Bel istirahat berbunyi, siswa-siswi kelas sebelas IIS-5 berhambur keluar dari bangkunya dan beranjak dari kelas. Sementara itu Ilmi disuruh membawa buku tugas ekonomi oleh bu Emi ke ruangan guru.
“Sini biar aku bantuin,’’ ucap Radel sambil mengambil buku-buku di tangan Ilmi.
“Gak usah, kamu mau ke ruang BK, kan?’’ Ilmi kembali mengambilnya.
“Iya, gak tahu kenapa aku dipanggil? Sama mama pula, padahal kemarin gak dikasih surat panggilan.’’
“Mungkin ada hal yang penting.’’
“Entahlah.’’
“Sana!’’ suruh Ilmi.
“Beneran nih gak mau dibantuin?’’
“Ya.’’
“Bener, Il?’’
“Iya, Radel.’’
Radel kemudian beranjak memasuki ruangan BK dan sesampainya ia mendapati ibunya Risa tengah marah-marah pada pak Ginanjar, pak Lutfy, dan bu Rika. Ia marah karena pertama Risa diolok-olok oleh teman-teman sekelasnya, kedua karena aibnya sekarang menyebar hingga Risa benar-benar terpuruk. Ia tak mau keluar dari kamarnya, apalagi keluar rumah. Tak mau makan, tak mau minum, selain menangis karena menyesal dan malu.
“Gini Bu, kenapa Sera bisa tahu karena memang mereka sahabatan bukan? Mungkin ia tahu langsung dari Risa sendiri, kami sebagai guru BK tidak pernah memberitahukan siapa-siapa kecuali kepala sekolah. Guru-guru pun tak kami beritahu.’’ Pak Ginanjar berusaha menjelaskan sebaik-baiknya.
Rasanya kepala pak Ginanjar dan dua guru BK lainnya mau pecah. Mereka benar-benar pusing dengan berbagai masalah yang dibuat siswanya. Seperti kasus Medina, sekarang Risa yang aibnya tersebar ke seluruh telinga siswa. Belum lagi anak-anak lainnya yang bermasalah karena mengkoleksi film porno, suka mabuk, dan lain sebagainya. Belum kemarin-kemarin puluhan siswa tawuran, terus sekarang harus menghadapi kemarahan ibu-ibu yang mungkin rasanya bikin darah naik ke ubun-ubun hingga mendidih. Di otak mereka itu rasanya penuh dengan masalah-masalah siswa dan penuh dengan suatu pemikiran seperti bagaimana mengatasinya? Beri sanksikah? atau dikeluarkan langsung dari sekolah? Atau bagaimana? Terus bagaimana caranya menutup mulut siswa yang hampir seribu lebih itu? Bagaimana pula caranya menenangkan ibunya Risa? Ditambah sekarang para ibu dan para ayah yang ponsel anaknya bermasalah sudah pada datang.
“Bu, mohon tenang ya!’’ Bu Rika berusaha menenangkan.
“Tenang-tenang, anak saya enggak mau ke mana-mana dan gak mau apa-apa. Gimana kalau terjadi sesuatu sama anak saya? Siapa yang mau tanggung jawab? Ibu sama Bapak? Kepala sekolah sama anaknya si Sera?’’
“Mohon maaf Bu, sekali lagi maafkan kami!’’ ucap bu Rika memelas, karena tidak tahu lagi harus bicara apa selain maaf.
Ibunya Risa tak menggubris, lalu ia keluar dari ruang BK dan masuk ke ruang kepala sekolah secara tidak sopan. Ia pun memarahi kepala sekolah habis-habisan dan menyuruh kepala sekolah untuk mendidik Sera serta menghukum atas perbuatannya.
“Pertama Medina, sekarang Risa.’’ Ibu Risa jengkel bukan main karena tingkahnya Sera.
“Baik Bu, saya akan mendidik Sera dan akan menghukumnya.’’
“Baik dan jika ada apa-apa sama anak saya, maka bapak sama Sera harus bertanggung jawab!’’
Kepala sekolah menganggukkan kepala, lalu ibunya Risa keluar dari ruangan tersebut. Rasanya ia geram pada Sera, karena telah bertindak bodoh. Sementara, di ruang BK terlihat Radel merasa terheran-heran, karena tak ada angin, tak ada apa-apa dipanggil ke ruang BK. Setelah semua orang tua murid dibawa ke Aula oleh bu Rika dan pak Lutfy, kecuali ibunya Radel, Pak Ginanjar membuka pembicaraan kepada mereka berdua.
“Begini bu, ada yang melaporkan bahwa Radel anak ibu mengosumsi minuman beralkohol dan itu katanya sudah dari lama. Betul begitu, bu? Radel?’’ tanya Pak Ginanjar memastikan.
Terlihat ibunya Radel tertunduk dengan mata yang berkaca-kaca, pipinya merah karena malu. Sebab faktanya memang seperti itu. Sementara, Radel tertegun diam sambil mengepalkan tangannya dengan gigi bergemertak, dan pipinya merah padam karena marah. Mungkinkah dia lagi yang melaporkan kepada pak Ginanjar, seperti empat tahun lalu? Balas dendamkah? Tetapi kenapa? Kenapa sekarang, setelah empat tahun lamanya? Menanti kesempatan atau bagaimana? Pikirnya sambil menerka-nerka.
“Betul Radel?’’ tanya pak Ginanjar kembali mempertegas. “Jika kamu mengosumsinya, dengan terpaksa mungkin pihak sekolah harus mengeluarkan kamu. Karena pertama kamu sering terlibat aksi tawuran dan melanggar aturan lain, dan kedua kamu mengosumsi alkohol, jadi tidak ada toleransi lagi. Sekali lagi saya tanya, betul tidak kamu mengosumsi minuman beralkohol?’’
“Tidak, dia tidak mengosumsinya,’’ sanggah ibunya gelagapan, mencoba menutupi kesalahan anak satu-satunya. Sebab, bagaimana pun ia tak mau Radel dikeluarkan dari sekolah ini.
“Iya, saya mengosumsinya pak,’’ jawabnya lirih. “Apa maksudnya ma, nutupin semuanya?’’ tanyanya marah pada ibunya, marah pada semua hal yang telah diperbuatnya terhadap dirinya yang menjadikannya seperti ini.
“Mama enggak mau kamu dikeluarin.”
“Kenapa enggak mau aku dikeluarin? Karena mama malu? Atau karena apa? Jika enggak peduli, tolong jangan bertingkah seolah-olah peduli karena itu menyakitkan. Mama sama aja bawa aku ke langit dan sesampainya di langit mama jatuhin. Tolong ma, jangan bertingkah seolah mencintaiku!’’ ucapnya yang kemudian beranjak dari ruangan tersebut tanpa menghiraukan betapa malunya sang ibu.
Ia berjalan begitu cepat menuju kelasnya dan sesampainya di kelas, ia langsung memukul pelipis Ihfa yang sedang membaca buku tanpa aba-aba, hingga ia tersungkur dan pelipisnya berdarah. Teman-teman perempuannya dan Wicky seketika berteriak. Mereka heran, karena tanpa masalah apa-apa Radel langsung memukul Ihfa.