Ke Stone Garden Citatahlah Radel membawa Ilmi pergi, dengan tujuan yang sederhana. Menyaksikan mentari lambat-lambat pergi mengucapkan selamat tinggal pada bumi, sebagai bukti ketaatan kepada Tuhan, penciptanya. Sebagai bukti penepatan janji, untuk kembali ke peraduannya. Sinar merah saga membentang di upuk Barat bersama birunya sang langit yang selalu bermadah, membias pegunungan yang kukuh nun, jauh. Membias hamparan bukit-bukit kapur berwarna putih dan kecoklatan yang begitu kontras dengan pepohonan hijau yang cantik. Membias hamparan batu-batu gemping yang luasnya mencapai dua hektar yang damai berzikir. Membias dua anak manusia yang kini tengah duduk di puncak Panyawangan, tertegun dalam afsun. Ditampar-tampar angin kencang yang berusaha menilisik masuk ke dalam tubuh. Berdesing di tengah keheningan.
Di Citatah ini juga terdapat gua yang dulu pernah menjadi tempat berlindung manusia purba, goa Pawon namanya. Kawasan karst ini terbentuk 20-30 juta tahun yang lalu, pada zaman Miosen. Dulu, kawasan ini juga merupakan wilayah laut dangkal yang kemudian mengering, hingga akhirnya dijadikan tempat hunian manusia prasejarah. Buktinya adalah ditemukan arkeolog di goa Pawon. Ya tentu saja, selain menjadi tempat wisata juga dijadikan tempat kajian sejarah, salah satu contohnya oleh siswa-siswa dari berbagai sekolah yang ada di Bandung.
“Ilmi, mungkin kamu menganggap perasaanku sama kamu cuman main-main dan bercanda doang. Tapi enggak ada yang lebih tahu perasaan seseorang selain dirinya sendiri, bahkan orang terdekatnya pun. Kamu mau memercayainya atau enggak, aku gak peduli. Dan kamu harus tahu! bersamamu selalu membuat aku bahagia.” Ilmi mengalihkan pandangan dan menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Maaf jika kebahagianku membuat kamu kesal. Aku janji kok Il, aku akan menjaga jarak sama kamu, seperti sekarang.’’
“Gak masalah,’’ tanggapnya sambil tersenyum.
Entahlah, kenapa dengan mudahnya ia mengatakan kata tersebut? Padahal ia tahu sekarang ini, ia dan Radel akan menghabiskan waktu bersama. Baiklah, dia bukan manusia yang sempurna, bukan manusia yang alim dan saleh, maka ia memilih rapuh, serapuh-rapuhnya. Maka dari itu, tolong jangan salahkan hijabnya! Karena kalian pun tahu, hijab dan akhlak adalah dua indikator yang berbeda.
Terlihat Radel melepaskan sweaternya dan menyodorkannya kepada Ilmi. “Pake ini, biar enggak kedinginan.”
“Gak Radel, kamu aja yang pake! Lagian seragam aku panjang.”
“Pakelah! Aku gak mau kamu sakit gara-gara aku, nanti masuk angin.”
“Nanti kamu juga masuk angin.”
“Pakelah! Aku ingin segera menikmati senja dengan damai sama kamu. Enggak mau kan, aku pakein?”
“Baik,” ucap Ilmi sambil mengambilnya, lalu ia memakainya. “Ini kebesaran, kaya orang-orangan sawah.’’
“Tetep cantik kok.’’
“Gombal.’’
“Kok gombal sih? Beneran kali.” Radel tertawa dan sementara itu Ilmi hanya tersenyum, lalu kembali menatap lembayung.
“Ilmi!”
“Ya,” jawab Ilmi sambil memandanginya.
“Maafkan aku! Karena hari ini aku berengsek sama kamu. Menyentuh tangan kamu dan membawa kamu ke sini untuk nemenin aku nikmatin senja.”
“Berarti kemarin-kemarin juga berengsek, nyentuh tangan aku, ngancem mau meluk segala.’’
“Iya, setelah mengenal kamu agak jauh, menurutku ini adalah keberengsekan. Tapi aku sangat-sangat menyukainya,” ucapnya sambil tersenyum dengan indah dan rekah.
“Kalau begitu, aku juga berengsek karena telah mengizinkan diriku untuk nememin kamu menikmati senja saat ini.” Ilmi juga tersenyum dengan indah dan rekah pula.
