“Gimana sih ceritanya? Ihfa anak haram gitu?” tanya Disi penasaran.
"Punya ayah gak sih?" tanya Zuhana.
“Eh Del, si Ihfa kalau anak pelacur berarti anak hasil laki-laki siapa aja dong?’’ tanya Radit sama penasaran dengan Disi dan Zuhana.
Terlihat Radel yang terkulai lemas bersandar ke tembok hanya menatap Radit dengan tatapan yang sulit diartikan. Matanya menyorotkan banyak hal. Hatinya tak karuan, merasa bersalah kepada Ihfa, sebab untuk kesekian kalinya ia mengundang kepedihan di hatinya. Ihfa sudah berdamai dengan statusnya sebagai anak PSK walau hanya di sekolah saja, tetapi karenanya lagi untuk kesekian kalinya Ihfa harus menelan kepahitan. Rasanya Radel menyesal, bagaimana pun ia adalah sahabatnya di waktu kecil.
“Gak punya ayah berarti.”
“Anak haram. Anak uang berapa ya? Kalau delapan puluh juga enggak mungkin.”
“Woyy, bisa gak sih gak ngomongin orang lain?’’ teriak Fauliza yang baru kembali dengan geram. “Hobi banget pengen orang lain lebih rendah.”
“Wah, wah Fauliza mau jadi pahlawan kemalaman. Masih pagi jelang siang Fau,” ucap Radit sambil tepuk tangan.
“He Radit, aku bukannya mau jadi pahlawan atau apapun bagi Ihfa. Asal kamu tahu aja, meski Ihfa lahir dari seorang PSK dia lebih baik daripada kamu.’’
Rasanya Fauliza tak rela, seorang laki-laki yang dicintainya diolok-olok seperti itu. Terlihat Hafitra menundukkan kepala sedalam-dalamnya, sungguh ia merasa cemburu. Kenapa harus tumbuh rasa cinta yang berbeda untuk seorang sahabat? Karena pada akhirnya harus ada yang terluka sendirian, pikirnya.
“Mulut kamu kaya mulut anjing, anjay,’’ cibir Radit tak terima akan pernyataan Fauliza.
"Jaga mulut kamu! Kaya orang yang enggak berpendidikan aja. Gak usah pake bahasa hutan!’’ teriak Hafitra tak rela, seseorang yang dicintainya dihardik seperti itu.
“Bangke.’’
“Jangan pandang orang lain rendah! Hanya karena dia terlahir dari rahim seorang anak PSK!’’ ucap Hafitra geram, segeram-geramnya.
Hafitra tahu betul siapa yang tengah ia bela dan itu bukan Ihfa, melainkan Fauliza agar hatinya tak tambah terluka, karena mendengar cacian yang menyakitkan terhadap orang yang dicintainya.
“Wah, Hafitra pembela kemanusian,” ucap Gena sekenanya.
“Kita semua udah tahu, gak ada anak yang haram. Hanya caranya aja yang haram ketika memperolehnya, jangan pura-pura gak tahu! Dan alangkah indahnya kita gak mandang orang lain lebih rendah dari kita, ketika kita sama tercipta dari tanah dan terbentuk dari air mani yang menjijikkan. Kita hidup di bumi, di ruang yang sama, mengapa harus menciptakan batas antara anak yang lahir dari seorang PSK dan bukan? Hingga ada ruang-ruang yang berbeda. Mengapa mengukur derajat manusia hanya dengan status sosial? Mengapa kita membentuk suatu kelas? Ini kelas anak PSK, anak haram dan ini kelas anak perempuan biasa, konglomerat, atau semacamnya. Mari kita belajar sama-sama agar tidak memandang orang lain lebih rendah!” lanjut Hafitra penuh kehati-hatian.
“Ya, Fitra betul, gak seharusnya kita memandang berdasarkan status dan membuat suatu kelas. Mulai sekarang, ayo kita belajar sama-sama, karena bersama itu indah. Di ruang semesta ini gak ada seorang perempuan yang ingin jadi PSK, selain terpaksa dan putus asa. Semua manusia enggak bisa memilih lahir dari rahim siapa dan terbentuk dari sperma siapa, jika bisa, maka manusia akan memilih lahir dari rahim seorang yang terpandang dan berjabatan tinggi, yang baik dan terhormat.’’Ya, kali ini Ilmi tak boleh lagi diam dan melakukan kesalahan yang sama terhadap Risa dan Aila, yaitu membiarkan kemanusian dikoyak-koyak lagi.
“Kalau bisa jangan bahas apa-apa lagi mengenai Ihfa, apalagi sampai menyebarkan kepada kelas-kelas lain! Mari belajar bersama untuk menjaga perasaan orang lain.” Erina ikut berbicara.
Terlihat teman-teman sekelasnya memandangi Ilmi dan sahabat-sahabatnya dengan berbagai tatapan. Tatapan tajam, tatapan menyesal, tatapan seolah-olah menganggap mereka sok baik. Namun, apalah peduli Ilmi dan sahabat-sahabatnya. Dianggap sok baik? Ya tidak masalah, itu hak mereka.
“Ilmi, Fitra, sama Erina bener, mari kita belajar untuk enggak memandang orang lain rendah dan mari kita belajar untuk menjaga perasaan orang lain,’’ ucap Prayoga, karena ia juga sama halnya dengan Ilmi, agar tak lagi melakukan kesalahan yang sama.
Seketika teman-teman sekelasnya mengalihkan pembicaraan mereka dan sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang pergi ke kantin, mendengarkan musik, main game online, dan sebagainya.
Terlihat Fauliza beranjak ke bangkunya, di mana Ilmi dan Erina berada.
“Fau, kok lama sih ambil kotak P3Knya?” tanya Erina.
“Maaf!”
“Gak apa-apa, terima kasih,” ucap Ilmi sambil tersenyum. “Apa yang Radit katakan jangan ambil hati ya!”
“Hmm.’’ Fauliza mengangguk.