Terlihat kalimat “MAAFKAN KAMI RISA!” yang terbuat dari kertas origami tertempel cantik di tembok kelas paling belakang, di temani foto-foto ploraloid seluruh kelas sebelas IIS-5 yang menggantung. Ada foto Irus juga yang jika dilihat oleh Radel membuatnya sangat rindu. Perjuangan Wicky, Ilmi beserta sahabat-sahabatnya, Nia, Siska dan Prayoga tak sia-sia karena telah berhasil mengajak teman-temannya untuk minta maaf pada Risa. Terbukti dari hasil dekoran kelas, meski sederhana dan seadanya. Minta maaf pada Risa adalah keharusan, sebab telah menghakimi dan mengolok-olok, sedangkan hal itu sama sekali tidak benar. Bukankah menghakimi kesalahannya bukan hak mereka? Dan diam saja serta bersikap masa bodo juga salah? Namun apakah Risa akan sedia datang dan memaafkan? Sedangkan belasan pesan dari Wicky yang memintanya datang hanya dibaca sekali. Ditelpon pun tak diangkat sama sekali, malah sekarang tak bisa dihubungi, hingga luruhlah rasa Wicky. Hatinya bimbang, resah, dan sangat-sangat khawatir tidak dapat bertemu lagi dengan Risa dan ia juga khawatir terhadap Sera karena ia pergi dari rumah. Sungguh Wicky tak benar-benar membenci Sera, ia mengatakan benci karena emosi saja.
“Kayanya Risa enggak akan datang dan aku enggak tahu harus cari Sera ke mana?’’ lirih Wicky sendu yang kini tengah duduk di hadapan Ilmi dengan lesunya. Air matanya bergenangan, terasa panas ingin dideraikan.
“Yakin aja Ky, Risa akan ke sini dan Sera akan ditemukan,’’ kata Ilmi sambil tersenyum dengan indah.
“Hmm.’’ Erina menganggukkan kepala sambil menyuguhkan senyuman, ikut meyakinkan.
“Iya, yakin aja dan paling penting jangan sedih lagi! Semuanya akan baik-baik aja.’’
“Iya, betul kata Fau,’’ ungkap Ihfa sambil tersenyum.
“Sejak kapan bijaksana, heuh?’’ tanya Radel sambil menoyor kepala Fauliza.
Terlihat Hafitra menatapnya tak suka. “Emangnya kamu bijaksana?’’
“Heuh.’’ Radel mendengus kesal sambil menghela napas, “Twinky Winky udah deh, enggak usah lebay! Pake berkaca-kaca gitu matanya, kamu tuh cowok, cowok, enggak usah cengeng dan terlalu dramatis. Sera udah ditemukan kok, udah pulang juga ke rumahnya.’’ Radel kemudian mencolek dagunya.
“Del....’’
“Iya, iya Il, enggak akan godain dia. Jangan cemburu gitu, aku bukan moho kok. Masih normal sejuta persen dan cuman cinta sama kamu.’’
“So sweet,’’ ucap Erina sambil cengengesan.
“Jijik,’’ bentak Fauliza dengan nada yang begitu tinggi.
Ihfa tak hentinya menatap Radel dengan lekat, menerjamahkan sikap dan setiap ucapannya. Seriuskah atau hanya sekedar modus belaka dan candaan semata? Pikirnya khawatir.
“Del, beneran Sera udah ketemu dan dia udah pulang?’’ tanya Wicky memastikan.
“Ya.’’
Wicky merasa lega, akhirnya Sera sudah pulang ke rumahnya dan terlihat Ilmi menatap Radel. Apa mungkin dia pergi tadi karena tahu Sera di mana dan ia yang telah membantu kepala sekolah untuk menemukannya? Pikirnya.
“Ky, gimana kalau kita ke rumahnya Risa? Kita jemput, kasian juga teman-teman yang udah nyiapin ini semua dan ini tentunya gak boleh sia-sia, ya meski sederhana,’’ saran Hafitra
Wicky menganggukkan kepala, lalu meminta izin pada teman-temannya, kemudian meninggalkan kelas menuju parkiran.
