Ruang dan Batas

Sri Winarti
Chapter #25

Bab 24

Angin menyisir lembut rambut Ihfa yang tengah duduk di tepi atap menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong melompong, seperti ruang di hatinya yang penuh duka, kepedihan, dan luka yang selalu ia balut sendirian. Luka yang tak pernah sembuh, malah semakin menganga dan bertambah parah. Kini rasanya akan semakin sulit menyembuhkan luka, apalagi mengelupaskannya. Mengapa sebagian besar orang selalu memandang rendah seorang PSK dan anaknya? Mengapa mereka tak pernah memikirkan perasaannya, bahwa itu menyakitkan? Seorang PSK dan anaknya juga manusia sama seperti mereka, memiliki hati dan perasaan. Andaikan bisa memilih terlahir dari rahim siapa, maka akan memilih terlahir dari rahim seperti anak lain, dengan begitu akan memiliki ayah yang jelas. Ah, mengapa beranda-andai, bukankah itu suatu hal tak baik? Mengapa tak menyukuri hidup? Pikirnya. Ah, rasanya ia ingin kembali membenci hidup, tetapi apakah dengan membenci akan mengubah pandangan dunia? Tidak, justeru akan semakin membuat hidup menderita, sebab dengan begitu tidak mensyukuri pemberian Tuhan.

“Ada dua hal yang ironi bagi manusia, ialah kematian dan kesepian,” ucap Fauliza sambil duduk di samping kirinya berjarak satu meter dengan diikuti oleh Ilmi beserta Erina, sedangkan Hafitra duduk di samping kanannya dengan jarak yang begitu dekat, bahkan ia merangkul bahunya. Terlihat Ihfa menatap mereka secara bergantian dengan sendu.

“Kami tahu, Ihfa kesepian setiap saat karena tak punya sahabat untuk membagi suka dan duka, untuk mengubah kesepian menjadi tawa atau sekadar bulat sabit indah di bibir Ihfa,” ucap Erina sambil menyuguhkan senyuman.

“Kamu tahu Fa, mengapa Tuhan menciptakan ruang sepi di hati manusia? Untuk diisi oleh orang lain, agar kamu mengerti bahwa Tuhan menciptakan sahabat untuk menjadikan ruang sepi itu bergema. Kamu tahu, mengapa Tuhan menciptakan perbedaan antara manusia dengan manusia lainnya? Ada yang lahir dari rahim istri Presiden, wali kota, orang kaya, orang miskin, perempuan biasa, atau perempuan seorang PSK, karena Tuhan ingin manusia mengerti, bahwasanya terlahir dari rahim siapa saja, derajatnya tetap sama di mataNya. Semuanya tercipta dari tanah, jadi tidak ada yang hina atau haram seorang anak. Jika iya, ia lahir tanpa pernikahan hanya caranya saja yang haram, anaknya tetap suci,” papar Ilmi.

“Sekarang Fa, bersahabatlah dengan kami! Karena kami tidak peduli yang namanya status sosial,” ucap Fauliza.

“Iya Fa, berbagilah kepedihan dengan kami. Buang semua keraguan untuk bersahabat kembali dengan orang lain! Biarkan kami mengisi ruang sepimu, menjadikannya bergema. Rubuhkanlah batas-batas yang sudah kamu bangun dan ciptakanlah ruang bersama kami dengan nama persahabatan,” bujuk Hafitra sambil menyuguhkan senyuman.

Terlihat Ihfa menundukkan kepala, apakah mereka bersungguh-sungguh? Jika iya, dengan senang hati ia ingin menjadi sahabat mereka. “Kalian sungguh-sungguh? Memangnya enggak malu punya sahabat anak PSK?’’

“Kenapa malu? Kamu bukan anak dari perempuan hina. Fa, semua perempuan mulia, hanya saja ia menjadi korban kemiskinan yang memaksanya untuk menjadi seorang PSK. Fa, semua perempuan tidak pernah mau berprofesi sebagai PSK, membayangkannya saja tidak pernah mau. Bukankah ibumu terpaksa? Sekarang ibumu bukankah lagi seorang PSK, semenjak kamu memerdekakannya,” ucap Fauliza dengan perasaan menggebu-gebu dan penuh harap, bahwa Ihfa akan mengamini ajakannya dan sahabat-sahabatnya.

“Kamu tahu tentangku?’’

“Iya, aku tahu. Ihfa saat aku meminta pertemanan dengan kamu, aku sudah tahu siapa kamu. Kamunya aja yang enggak pernah mau memberi kesempatan untuk menjelaskannya.”

“Maaf!”

“Gak pa-pa, mulai hari ini kamu sahabat kami!”

“Yupps, Ihfa sahabat kami sekarang,” ucap Erina sambil menerbitkan senyuman manisnya.

“Iya?’’ tanya Ilmi penuh harap.

“Fa, iya kan?’’ tanya Hafitra yang masih merangkulnya.

Air mata Ihfa terasa panas, lalu menetes dengan seiring waktu yang terus melintas. Bagi Ihfa ini seperti mimpi dan rasanya sangat indah, hingga ia tak ingin bangun lagi, tetapi ini benar-benar nyata. Akhirnya, Tuhan mengabulkan harapannya untuk memiliki sahabat kembali. Sementara itu Ilmi dan sahabat-sahabatnya menanti jawaban Ihfa penuh harap, bahwa ia akan mengatakan, iya.

“Iya,” ucap Ihfa penuh haru.

Terlihat Ilmi dan lainnya menyemburatkan senyuman bahagia. Akhirnya Ihfa mau bersahabat dengan mereka, dengan begitu ia tidak akan lagi sepi, sendirian.

“Sahabat?” ucap Fauliza.

Ihfa mengangguk.

“Selamanya!” ucap Ilmi, Erina, dan Hafitra.            

Lihat selengkapnya