Semenjak pagi itu Radel tak seperti biasanya lagi, usil, tengil, konyol, ceria dan banyak bicara. Kini ia lebih banyak diam dan melamun, entah apa yang mengganggu pikirannya? Dan yang membuat Ilmi terheran-heran, selama tiga hari ini Radel selalu mengabaikannya. Mulai tak menyapa dan menyuguhkan senyuman. Tak lagi mengirim pesan atau menelpon untuk sekedar mengucapkan selamat pagi. Ia jadi sangat-sangat acuh, bahkan ketika Ilmi tersenyum padanya, ia tak membalas senyumannya sama sekali walau sekedar bulan sabit yang kecil. Ia hanya menatap Ilmi dengan tatapan yang sulit diterjemahkan, lalu pergi memasuki kelas tanpa menghiraukan apa-apa, membuat Ilmi bertanya-tanya apa kesalahannya hingga Radel sampai seperti itu? Apa karena tak pernah menegaskan perasaannya? Apakah karena sikap Ilmi telah menyakitinya? Apakah benar selama ini, ia mendekati Ilmi hanya main-main saja? Apa hanya karena penasaran? Apakah lelah karena selama ini perasaannya tak pernah disambut? Atau apakah ia menyerah mencintai Ilmi? Ah, entahlah itu dan yang paling menyakitkan bagi Ilmi, ketika dirinya dan Erina menghampirinya di kantin untuk duduk bersama dengannya , ia dengan sikap dingin hati langsung pergi begitu saja. Erina yang selama itu merasa sikapnya berbeda pun bertanya-tanya pada Ilmi, kenapa dia seperti itu? Dan Ilmi hanya bisa menggelengkan kepala, tak tahu.
Saat latihan dramatisasi puisi saja, ia hanya sebatas membaca puisi dan seusai latihan ia langsung pergi begitu saja tanpa menghiraukan apa-apa. Ia juga tak lagi bertengkar dengan Fauliza dan lebih cenderung menyendiri. Menanyakan ia kenapa pada teman-temannya, mereka juga tak tahu. Sebetulnya apa yang sedang terjadi padanya? pikir Ilmi yang kini tengah menatapnya lekat-lekat sambil menggendongkan tas untuk pulang. Ilmi berharap sekali, mulai saat ini Radel tak lagi mengabaikannya.
Saat Radel melewatinya hendak pulang, Ilmi pun mencoba memberanikan diri untuk memulai percakapan dengannya lagi. “Del, pembacaan puisi kamu...’’
Radel tak menghiraukannya, ia pergi begitu saja tanpa mendengarkan kalimat Ilmi seterusnya. Aku mengerti Radel, ucap Ilmi dalam hatinya sambil menatap langkah kakinya yang mulai jauh dengan mata yang berkaca-kaca. Mendapati tingkahnya, Ilmi sudah dapat menyimpulkan, bahwa Radel tak ingin lagi memiliki interaksi dengannya.
Sementara itu terlihat Ihfa tertegun diam menerka-nerka dan rasanya hatinya merasa sakit, karena nampaknya Ilmi sedih dijauhi oleh Radel. Terlihat Fauliza mendengus kesal, karena merasa dugaannya benar bahwa Radel cuman hanya memberikan harapan saja pada Ilmi dan setelah perasaan Ilmi terbawa, ia menyakitinya dengan cara mengabaikannya. Semua laki-laki sama saja, egois dan tak punya perasaan. Datang, memberikan harapan, lalu pergi tanpa kepastian, pikir Fauliza benci.
~*~
Radel menyiramkan es jeruk ke wajah Hasdi, karena ia tak sengaja menyenggolnya saat memakan mie kocok Bandung. Ini hal sepele, kenapa meski menyiram wajah segala? Pikir Hasdi sambil mengeringkan wajah dan kemejanya dengan tisu, kemudian ia beranjak untuk keluar kantin dan memilih bersikap masa bodo. Toh, kalau dibalas juga hanya akan memperkeruh suasana, tahu sendiri bagaimana Radel, bisa-bisa dia ngajak bertengkar dan itu sama sekali tidak baik. Terlebih dirinya ketua OSIS dan ini masa-masa terakhirnya menjabat, ia tak ingin meninggalkan kesan yang buruk. Bagaimana pun, selama menjabat kesannya harus terus baik.
Tak sampai di situ, Radel melemparkan sendok ke kepala Hasdi hingga ia meringis kesakitan. Radel benar-benar tengah membutuhkan pelampiasan akan amarah, kesedihan dan kekecewaannya, hingga ia tak mempedulikan apa-apa lagi dan siapa yang akan menjadi pelampiasannya. Terlihat Hasdi menatap Radel tajam-tajam dan terlihat sebagian siswa yang merasa tertarik memerhatikan mereka dengan berbagai tatapan. Sementara itu Ilmi merasa khawatir akan ada pertengkaran antara mereka berdua. Amarah Hasdi sudah memuncak, tetapi ia berusaha meredamnya. Kemudian ia melanjutkan langkah kakinya, membuat Ilmi dan Erina bernapas lega, begitupun dengan Ihfa. Namun di luar dugaan, Radel menyerang Hasdi membuat sebagian siswi berteriak.
Hasdi tak terima, karena tak salah apa-apa diserang. Ia pun kembali menyerang Radel dan terjadilah perkelahian yang sengit antara mereka, saling hantam-menghantam, hingga meja-meja dan kursi kantin berantakan.
“Hajar!’’
“Seru euy, ketua osis berantem sama si Radel biang kerok.’’
“Ayo Has, hajar!’’