Ruang dan Batas

Sri Winarti
Chapter #33

Bab 32

Mungkin kita tak pernah benar-benar bijaksana, hanya sekedar mengujarkan kata-kata tanpa pernah memaknai dengan sungguh. Menguatkan orang lain, tetapi sendiri tak sekuat dan tak setabah kata-kata.

Hari ini adalah hari spesial bagi Gusni, sebab ia genap meninjak usia sembilan tahun. Hafitra beserta sahabat-sahabatnya sudah menyiapkan pesta kecil dan sederhana untuknya. Rumahnya di dekorasi sedemikian rupa, dipasang balon-balon lucu, lampu-lampu kecil yang berkerlap-kerlip. Di salah satu dinding dihiasi oleh gambar Spongebob, kartun kesukaannya. Begitupun dengan kuenya, berbentuk spongebob yang lucu sekali.

Namun di hari spesial ini tak membuat Gusni bahagia, sebab ayahnya tak pulang, begitupun dengan ibunya yang sibuk di Jakarta. Terlihat wajahnya nampak sendu, ia juga tak mau memulai acaranya sebelum ibu dan ayahnya pulang. Ah, ini mustahil, mereka sudah mengatakan tidak akan pulang dan mereka juga sudah menyuruh kurir untuk mengantarkan hadiah ulang tahunnya. Berulangkali Hafitra dan sahabat-sahabatnya beserta Radel yang ikut diundang membujuknya untuk segera memulai acara, karena kasihan kepada teman-teman sekolahnya yang sudah datang, termasuk Gian. Tetapi ia tetap saja tak mau memulainya. Rasanya Vey dan suaminya, Hafitra beserta sahabat-sahabatnya kehabisan cara.

Tak lama ibunya pulang, membuat senyuman Gusni mengembang. Ia berlarian menuju ibunya, memeluknya dengan erat dan penuh kebahagiaan. Hafitra turut bahagia, akhirnya ibunya mau meluangkan waktu untuk Gusni. Namun seakan-akan ia dibawa terbang ke langit, lalu dijatuhkan dengan kasar ke bumi. Ternyata ibunya pulang untuk mengambil dokumen hasil riset yang ketinggalan. Rasanya itu bagi Gusni, Vey dan Hafita sangat menyakitkan.

“Ma, aku kira mama pulang untuk Gusni, tapi nyatanya untuk mengambil hasil riset.’’ Hafitra kecewa bukan main.

“Maaf sayang!’’

“Ma, Gusni butuh mama dan papa. Setidaknya kalau papa enggak bisa pulang dan luangin waktu, mama harusnya bisa!’’ Vey ikut berbicara.

“Mama buru-buru, ok! Biasanya juga bisa ngerayain tanpa mama dan papa.’’ Ia berusaha memberi pengertian. “Selamat ulang tahun sayang.’’ Ia mengusap kepala Gusni sambil meminta pada Hafitra dan Vey untuk menjaganya.

Ia pergi dan Gusni mengejarnya, lalu Gusni menarik tangannya sambil menangis, memohon-mohon agar ia tetap di sini, merayakan hari spesialnya.

“Gusni mau ngerayain sama mama.’’

“Sayang, maafin Mama ya!’’ ucapnya sambil melepaskan tangannya dan memanggil Hafitra untuk membawa Gusni masuk ke dalam.

“Ayo Gus, enggak usah mengharapkan mama.’’ Hafitra menarik tangan Gusni dan membawanya masuk kembali.

“Gusni mau ngerayain ulang tahun hari ini sama mama,’’ teriak Gusni sambil melepaskan genggaman Hafitra.

Ia berlarian menyusul ibunya dan terlihat Hafitra tertunduk, bukannya Gusni terlalu kecil untuknya mengerti kesibukan ibunya? Pikirnya sambil meneteskan air mata. Kemudian ia beranjak menyusul Gusni, begitupun dengan kakak, sahabatnya dan Radel.

