Ruang dan Batas

Sri Winarti
Chapter #37

Bab 36

Ilmi tidak dapat memfokuskan perhatiannya di rapat OSIS kali ini, sebab pikirannya tengah terfokus pada Radel dan terhadap perasaannya yang semakin tak karuan. Hah, kenapa meski seperti ini jadinya? Pikirnya bingung harus bagaimana menghadapi perasaannya sendiri, dan tentunya juga menghadapi situasi sekarang ini.

“Ilmi?’’ tanya Hasdi, membuyarkan lamunannya.

“Hah?’’

“Kenapa? Sedang banyak pikiran?’’ tanya Hasdi.

“Maaf Has!’’ ucap Ilmi sambil tersenyum tawar. “Tadi nanya apa?’’

“Hari ini semua kelas sudah nyetorin kan, apa yang akan ditampilkan mereka pas perayaan hari remaja?’’

“Udah, dan semuanya udah aku berikan ke Rifi.’’

“Ok, bagus,’’ ucap Hasdi, laki-laki yang penuh karismatik itu sambil tersenyum. “Ada hal yang perlu didiskusikan lagi enggak? Atau ada usul lagi dan semacamnya?’’

“Enggak ada kak,’’ jawab juniornya.                                                                                           

“Enggak ada,’’ jawab rekan-rekannya.

Hasdi menutup rapatnya, setelah itu memimpin doa, lalu beranjak dari ruangan OSIS. Karena pacarnya tak bisa hadir dirapat kali ini, dan karena tak ada teman untuk mengobrol, Hasdi pun mengajak Ilmi bareng hingga parkiran dan mengobrol-ngobrol hangat dengannya.

Seketika langkah Ilmi terhenti, sebab ia melihat Radel tengah berbaring di atas mobilnya sambil menyanyikan lagu Sayonara I Love You (Cliff Edge feat. jyA-Me).  Tak lama dari itu Radel terbangun dari keterbaringannya dan menatap Hasdi dengan tajam. Tak suka rasanya ia melihatnya bersama Ilmi. Kapan sih Il, kamu dapat ngelupain ketua osis bodoh itu? Gerutunya dalam hati sambil mentap Ilmi lekat-lekat.

“Aku duluan ya, Il!’’

“Iya Has.’’

“Assalammu’alaikum.’’

“Wa’alaikumussalam.’’

Hasdi menatap Radel dengan tatapan tak suka dan ia masih belum bisa memaafkan atas kelakuannya tempo hari. Tingkah Radel benar-benar memuakkan baginya.

Terlihat Ilmi memasukkan kedua tangannya ke dalam saku almamater osisnya sambil menghela napas, lalu ia melanjutkan derap kakinya sambil menundukkan kepala. Mungkin hari ini Radel akan kembali tak acuh, pikir Ilmi yang akan berusaha terbiasa diabaikan olehnya mulai saat ini. Baiklah Radel, dulu kita memang seperti ini, acuh tak acuh. Bahkan sangat jarang memiliki interaksi dan berbicara, katanya dalam hati yang kemudian menghela napas kembali.

“Sesore ini kok baru pulang sih? Harusnya sampe jam lima aja rapatnya, dasar ketua osis bodoh,’’ umpat Radel kesal sambil melompat tepat di sampingnya.

Akhirnya setelah satu minggu ini menghindar dan tak pernah menyapa, Radel kembali menyapanya dan itu sangat-sangat membahagiakan bagi Ilmi, hingga ia menyemburatkan senyuman yang indah dan rekah. Namun ia sembunyikan dari Radel dengan segera mengakhirinya.

“Kok kamu belum pulang?’’

“Kenapa sih suka banget mengalihkan pertanyaan?’’ eluh Radel.

“Maaf!’’

“Ngapain minta maaf? Lebarannya masih lama kali.’’

Ilmi tergelak mendengar celotehannya, ah rasanya luruhlah semua rasa rindunya pada kehangatan Radel ketika mengujarkan kata-kata, walau tidak jelas makna. Radel ikut tertawa melihatnya tertawa, sebab ia merasa bahagia dapat melukis kembali tawa di bibir perempuan yang dicintainya. Akhirnya mereka tak lagi memiliki batas yang begitu besar.

“Mau aku anterin pulang?’’

“Hmm enggak perlu, makasih ya Del,’’ ucapnya sambil tersenyum, lalu tertegun diam.

Rasanya Ilmi ingin sekali menanyakan pada Radel, kenapa selama satu minggu ini ia mengabaikannya dan cenderung sendiri, serta tak bersikap seperti biasanya? Apa yang mengganggu pikirannya? Adakah kesedihan yang membuatnya seperti itu? Apakah karena perasaannya tak dibalas? Atau karena tak ada penjelasan untuk mempertegas semuanya? Apakah karena dirinya telah menyakitinya? Atau apa? Haruskah tanyakan semuanya? Pikir Ilmi bimbang. Mungkin sebaiknya tidak.

“Tadi gimana latihan dramatisasi puisinya tanpa aku? Lancar?’’ Akhirnya Ilmi memilih bertanya hal lain.

“Lancar.’’

“Alhamdulillah,’’ tanggapnya sambil tersenyum

Lihat selengkapnya