Ilmi baru saja sampai di sekolah dan ponselnya bergetar, dilihatnya pesan dari Radel via watshap, line dan sms. Radel nyuruh aku mulu nih buat ngucapin selamat pagi bintang Utara, `semoga kamu memiliki hati yang hangat untuk menyambut seseorang yang tengah berusaha mengetuk hatimu agar dapat menetap di dalamnya.
Tak ada reaksi, bahkan tak ada ekspresi yang tersirat di wajahnya ketika membaca pesan dari Radel itu. Dengan datarnya ia kembali memasukkan ponsel ke dalam saku rok. Tiba-tiba tasnya ditarik hingga ia melangkah mundur, sejajar dengan seseorang yang menarik tasnya. Dilihatnya Radel tengah tersenyum dengan lebar dan indah.
“Ke taman yuk!’’ ajaknya.
“Gak mau,’’ tolak Ilmi dengan nada yang datar.
“Hah, langsung ditolak,’’ eluh Radel kecewa dan dramatis. “Ayolah! kalau enggak mau, kamu akan aku peluk.” Radel merentangkan kedua tangannya dan terlihat Ilmi menatapnya jengah dan sebal. “Kalau kamu aku peluk akan jadi perhatian dan tentunya akan ada gosip antara kita, gimana?’’ tanyanya sambil menaik-naikkan alis dan tersenyum nakal.
“Ok,’’ ucap Ilmi terpaksa, sebab ia tak mau dipeluk Radel dan itu sama sekali tidak boleh.
Mereka pun berjalan beriringan dengan jarak setengah meter dan di tengah perjalanan mereka berpapasan dengan Naumi bersama teman-temannya yang hendak pergi ke kantin. Terlihat Naumi menatap Radel dan Ilmi tak suka. Kini ia membenci Radel, namun di hati paling kecilnya ia merasa bersalah karena telah melaporkannya, terlebih ia mendapat kabar bahwa kemungkinan Radel akan dikeluarkan. Bagaimana pun itu, di hati Naumi masih ada ruang cinta untuk Radel.
Entah mengapa rasanya melihat tatapan Naumi yang tajam dan sinis membuat Ilmi merasa tak enak hati. Ia dapat melihat ada kilatan cemburu dan kebencian di mata Naumi serta penyesalan. Sementara itu terlihat Radel menyuguhkan senyuman kepada Naumi dengan wajah tanpa berdosa seperti biasa, bahkan ia menyapanya, “Hai Mi,’’ sambil melambai-lambaikan tangan, kemudian ia beranjak dengan disusul Ilmi.
Sesampainya di taman, Radel menyuruh Ilmi duduk di kursi besi yang panjangnya kira-kira satu meter. Ilmi kemudian duduk di ujungnya dengan disusul Radel duduk dekatnya.
“Bisa jauh-jauh kan, duduknya?’’ tanya Ilmi lembut namun tegas.
“Hmm.’’ Radel menggeser bokongnya dengan malas.
“Lebih jauh lagi!’’
Radel pun duduk di ujung kursi, lalu ia mengeluarkan ponselnya. “Ayo tersenyum Ilmi,” ucapnya sambil tersenyum lebar menghadap kamera.
Hari ini pihak sekolah akan mengeluarkan keputusan dirinya dikeluarkan ataukah tidak. Jika dikeluarkan, maka ia sangat butuh sekali sebuah kenangan bersama Ilmi, berdua saja karena kemungkinannya ia akan pergi ke Semarang dan tinggal bersama nenek serta kakeknya. Mungkin itu cara terbaik juga untuk menghindar dari luka ketika melihat ibunya dan Geri bersama, walau ia tak ingin meninggalkan rumah ayahnya yang penuh kenangan.
Terlihat Ilmi berbalik kepadanya, lalu dengan segera ia memalingkan kepala ke arah lain karena tidak mau berfoto berdua dengan Radel. “Ilmi, mau dipeluk heuh?’’ Ilmi kemudian berbalik ke arah kamera dan tersenyum masam.“Heuh, bukan begitu! Begini nih,” ucapnya sambil tersenyum dengan lebar menampakkan giginya yang rapi dan putih. Ilmi terpaksa tersenyum manis di depan kameranya untuk berselfie dengan Radel. “Gitu dong, kan bagus,” ucapnya sambil melihat hasil selfienya. “Dari pada ini.” Radel menunjukkan foto Ilmi yang tengah tersenyum kaku memakai kerudung warna maroon di depan masjid Raya Bandung.
“Kok bisa ada foto aku di hp kamu?’’
“Kan aku kirimin, sekalian sama musikalisasi puisi, ” ucapnya sambil tersenyum tanpa wajah berdosa seperti biasa.
“Hapus Del, jelek!”
“Cantik kok.”
“Mana ada cantik item gitu, kurus lagi. Pokoknya harus dihapus!”
“Enggak mau, gimana dong? Ilmi denger ya! Kamu itu cantik dengan segala hal yang kamu miliki,yang terdiri dari perpaduan kesederhanaan dan ketulusan.’’
Ilmi tertegun diam, lalu menatap Radel dengan tatapan penuh arti. Tak ada rona merah di wajahnya yang tenang itu hingga sangat sulit bagi Radel menebak perasaannya kini, berbungakah atau kesal karena kalimatnya yang mungkin hanya dianggap nonsens? Namun Ilmi tahu betul ungkapan Radel, ia tak senaif itu.
Radel mengangkat alisnya sambil tersenyum, bertanya melalui tatapan tentang sikapnya itu yang berbeda dengan pacar-pacarnya sebelumnya ketika dipuji cantik. Ilmi mengalihkan tatapannya, menunduk sambil mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya ke kursi.
“Mana hp kamu?’’ Radel menengadahkan tangan kanannya.
Terlihat Ilmi menatapnya heran, berpikir untuk apa Radel menanyakan ponselnya? “Untuk apa?’’
“Sini aja, mau dipeluk?’’
Ilmi berdecak, lalu ia merogoh saku roknya dan mengeluarkan ponselnya, lalu memberikan kepada Radel. Radel meraihnya sambil tersenyum, lalu ia membuka galeri dan mengirim foto kemarin saat di Tebing Karaton, sekalian pula mengirim foto barusan untuk disimpan oleh Ilmi. Kemudian ia membuka menu kontak, memastikan kalau Ilmi tidak mengubah namanya. Sementara itu Ilmi nampak cemas dan penasaran, apa yang dilakukan Radel dengan ponselnya.
“Kenapa nama aku di kontak kamu diganti lagi sih?” tanya Radel kecewa, kemudian ia kembali mengubah namanya. “Awas kalau diganti lagi!’’ ancamnya sambil mengembalikan ponsel Ilmi.
Terlihat Ilmi melongo ketika melihat nama kontak Radel kembali menjadi Radel suami masa depan, dan kali ini disisipkan foto mereka berdua yang barusan diambil. Kenapa sih ada makhluk seperti Radel yang begitu ajaib? Pikirnya gemas dan kesal.
“Terima kasih, dan ingat! Foto kita berdua jangan sampai dihapus, untuk kita perlihatkan nanti sama anak dan cucu kita.”
“Hah?’’
“Apa?’’ tanyanya sambil membeliakkan mata.