, lalu ia melepaskan tasnya, kemudian memberikannya kepada Ilmi. “Bawa ya ke kelas, aku mau ke kantin, belum sarapan. Sambil mau ngirimin musikalisasi yang kamu denger ini,” ucapnya sambil beranjak tanpa menghiraukan Ilmi yang ingin menolak membawa tasnya.

Namun tak lama dari itu langkahnya terhenti dan ia kembali menghampiri Ilmi dan berkata, “Ilmi, katamu aku enggak boleh lari lagi kepada alhokol, kan?’’

Ilmi kira Radel mau mengambil tasnya kembali, ternyata untuk mengatakan kalimat tersebut. “Iya.”

“Kalau gitu, gimana kalau aku sedang sedih larinya ke kamu? Gak perlu hibur aku untuk tertawa atau tersenyum, cukup ada di sampingku.”

Ilmi menyeringai, ia tak menyangka Radel akan mengatakan hal tersebut. “Loh?’’

“Apa, loh, loh?’’ Radel memonyongkan bibirnya sambil membeliakkan mata dan terlihat Ilmi menatapnya jengah. Kalau diterjemahin nih, tatapan itu mengatakan loh kok gitu sih? Ya tidak bisalah. Masa iya coba, emangnya kamu siapanya aku?

“Pokoknya enggak mau tahu dan iya, aku udah putus sama Naumi.’’ Memberitahukan statusnya yang sekarang sangat penting baginya, walau itu mungkin tak penting bagi Ilmi. Ya, agar Ilmi tahu saja kalau ia mendekatinya tak akan ada yang marah atau cemburu, karena ia tak lagi milik siapa-siapa .“Jadi aku boleh dong jadi pacar kamu?’’

“Hah?’’ Ilmi melongo, tak habis pikir rasanya ia pada laki-laki di hadapannya ini, yang betul saja, dia baru putus terus ngajak pacaran? Ilmi kemudian menghela napas panjang.

“Gimana?’’ tanyanya sambil tersenyum dan menilik-nilik mata Ilmi.

“Haha.’’ Ilmi memilih tertawa untuk menanggapinya dan tawanya dipaksakan, Radel tahu itu. “Udah ya, jangan diterusin lagi! Mending sekarang kamu sarapan.’’

“Hmmm...perhatiannya,’’ ucapnya sambil tersenyum menggoda. “Emang sih kalau yang cinta itu suka perhatian.’’

Astagfirullah al’adim Radel Pangestu.’’ Ilmi bebar-benar tak tahu harus bicara apa selain membaca istigfar untuk keadaannya dengan Radel saat ini.

“Kenapa istigfar sih?’’ tanya sambil tersenyum geli, karena Ilmi benar-benar jengah.

“Enggak pa-pa,’’ jawab Ilmi kalem.

“Ok, kalau gitu aku ke kantin dulu ya?!’’

“Ya.’’

Radel kemudian beranjak, namun llmi menghentikan langkahnya dengan memanggil namanya. Radel pun berbalik dan menghampirinya. “Ada apa? Rindu? Kan belum ditinggalin ke kantin.’’

Ilmi menghela napas kasar sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Bukan, tapi aku rasa, aku harus ngembaliin buku ini deh.’’ Ilmi menyodorkan buku Senandung Talijiwo dan terlihat  Radel menatap buku tersebut dengan ekspresi menyayangkan. Benar-benar dramatis, pikir Ilmi.

“Kasihan, bukunya juga ditolak,’’ eluh Radel dan itu entah kenapa membuat Ilmi ingin tertawa, namun Ilmi menahannya. Kok bisa sih, dia kelihatan lucu seperti ini? Pikir Ilmi. “Jangan dikembaliin dong Il, ini kan bukunya bagus banget.’’

“Terus?’’

“Terus kamu simpan aja, gak usah dikembaliin.’’

“Tapi...’’

“Gak mau tahu, harus diterima dan dibaca!’’

“Del...’’

“Gak mau tahu, Nahla Ilmi Nazwa. Pemberian itu harus diterima dan gak boleh ditolak, pamali namanya.”

“Del...’’

Lihat selengkapnya