“Kamu akan nememin aku sampai malam, karena setelah ini aku mau mengajak kamu pergi lagi.’’
“Itu akan lebih berengsek lagi,” ucap Ilmi sambil tertawa kecil.
“Tapi aku gak akan apa-apain kamu kok, nyentuh ujung kerudung kamu pun enggak akan. Kalau ada setan yang ngebisikin, aku akan tahan sekuat-kuatnya,” ucapnya dengan sungguh.
“Yakin?”
“Yakin, seyakin-yakinnya,” ucap Radel mantap.
“Baiklah,’’ ucap Ilmi sambil menatap kembali lembayung senja, begitupun dengan Radel.
“Ilmi, mungkin pada dasarnya sebagian besar manusia gak pernah benar-benar mencintai dalam diam, baik pujanggga ataupun bukan. Sebab, selalu mengurainya melalui sajak atau doa. Aku sangat berharap kamu mencintaiku, baik dalam diam atau gak benar-benar dalam diam, walau pada akhirnya akan terlupakan.”
“Radel!” panggil Ilmi dengan debaran-debaran yang semakin menjadi, rasanya wajah Ilmi tambah panas hingga semakin memerah.
“Iya.” Radel memalingkan pandangannya.
“Aku belum mengabari ibu, pasti ia khawatir karena sudah sesore ini aku belum pulang,” katanya sambil merogoh saku roknya untuk mengambil ponsel. Ia pun mengirim pesan bahwa ia akan pulang malam.
Radel kira, ia akan mengatakan bahwa dirinya juga mencintainya. Ternyata mau mengabari ibunya, toh. Terlihat Radel mengeluarkan harmonika di dalam saku celananya dan memainkannya sambil menatap Ilmi yang tengah asyik menikmati keindahan semesta. Wajahnya tambah cantik, dibias cahaya si merah saga. Tenang dan meneduhkan, seperti bunga sakura yang pertama bermekaran dan sangat-sangat cemerlang. Itulah menurut Radel yang kini tengah melahirkan ritme-ritme yang begitu indah dan romantis, namun sendu. Ilmi sangat-sangat menikmatinya, hingga ia seakan-akan terbuai dan tenggelam dalam rayuan-rayuan melodi, memekarkan lebih rekah bunga-bunga di hatinya, dan melukis wajahnya dengan rona kemerah-merahan.
Bohong besar, jika ia tak menyukai ruang dan waktu bersama Radel saat ini. Sebab, Radel telah berhasil membuat semesta berkonspirasi dengan rasi bintang untuk menentukan arah musim hatinya, agar hanya bermusim cinta untuknya. Dalam belenggu ini, Ilmi berharap akan tetap selalu mencintai batas.
~*~
Setelah dari Stone Garden dan setelah salat isya di Masjid Raya Bandung yang begitu cantik dan indah dengan hamparan rerumputan yang luas di depannya, Radel dan Ilmi makan malam di restoran tertua di sekitaran jalan Braga, yaitu di restoran Braga Permai . Selain itu mereka juga berjalan-jalan, menikmati malam di bawah lampu-lampu temaram dari bangunan yang beryaga art deco, bangunan peninggalan zaman koloneal. Melihat-lihat lukisan yang indah dari tangan-tangan yang mencintai sastra, berjalan di bawah payung-payung yang berwarna-warna, dan menyaksikan pementasan biola, hingga suasananya semakin romantis meski di tengah keramaian. Semesta juga seakan-akan berkonspirasi membuat keromantisan semakin sempurna, dengan menghadirkan bintang-bintang indah dan bulan purnama. Radel merasa gatal, hingga akhirnya ia ikut bermain harmonika bersama pemain biola tersebut, dan mempersembahkannya untuk bintang Utara.
Sang bintang Utara menatapnya lekat-lekat sambil tersenyum, menari-nari dalam afsun. Membiarkan hatinya melahirkan ritme-ritme indah untuk sang ilalang liar. Saat itulah bunga-bunga di hatinya bermekaran lebih harum dan ranum daripada sebelum-sebelumnya. Matanya dipenuhi mimpi-mimpi yang indah, menenggelamkannya dari ketakutan-ketakutan.
Tak lama terdengar suara tepuk tangan dari orang-orang, menyadarkan bintang Utara untuk segera ke permukaan, mencintai sebuah batas. Terlihat Radel merengkuhkan kepala sambil menyuguhkan senyumannya yang indah dan rekah, lalu ia menghampiri Ilmi dan meminta pendapatnya.