Seiring Ilmi membuka pintu mobil Hafitra, seiring itu pula Radel membukanya dan memasuki mobil, membuat Ilmi geleng-geleng kepala untuk kesekian kalinya. Padahal tidak diajak, main ikut saja. Dasar Radel, suka seenak dengkul.
“Del, kamu enggak diajak, ngapain ikut?’’
“Tahu kok Twinky Winky, ikut ajalah! Masa enggak boleh sih cogan kaya aku ikut, ya gak burung Fifit?’’ Radel meminta persetujuan dari Hafitra, lalu ia nyengir dengan lebar dan memasang wajah sok imutnya, kemudian ia tersenyum dengan manis kepada Ilmi yang masih tertegun memegang pintu, enggan masuk. “Iya kan Il, aku boleh ikut?’’
“Terserah Fitra aja sih.’’
“Mending kamu nunggu di kelas deh,’’ saran Hafitra.
“Enggak mau, gimana dong?’’ Radel menyandarkan tubuhnya dengan santai, meletakkan kepalanya di kedua tangannya sambil menyanyi dan menatap Ilmi.
Hiroi uchuu no kazu aru hitotsu ( Di alam semesta yang luas ini)
Aoi chikyuu no hiroi sekai de (Dunia besar bumi yang biru)
Chiisana koi no omoi wa todoku ( Rasa cinta yang kecil ini akan sampai)
Chiisana shima no anatano moto e ( Padamu di pulau yang kecil)
“Ky, kamu bisa pindah ke belakang? Biar Ilmi di depan.”
“Arghhhh, ngapain?’’ eluh Radel tak suka, sebab ia ingin berdekatan dengan Ilmi. Terlihat wajahnya nampak kecewa. “Il, kamu duduk sama aku! Aku enggak akan apa-apain kamu kok, enggak akan jailin kamu lagi, lima juta rius. Sekarang kan aku cinta sama kamu.’’
Mendengar kalimat Radel yang berkesan berlebihan dan melihat wajahnya yang kini nampak konyol, membuat Ilmi ingin tertawa, tetapi ia memilih menahannya.
“Duduk sama Wicky ya!’’ Ilmi menutup pintunya dan seiring itu Wicky pindah ke belakang.
Rasanya Radel kesal sekali dan ingin marah-marah pada Hafitra. Kesal juga pada Ilmi yang tak mau duduk bersamanya. Tetapi sudahlah yang penting sama Ilmi, pikirnya.
“Ayo jalan Pak sopir!’’ Radel menepuk pundak Hafitra sambil tersenyum.
Hafitra mengeluarkan mobilnya dari parkiran, lalu melajukannya dan meninggalkan gedung sekolah. Terlihat Radel menyalakan musik, lalu terdengarlah lagu lily, Alan Walker mengalun.
“Enggak ada lagu Jepang Fit? Soundtrock anime gitu.’’
“Enggak ada, dengerin aja yang ada!’’ ucap Hafitra ketus.
“Ok.’’
Radel mengetuk-ngetuk pahanya dengan jari jemarinya sambil mengangguk-anggukkan kepala. Tak lupa ia juga ikut bernyanyi-nyanyi ria. Ia bertingkah seolah-olah tengah berada di dalam mobilnya sendiri dan Hafitra seolah-olah sopir pribadinya, menyebalkan. Hafitra yang tengah menyetir merasa kesal, belum lagi suara Radel sumbang, hingga rasanya telinga Hafitra sakit.
“Ih, gandeng (Berisik),’’ eluh Wicky tak nyaman dengan suaranya. “Merusak lagu tahu.’’
“Del bisa enggak, kamu enggak usah nyanyi?’’ ungkap Hafitra merasa tak nyaman pula dengan suaranya.
“Ah, enggak asyik kamu.”
“Mau aku turunin di sini?’’
“Jangan dong!” ucapnya sambil tersenyum nakal.
Ilmi sama sekali tidak berkomentar karena tingkah Radel saat ini, ia memilih diam sambil menatap jalanan melalui jendela mobil. Wajahnya nampak sendu dan ia nampak tengah memikirkan sesuatu. Entah apa yang tengah dipikirnya? Yang pasti ia sedang merasakan kerinduan yang begitu mendalam.
