Ruang dan Batas

Sri Winarti
Chapter #35

Bab 34

“Ihfa, keinginanmu kembali bersahabat dengan Radel hanya akan terwujud jika kamu yang mewujudkannya. Maka wujudkanlah hari ini dan jangan takut untuk memulainya!” ucap Ilmi sambil tersenyum pada Ihfa yang kini duduk berhadapan dengannya, di sebuah restoran Jepang yang cukup terkenal di Bandung.

 “Ini sudah terlalu lama, maka dari itu mulailah sekarang!’’ ucap Hafitra.

“Dan maaf, kami gak bisa membuat lebih dari menciptakan ruang antara kamu dengan Radel,’’ ucap Fauliza.

“Tapi kami yakin, bahwa Ihfa bisa kembali menjalin persahabatan kembali dengan Radel,’’ kata Erina sambil tersenyum dengan hangat dan indah.

Rasanya Ihfa kini adalah manusia paling beruntung di semesta ini, karena telah memiliki sahabat yang begitu baik seperti mereka yang telah mewujudkan keinginan-keinginannya seperti bermain, belajar bersama dan sebagainya. Mungkin bagi kalian itu hanya hal yang sederhana, tetapi bagi Ihfa itu semua sangat-sangat istimewa dan membahagiakan serta mengharukan. Selain itu, mereka juga telah berjuang agar ikatan persahabatannya dengan Radel kembali terjalin, dengan selalu menciptakan ruang dan waktu bersama sebagai langkah untuk memulai.

“Tapi aku takut, Radel gak memaafkan aku. Aku takut takut cuman aku doang yang inginkan persahabatan dengannya terjalin kembali dan dirinya sama sekali gak mau, dan udah lupain persahabatan kita.’’

“Kita enggak akan tahu, jika kita enggak memulainya! Usahakan dulu aja,’’ ucap Hafitra

“Baik, aku akan mencoba,’’ kata Ihfa dengan mata yang berkaca-kaca karena merasa sangat terharu.

“Semoga berhasil!’’ ucap sahabat-sahabatnya dengan kompak sambil tersenyum dengan lebar dan indah.

Ihfa menganggukkan kepala sambil tersenyum dengan indah dan rekah.

“Sebentar lagi Radel datang, gunakanlah sebaik-baiknya kesempatannya! Jelaskan apa yang tak terjelaskan dulu,’’ kata Ilmi setelah membaca pesan dari Radel, kemudian ia dan ketiga sahabatnya beranjak dari sana untuk membiarkan ruang dan waktu untuk Ihfa dan Radel, berdua saja.

Mereka duduk agak jauh dari tempat duduk Ihfa dan tak lama dari itu Radel tiba, lalu duduk berhadap-hadapan dengan Ihfa. Terlihat mereka masih saja canggung dan kikuk satu sama lain. Meski ini sudah sepuluh menit, masih saja tak ada percakapan antara mereka berdua. Rasanya Ihfa benar-benar enggan, bagaimana kalau Radel memang sudah betul-betul melupakan persahabatan yang sudah terjalin dulu dan ia sudah tak menginginkannya? Bagaimana kalau Radel masih membenci dan belum bisa memaafkan? Pikir Ihfa sambil menatap Radel penuh harap, bahwa Radel juga sepertinya, selalu merindukan persahabatan kembali terjalin dan sudah memaafkan.

Sementara itu terlihat Ilmi, Fauliza, Erina dan Hafitra harap-harap cemas karena sampai sekarang pun tak ada percakapan antara mereka berdua.

“Bagaimana kalau mereka masih saja diam seperti di perpustakaan? Itu sama saja akan sia-sia dong,’’ seru Fauliza yang kemudian menghela napas.

“Ayolah Ihfa bicara!’’ Ilmi rasanya gemas sekali.

“Ah, Erin rasa gak akan ada percakapan antara mereka seperti di perpustakaan.’’

“Kayanya Ihfa masih gak berani, mungkin dia masih perlu waktu,’’ ucap Hafitra yang kemudian mengajak sahabat-sahabatnya untuk kembali, sebab sudah hampir 20 menit. Selain itu tanpa diduga, Eza dan Gena ikut bergabung di meja mereka. Kata Gena tidak seru kalau makan berdua sama Eza, seperti homo, hingga membuat tawa Ilmi dan sahabat-sahabatnya pecah.

