Radel mengetuk-ngetuk pintu kamar nomer 102 sambil bertanya, “Sera, kamu masih di dalam kan? Belum pergi, kan?’’
Tak lama dari itu pintu kamarnya terbuka. Syukur, Sera belum pergi dari hotel milik amarhum ayahnya itu. Rencananya Sera hari ini akan pergi ke rumah neneknya yang ada di Sukabumi, sebab ia tak punya tempat untuk berlindung lagi selain nenek kakeknya, walau sebetulnya ia tak mau ke sana, karena kemungkinan ibunya akan menyusulnya, tetapi bagaimana lagi? Ia tak punya pilihan.
Saat melihat Radel bersama ayahnya, Sera langsung menutup pintunya dan kembali menguncinya. “Del, semalam kamu janji kan, enggak akan beritahu siapa-siapa? Tapi kenapa kamu ingkar janji?’’ Sera terisak.
Tentang semalam kepala sekolah yang tak menemukan Sera di hotel ini, karena Radel dan Sera sudah mengatur semuanya. Semalam ketika Radel hendak masuk ke dalam salah satu kamar untuk tidur, Sera menghentikan langkahnya dan memintanya untuk tidak memberitahukan siapa-siapa jika dirinya di sini dan akan pergi hari ini. Ia juga meminta Radel untuk menyuruh karyawannya agar tutup mulut mengenai keberadaannya di sini jika ada yang mencarinya. Mulanya Radel tak mau, tetapi karena Sera menangis sejadi-jadinya dan membuat penghuni hotel lain keluar karena terganggu, ia pun mengiyakannya dengan terpaksa.
Alasan mengapa Radel membantu ayahnya kini untuk membawanya pulang kembali, karena ia tak ingin ada batas antara anak dan orang tua seperti yang ia alami. Satu lagi alasannya, karena kepala sekolah adalah sesosok ayah. Kalian sangat tahu kan, betapa penting dan berharganya sosok ayah dalam hidup Radel? Ketika Radel menolong seorang ayah, maka ia merasa menolong ayahnya.
“Maafkan aku Sera!’’ ucap Radel yang kemudian menyingkir dari depan pintu dan mempersilahkan kepala sekolahnya untuk berdiri di sana dan berbicara dengan Sera.
“Maafkan papa, Nak! Papa salah telah menekan kamu untuk menjadi yang terbaik versi papa, karena papa ingin dianggap berhasil sebagai kepala sekolah dan seorang ayah yang ideal dengan menjadikan kamu role model seperti papa dididik oleh kakek, dan papa sering jadiin kamu pelampiasan. Papa salah dan mulai detik ini, papa enggak akan lagi melakukan semuanya.’’
“Papa bohong! Sera yakin, papa enggak akan pernah berubah dan Sera benci papa.’’
“Nak tolonglah beri kesempatan papa untuk memperbaiki semuanya!” Ayahnya pun terus memohon-mohon hingga akhirnya pintu kamar kembali terbuka
“Sungguh?’’ tanya Sera ingin hatinya yakin, seyakin-yakinnya.
“Sungguh,” lirih ayahnya bersungguh-sungguh.
Berhamburlah Sera kepelukannya sambil menangis bahagia dan penuh haru. “Papa janji, kan?’’
“Iya.’’ Ayahnya juga menangis haru.
Sementara itu Radel beranjak pergi untuk kembali ke sekolah, rasanya jika tetap di sini hatinya akan semakin iri dan membuatnya semakin rindu akan mendiang ayahnya.
~*~
Pukul 10: 18, jam istirahat pertama dan terlihat Radel tengah duduk menghadap kepala sekolah yang kini sudah nampak baik-baik saja. Pertama-tama kepala sekolah mengucapkan terima kasih padanya atas bantuannya, setelah itu mengeluarkan keputusan, bahwa Radel akan tetap sekolah di sini dengan syarat ia harus memenuhi semua aturan yang telah berlaku dan bagaimana pun caranya harus berhenti mengosumsi minuman beralkohol serta tak boleh lagi terlibat aksi tawuran. Jelas saja itu membuat Radel sangat bahagia, akan tetap di hatinya ada rasa yang mengganjal.
“Saya tidak jadi dikeluarkan bukan karena telah membantu bapak menemui Sera, kan Pak?’’
Bagaimana pun Radel tak mau ada istilah apa yang telah diperbuatnya harus dibalas. Ia ingin kebijakan sekolah benar-benar murni, karena ingin menjalankan visi misi yaitu, merangkul yang bermasalah, tak ada unsur yang lain.
Kepala sekolah tersenyum. “Jelas saja bukan.’’
Hati Radel merasa lega.
“Hari ini kan sekolah mengadakan pemeriksaan, sedangkan kelas kamu sudah melaksanakannya, jadi silahkan kamu gabung dengan kelas sepuluh untuk diperiksa!’’
“Baik pak.’’ Radel merengkuhkan kepala, lalu ia pamit undur diri dari ruangan tersebut dan pergi ke bangunan kelas sepuluh.
Sementara itu terlihat Ilmi bersama sahabat-sahabatnya pergi ke atap dan sesampainya di sana, mereka melihat pak Ginanjar tengah berdiri menatap lurus-lurus ke depan. Tak seperti biasanya di waktu istirahat ia berada di sini, mengasingkan diri dari rutinitasnya. Terlebih sekarang ini ada kegiatan pemeriksaan siswa.
Terlihat ia menghela napas yang nampak berat, berharap ketika menghembuskannya sesak di dada menjadi lega. Hah, begitu banyak masalah yang kini mengganggu pikirannya. Pertama siswa-siswanya terlibat aksi tawuran karena suatu hal yang sebetulnya cukup menggelitik. Kedua masalah siswanya yang menggunakan narkoba. Ketiga seks bebas dikalangan remaja, hingga berakhir pada bunuh diri dan pembunuhan. Menghancurkan masa depan seseorang yang belum sempat melihat dunia ini, seseorang yang belum sempat mendapatkan sentuhan ibu. Kekejaman macam apa ini? Siapa yang harus disalahkan dengan apa yang terjadi pada para remaja? Orang tuakah? Gurukah? Pergaulankah? Teman-temannyakah? Peradabankah? Sebuah sistem pendidikankah? Atau tokoh pelakunya sendiri? Inikah kegagalan seorang guru? Tak dapat membentuk siswa yang benar-benar mencintai batas yang sudah diciptakan Tuhan dan budaya, pikirnya tak tahu harus apa dan bagaimana?