“Il, lagi liat apa sih?’’ tanya Radel penasaran karena sepanjang perjalanan ia tetap saja seperti itu.
Ilmi mengalihkan pandangannya dan menandang Radel, lalu tersenyum tanpa mengucapkan sepatah katapun, kemudian ia tertunduk. Bagi Radel sikap Ilmi itu bikin gemas. Kadang ramah, hangat, berdingin hati, judes dan kadang suka menjawab pertanyaan dengan senyuman.
Tak lama dari itu, mereka sampai di rumah Risa yang lumayan besar dan bisa dibilang mewah. Ilmi dan yang lainnya kemudian turun dari mobil, lalu Radel menekan bel. Tak lama dari itu seorang laki-laki paruh baya membuka pintu pagarnya sambil menyuguhkan senyuman. Mereka membalas senyumannya dengan hangat dan penuh kesopanan, lalu dipersilahkan masuk.
Wicky mengetuk pintu rumah Risa sambil mengucapkan salam, namun tak ada jawaban. Kemudian Radel yang mengetuknya. “Assalammu’alaikum, parabotna bu,” teriak Radel.
“Yang sopan dong Del, terus jangan bercanda!” ucap Ilmi jengkel dan ingin tertawa karena tingkah konyolnya itu.
“Oh, ok,” ucapnya santai. “Spada!”
“Radel serius ih!” kata Wicky jengkel, rasanya ia ingin menjitak kepala Radel bolak-balik tujuh kali.
“Bu, pak tahu bulatnya lima ratusan digoreng dadakan.’’
“Del, serius,’’ ucap Ilmi lagi.
“Ok.’’ Radel tersenyum dengan manisnya.
Coba kalau Fauliza ikut, sudah dipastikan kepalanya akan dijitak atau kakinya ditendang dengan keras saking kesalnya. Untung Fauliza tidak ikut, jadi Radel bisa selamat dan aman.
Tak lama dari itu ibunya Risa keluar. “Ada perlu apa kalian ke sini?’’ tanya ibunya Risa dengan nada yang tak bersahabat. “Kenapa Wicky bawa mereka?’’
“Kami ingin menjemput Risa untuk ke kelas, karena...’’ Belum Ilmi mengusaikan kalimatnya, ibunya Risa langsung memotongnya.
“Untuk apa? Untuk diolok-olok lagi?’’
“Bukan begitu tante...’’ Wicky berusaha menjelaskan.
“Saya enggak akan mengizinkan Risa untuk pergi.’’ Ibunya Risa menutup pintu dengan kencang, tanpa memberikan kesempatan pada mereka untuk menjelaskan.
“Gimana ini?’’ Wicky hampir putus asa.
Mereka kemudian berpikir bagaimana caranya untuk membawa Risa ke sekolah? Bisa saja sih mereka menyuruh teman-temannya ke sini untuk meminta maaf, tetapi mereka sudah menyiapkan segala sesuatunya di sana, karena dari awal mereka ingin meminta maaf di kelas yang memang telah memiliki banyak kenangan, agar meninggalkan kesan.
Ilmi, Hafitra, dan Wicky sibuk memikirkan cara dan berdiskusi, sedangkan Radel malah asyik memanjat pohon mangga yang memang kebetulan tengah berbuah dengan lebat. Ia memetik mangga yang lumayan matang dan memakannya. Ilmi berbalik dan dilihatnya Radel tidak ada, matanya pun mencari-carinya. Dilihatnya Radel tengah duduk bersantai di ranting besar sambil memakan buah dengan rakusnya tanpa dikupas, hingga membuat Ilmi mengucapkan istighfar sambil menghela napas kasar.
“Kenapa Il?” tanya Wicky saat mendengar Ilmi mengucapkan istighfar. “Radel mana?’’ tanyanya lagi saat menyadari ketidakadaan Radel.
“Tuh, lagi makan mangga.”
“Ih, bikin malu,” ucap Wicky kesal sambil beranjak dengan diikuti oleh Ilmi dan Hafitra.