Jam setengah sembilan malam kiranya, Ilmi baru saja usai latihan soal persiapan tes beasiswa kuliah ke Jepang tengah memasukkan buku-buku catatannya untuk esok. Ya, ia sudah mempersiapkannya sejak lama, sebab ia sangat-sangat ingin kuliah di salah satu universitas di negeri bunga sakura. Selain itu ia juga sudah mengikuti les bahasa Jepang secara online.
Rasanya ia merasa sedikit lelah karena hari ini banyak bermain, namun itu sangat menyenangkan. Drett...ponselnya bergetar, tanda sebuah pesan masuk dan dilihatnya pesan watshap dari Radel Suami masa depan. Ia terkesiap, matanya membulat sempurna, lalu ia mengerutkan dahi, memikirkan kapan ia mengganti namanya? Hah, jadi saat pinjem hp ia ganti namanya? Dasar Radel, ucapnya dalam hati setelah berhasil menyimpulkan kemungkinan. Iya, sebelum Ilmi bersama sahabat-sahabatnya meninggalkan Tebing Karaton, Radel mengembalikan ponselnya.
lagi apa?
Ilmi menghela napas sambil membuka pesannya, lalu ia menutup aplikasi watshap dan memilih tak membalasnya.
Kok diread doang? Bales dong! Kan aku nanyanya baik-baik, masa enggak dijawab?
Ilmi tertegun diam, merenung-renung anatara harus membalas atau tidak? Dan tak lama dari itu Radel melalukan panggilan vedeo. Ilmi tak mau mengangkatnya, biarkan saja panggilannya terus berlangsung hingga berakhir. Tetapi rasanya ia jadi tak enak hati karena mengabaikannya, namun masa bodo deh, pikir Ilmi dan panggilan pun berakhir. Tak lama dari itu Radel kembali mengirim pesan.
Kamu jijik ya liat wajah aku dan ngobrol sama aku? Sampe-sampe enggak diangkat.
“Eh?’’ Ilmi menyeringai.
Bukan gitu.
Karena aku terlalu ganteng ya?
“Lih,” ucap Ilmi sambil tersenyum geli, lalu geleng-geleng kepala, emang percaya diri banget Radel tuh.
Tak lama Radel menelponnya dan Ilmi bingung, antara menjawab atau tidak? Kalau tidak dijawab pasti menyangka aneh-aneh deh. Pada akhirnya ia memutuskan untuk menjawabnya.
“Ngapain nelpon?’’ tanyanya setelah Radel menjawab salamnya.
“Emang ada gitu undang-undang yang ngelarang Radel Pangestu nelepon Nahla Ilmi Nazwa?’’
“Gak ada.’’
“Lagi ngapain?’’
“Lagi ngobrol sama kamu, kan?’’
“Haha, iya tahu. Enggak sedang belajar gitu?’’
“Udah beres.’’
“Duh makasih udah mau belajar mencintai aku.’’ Radel tergelak, sedangkan Ilmi menghela napas terheran-heran, dia itu nanya apa sih sebetulnya? Dan kenapa pula bicara seperti itu? Pikir Ilmi jengah. “Ganggu gak?’’
“Kalau ganggu gimana?’’
“Ya udah kalau gitu, udah aja nelponnya.’’
Ilmi tertawa mendengar nada bicaranya yang seperti bocah marah, karena permennya diambil dan ia harus merelakannya.
“Ngapain ketawa, heuh?’’
“Becanda kok.’’
“Jadi enggak ganggu, kan?’’
“Iya.’’
“Il, sekarang kamu berdiri, lalu berjalan ke jendela, nah terus kamu buka jendelanya dan lihat langit!’’
“Ngapain?’’
“Udah nurut aja, apa susahnya coba? Atau perlu aku ke rumah kamu, ketuk-ketuk jendela kamar kamu, biar kamu keluar?’’
“Ok,” ucap Ilmi sambil beranjak, lalu ia membuka jendela kamarnya. “Aku udah buka jendelanya, udah liat langit juga.’’