“Oh iya, maaf ya Del, kami telat ke mari,’’ ucap Ilmi sambil menyuguhkan senyuman, merasa tak enak hati padanya.

“Gak masalah,’’ tanggap Radel sambil tersenyum pula dengan indah. “Il, emangnya kamu enggak capek?’’ tanya Radel penuh perhatian dan simpati pada Ilmi yang kini tengah sibuk memilih menu makanan yang akan dipesannya. “Kan kamu habis ngospek siswa baru dan sekarang harus makan malam sama kita dan main.’’

“Kalau tadi emang capek banget, kalau sekarang enggak terlalu. Lagi pula aku udah rindu pergi bersama-sama seperti ini.’’

“Terutama sama aku ya?’’ tanyanya sambil nyengir dan mengedip-edipkan mata dengan genitnya.

Ilmi mengangkat kedua bahunya sambil menggelengkan kepala dan tersenyum, entahlah ia tak tahu.

“Kalian liburan ke mana sih, selama libur semester ini?’’ tanya Eza penasaran.

Mereka pun menjawabnya, Gena tidak pergi liburan ke mana-mana, hanya di rumah saja dengan bosan, menghabiskan waktu dengan bermian game dan sesekali membantu pekerjaan ibu dan ayahnya. Begitupula dengan Erina yang sesekali pergi ke rumah sakit bersama Elia dengan ditemani Hafitra yang juga menghabiskan liburannya di rumah. Kalau Fauliza pergi liburan ke Bali bersama ibunya. Sedangkan Ilmi sibuk mempersiapkan penerimaan siswa baru dan mengospeknya serta membantu ibunya. Kalau Ihfa sudah jelas, menghabiskan liburannya dengan sibuk bekerja. Sementara itu Radel pergi liburan ke rumah nenek dan kakek dari ayahnya, di Pangandaran. Di dadanya pun selalu dipenuhi keriduan pada Ilmi dan saat ini ia benar-benar bahagia, karena akan menghabiskan ruang dan waktu bersamanya setelah satu minggu lebih tak bertemu walau tak berduaan saja.

“Ini enak gak ya?’’ tanya Fauliza kepada Ilmi.

“Keliatannya enak Fau, tapi enggak tahu juga.’’

“Mana? Mana?’’ tanya Gena sambil berniat menyentuh tangan Ilmi, namun Radel dengan sigap memukul tangannya dengan keras sambil memolototinya.

“Aduh, aduh sakit.’’ Gena mengusap-usap tangannya. “Dasar temen jahanam,’’ hardiknya.

Terlihat Erina senyum-senyum sendiri melihat Radel dan Ilmi, serasa tengah melihat serial Korea romantis pavoritnya.

“Itu baru permulaan, nanti akan ada azab yang lebih mengerikan,’’ seru Fauliza dengan tatapan yang tajam.

“Fau,’’ kata Ilmi agar ia tak lagi berbicara sembarangan.

“Dari dulu mulutnya selalu nyakitin, padahal kamu manis dan cantik,” eluh Gena menyayangkan.

“Jangan gombal, jijik!’’ teriak Fauliza tak suka.

“Itu bukan gombal,’’ sanggah Gena.

“Muzan Kibutsuji mana ngerti itu gombal atau bukan,’’ celetuk Radel asal bunyi.

“Jangan ganti nama orang sembarangan! Apaan Kuzang Ki..kibuitsiji?’’ teriak Fauliza lebih keras hingga teman-temannya harus menutup telinga dan mengundang tatapan-tatapan orang lain. Terlihat pula writersnya sampai nyengir melihat pertikaian mereka.

“Udah dong, nanti diusir lagi kaya di bioskop!’’ lerai Ilmi.

Mereka berdua menghentikan pertikaiannya dan memesan makanan sesuai dengan keinginan mereka. Beberapa menit mereka menanti, tibalah makanan yang mereka pesan. Radel memesan udon, sedangkan Ilmi memesan Sashimi seperti Fauliza.

Radel menyatukan kedua tangannya dan berkata, “Itadakimasu,’’ lalu ia mengambil sumpit hendak makan.

Allahumma bariklana,” seru Ilmi, agar ia berdoa dulu bukan asal makan.

Lihat selengkapnya