Radel tertegun diam tepat di depan pintu pagar rumah sederhana Ilmi yang sudah dikunci, keadaan rumahnya juga sudah cukup sepi. Semoga saja Ilmi belum tidur, harapnya yang kini tengah berpikir-pikir, menaiki pagar atau seperti hendak bertamu seperti biasa saja? Mengucap salam dan menanti pagar dibukakan oleh tuan rumah, lalu masuk ke dalam sambil menyuguhkan senyuman termanis. Tetapi ia takut ibu dan ayahnya Ilmi sudah tidur, nanti mengganggu jadinya. Ok, naiki saja. Namun, kalau menaiki pagar lewat depan terlalu mencolok, takutnya ada orang lewat terus disangka maling, pikirnya yang kemudian berjalan menuju samping kanan rumah yang lumayan sepi dan nampaknya jarang dilalui. Ia menaiki tembok dan sesampainya di atas tembok, seketika ia terpesona melihat Ilmi yang mengenakan dress warna abu senada dengan kerudungnya tengah menarik anak panah, di bawah cahaya lampu yang cukup terang tetapi tak ramah. Jika seperti ini, rasanya ia lebih cemerlang dari pada bintang Utara. Itulah menurut Radel yang kini memilih duduk terlebih dahulu untuk menyaksikannya berpanah, dan terlihat Ilmi menghela napas yang dilihat Radel nampak berat, seperti tengah ingin melepaskan sesuatu hal sepertinya melepaskan anak panah yang kini mendarat tepat sasaran. Kemudian ia kembali menarik anak panah dan siap melepaskannya, namun ia berbalik ke arah Radel dan memusatkannya, hingga Radel terkesiap. Takut, Ilmi melepaskan anak panah tersebut padanya karena mungkin ia mengira dirinya maling.
“Tunggu Ilmi! Ini aku, Radel Pangestu yang ganteng, calon suami masa depan kamu, ayah dari anak-anak kamu.’’
Ilmi tersenyum, lalu menurunkan anak panah dan busurnya. “Tahu kok itu kamu Del, keliatan wajahnya.’’ Ya, Ilmi hanya sekedar ingin sedikit usil saja. Tak apa-apa kan, kalau usil sama orang usil? Pikirnya.
Radel melompat turun. “Terus kenapa mau manah aku? Udah ke panah kali, jadi enggak usah dipanah!’’
Ilmi mendengus sambil tersenyum dengan kalemnya. “Ada setan di samping kamu.’’
“Kamu indigo? Jadi kamu bisa lihat setan?’’ tanyanya sambil membeliakkan mata. Wah ternyata Ilmi penuh kejutan, pikirnya sambil merasa ngeri sendiri.
“Di samping aku ada, di belakang, pokoknya banyak deh.’’
“Serius?’’ tanyanya merinding.
“Serius dan ia sedang bisik-bisik tuh.” Ilmi mengembungkan pipinya, menahan tawa, karena sebenarnya ia bukan indigo. Karena memang kan, di sekeliling kita ada setan dan jin?
“Ah gila.” Radel berjalan menghampiri Ilmi dengan cepat.
“Berhenti! Ini di sampingku lebih mengerikan, mundur!” perintah Ilmi.
“Siapa yang kamu perintah mundur? Setan atau aku.”
“Kamu sama setan,” katanya dengan nada yang datar.
“Ah kamu, merinding nih.” Radel memegang punggung lehernya, yang kini berdiri.
“Mundur! Ayo mundur!”
Radel kemudian mundur.
“Lebih jauh!”
“Ah, Ilmi.”
Radel mundur lebih jauh dan terlihat Ilmi tertawa terpingkal-pingkal, membuat Radel heran dan takut.“Kamu kesurupan, Il? Jangan kesurupan dong! Aku gak tahu harus ngapain kalau kamu kesurupan.” Radel mulai panik tak karuan.
Ilmi menghentikan gelak tawanya. “Radel, Allah itu nyipatin manusia sama setan dan jin, kan?’’
Radel menganggukkan kepala.
“Kita hidup berdampingan, kan? Jadi pasti mereka berseliweran, cuman kita enggak liat aja.’’
“Dan iya Il, satu lagi.’’
“Apa?’’
“Allah nyiptaiin kamu untuk aku.’’
Ilmi mengangkat kedua bahunya sambil tersenyum, entahlah tak ada yang tahu siapa diciptakan untuk siapa? Tak ada yang bisa melihat benang merah itu saling terhubung satu sama lain. Terlihat Radel menggaruk kepalanya yang sama sekali tak gatal, entah kenapa rasanya ia sedikit malu kepada Ilmi, hingga pipinya merona. Sebelumnya ia tak pernah seperti ini dan ini baru pertama kalinya. “Kenapa belum tidur?’’
“Belum ngantuk.’’
“Kenapa maen panah malam-malam kaya gini? Apa kamu sedang lari dari suatu hal untuk melupakan sesuatu, seperti aku yang lari pada minuman beralkohol?’’
“Bisa dikatakan seperti itu.’’
“Kalau gitu apapun itu, semoga kamu dapat melupakannya dan kamu bahagia lagi.’’
“Hanupis.” Ilmi tersenyum dengan indah dan rekah, membuat hati Radel semakin tak karuan dan membuatnya tak ingin lepas menatapnya lekat-lekat, seperti sang pujangga menatap sang bintang Utaranya dan sang bidadari buminya untuk menuliskan segala keindahannya. “Kamu juga dan semoga enggak lari lagi sama minuman beralkohol.’’
“Aamiin.’’
“Oh iya, kamu tahu rumah aku dari siapa? Terus malam-malam begini mau ngapain ke sini?’’
“Ngikutin naluri,’’ jawabnya asal bunyi, membuat Ilmi tersenyum geli, karena merasa lucu saja. “Udah aku bilang kan, kalau aku sedih maka kamu harus jadi tempat aku untuk lari?’’
Ilmi tertegun diam, ia tak tahu harus berkata apa?
“Boleh, kan?’’
“Entahlah.’’ Ilmi menggeleng-gelengkan kepala sambil mengangkat kedua bahunya, sungguh ia tak punya kata lain. Sebab, rasanya ia tak memiliki keberdayaan untuk menolak maupun mengizinkannya.
“Pernah ikut lomba gak?’’
“Pernah, kan terakhir kemarin kelas sepuluh semester dua.’’