“Gusni!’’ teriak Hafitra yang kemudian tertegun diam dengan mata yang membeliak, menyaksikan Gusni ditabrak dengan kencang hingga ia terpental jauh dan kepalanya membentur aspal, membuatnya berdarah-darah. Kejadiannya begitu sangat cepat hingga Hafitra tak memiliki kesempatan untuk menolongnya. Luruhlah sebuah rasa yang teramat pedih. Hatinya yang rapuh seolah-olah tengah dikoyak-koyak oleh belati tanpa ampun. Sesak, menekan mendesak. Air mata jatuh dengan deras, seluruh tubuhnya terasa lemas, seakan-akan ia akan tenggelam dan tak bisa lagi muncul ke permukaan.

Sekuat-kuatnya ia berlari memburunya dan terlihat Vey terkulai lemas, memegang pagar sambil menangis sejadi-jadinya. Sedangkan sahabat-sahabatnya ikut berlarian memburu Gusni, begitupun dengan Radel. Hafitra panik bukan main melihat adiknya yang berlumuran darah dan tak sadarkan diri. Ia bingung harus berbuat apa? Rasanya, kepalanya ingin pecah berantakan. Napasnya tidak teratur, deru jantungnya berdetak dengan kencang tak karuan. Rasa panas menjulur ke ubun-ubunya. Sekali lagi ia lari sekuat-kuatnya menyusul mobil ibunya untuk memberhentikan hal nahas yang dialami Gusni.

Ihfa mencoba berbicara dengan sebaik-baiknya pada pengemudi agar keluar dari mobilnya dan bertanggung jawab. Sementara itu Radel sibuk membawa masuk kembali teman-temannya Gusni ke dalam rumah dan menenangkannya. Erina sibuk menelpon ambulans dan Ilmi merangkul tubuh mungil Gusni. Sedangkan Fauliza berdiri di samping Ilmi dengan rasa takut dan cemas sambil memeluk Gian yang merasa syok. Tubuh Fauliza sama gemetaran dengan Gian dan keringat panas dingin keluar dari tubuhnya. Ini pertama kalinya ia menyaksikan kecelakaan dan itu menimpa adik sahabatnya.

“Ma, berenti!’’ teriak Hafitra yang hampir putus asa karena ibunya tak memberhentikan mobilnya.

Napasnya tersenggal-senggal, ia pun mengeluarkan ponselnya dari saku celananyadan menelpon ibunya. Namun tak diangkat sama sekali. Terlihat ibunya menyetir dengan keadaan melamun, hatinya tidak karuan. Ia menimbang-nimbang, haruskah kembali dan merayakan ulang tahun bersama anak bungsunya lalu meninggalkan pekerjaan? Atau tetap pergi?

Ponselnya terus berdering dan kali ini ia mendengarnya. Diliriknya dari Hafitra, dengan segeralah ia menjawabnya. Seketika ia menghentikan mobilnya secara mendadak dan seketika hatinya hancur redam.

“Bagaimana bisa, Fit?’’ isak ibunya.

“Ma, Gusni kecelakaan gara-gara ngejar mama.’’

“Mama suruh jaga dia, kan? ’’ ucapnya dengan nada yang begitu tinggi, lalu ia menutup teleponnya dan memutar arah.

Ilmi memeriksa hidungnya, tak ada hembusan napas lagi, lalu ia memeriksa denyut nadinya, dan sama saja tak ada lagi tanda kehidupan karena Gusni kini telah dijemput batas.

Inalillahi wa inna lillahi raji’un,’’ lirih Ilmi sendu sambil menderaikan air mata lebih deras.

Bagaimana pun mereka sudah menganggap Gusni seperti adiknya dan mereka sangat-sangat menyayanginya. Itu cukup membuat mereka terpukul dan merasakan kesedihan yang mendalam.

“Maksudnya apa baca inalillahi? Gusni enggak mati, Il.’’ Hafitra tak terima, lalu ia mengambil Gusni dari pangkuan Ilmi dan memeluknya dengan erat sambil menangis sejadi-jadinya. “Enggak mungkin, Il.’’ Hafitra masih tak percaya. “Kenapa ambulans belum datang juga sih? Er, kamu telepon enggak sih?’’ bentaknya membuat Erina merasa takut.

“Fit, kamu harus rela!’’ Erina menyentuh lembut pundaknya sambil menangis pula. Ia berusaha agar sahabat sejak kecilnya itu tabah dan rela.

“Gusni enggak apa-apa, dibawa ke rumah sakit juga dia sembuh.’’

“Fitra....’’

Lihat selengkapnya