“Benar gak mau diantar sampai rumah?’’ tanya Radel ketika mereka sudah sampai di persimpangan jalan menuju rumah Ilmi dan sudah turun dari mobil.
“Ya.’’
“Baiklah!’’
“Sweater kamu, Insya Allah akan aku kembaliin lusa dan besok akan aku cuci dulu.’’
“So sweetnya mau dicuciin.’’ Radel tersenyum menggoda dan lagi-lagi Ilmi hanya menanggapinya dengan senyuman yang samar-samar. “Hanupis ya, udah mau berbaik hati menghabiskan waktu bersamaku dan mengorbankan waktu berhargamu. Aku juga berharap, kamu akan selalu mengingat hari ini dan selalu mengingat aku, selamanya.’’ Ilmi menganggukkan kepala, mengamini kalimatnya. “Sana pulang!’’ suruh Radel.
“Oh ya Del, makasih juga karena kamu menyukaiku.’’
“Bukan menyukai, tapi mencintai. Keduanya adalah hal yang berbeda, jadi jangan samakan!’’ larat Radel yang kemudian tersenyum dengan indah dan rekah.
“Iya, terima kasih karena mencintaiku.’’
“Sama-sama.’’ Radel melebarkan senyumannya, lalu ia kembali menghela napas sambil mendongakkan kepala sejenak, berharap sesak terlerai. “Ayo pulang!’’ suruhnya lagi, walau sebenarnya ia masih ingin melewati waktu bersamanya. “Dah.’’ Radel melambaikan tangannya.
Ilmi pun melambaikan tangan sambil tersenyum, lalu ia beranjak pergi dan ia tak tahu akan seperti apa lima menit ke depan. Tak lama dari itu Radel berteriak, memanggil namanya. Ilmi berbalik dan Radel mengucapkan, “Selamat tinggal!’’ Sambil melambai-lambaikan tangan bersama senyumannya yang belum pupus.
Ilmi melambai-lambaikan tangan juga sambil tersenyum, lalu ia kembali beranjak dan terlihat Radel tertegun dia menatap langkahnya yang semakin jauh. Air matanya menekan, mendesak ingin dideraikan, hingga akhirnya jatuh menetes, membasahi pipinya. Kemudian ia menyekanya dan masuk ke dalam mobil.
Sementara itu Ilmi yang baru saja sampai di kamarnya terkesiap, melihat jendela kamarnya bertirai bintang yang cantik. Melihat boneka kucing besar yang lucu di atas kasur. Melihat ilalang plastik di dalam vas warna putih di atas meja belajarnya bersama resin fiberglass bening, yang di dalamnya terdapat pohon yang cantik, dan action figure Zenitsu yang begitu lucu. Ilmi bisa menebaknya, semua ini dari Radel.
Dia itu niat sekali memberikan hadih hingga sebanyak ini, sampai-sampai memberikan action figure Zenitsu segala, tokoh anime yang disukainya. Saat menjawab pertanyaan Radel perihal tokoh anime kesukaannya, Ilmi tak mengira akan sampai dibelikan seperti ini. Ilmi tak tahu, dirinya tersanjung atau malah tak terima, karena merasa sangat-sangat merepotkan Radel dan ini cukup berlebihan.
Drrrtttt... ponselnya bergetar, tanda pesan masuk dan dilihatnya dari Radel, sebuah pesan suara. Gimana, kamu suka hadiahnya? Aku harap kamu menyukainya. Aku harap Ilalang itu akan mengingatkanmu padaku dan resin pohon itu mengingatkanmu pada perasaanku. Aku juga berharap kamu akan sangat merindukanku, lalu memeluk boneka itu, atau menatap action figure Zenitsu. Dan bintang-bintang itu adalah utusanku, untuk memastikan bahwa kamu tak akan pernah bersedih dan menangis. Hah (menghela napas) Kamu tahu bintang Utara? Aku sangat-sangat membenci perpisahan dan kata selamat tinggal dalam bahasa apapun itu dan aku juga benci kata pamit, namun aku harus tetap mengatakan selamat tinggal dan pamit. Selamat tinggal Nahla Ilmi Nazwa, aku pamit pergi untuk selamanya dalam hidupmu (Terisak). Terima kasih untuk kenangan yang indah, dan jika kamu berkenan sampaikan juga ucapanku pada teman-teman.
Kini Ilmi memahami setiap kata yang ditulis dalam surat yang ditunjukkan untuknya. Ia kira Radel tak akan pernah benar-benar melakukannya, tetapi ternyata dia mau melakukannya. Rasanya itu sangat menyakitkan, hatinya terasa dicabik-cabik belati tanpa belas kasihan, lalu dibasuh air lautan, perih, sangat-sangat perih. Sesak menekan, mendesak begitupun dengan air mata, yang akhirnya memilih berjatuhan dengan deras. Di sudut lain, terlihat pula ibunya Radel tengah membaca surat darinya sambil menderaikan air mata.
Teruntuk malaikat tak bersayap
Dalam segala ruang dan batas, aku selalu mencintaimu.
Dari Putramu, Radel Pangestu.
Meski hanya satu kalimat, tetapi bermakna sangat dalam. Menyentuh inti hatinya, menamparnya dengan keras, hingga membuatnya melahirkan sebuah penyesalan yang begitu dalam. Ia memeluk surat tersebut bersama frame box melody yang berisi kalung bintang dan berisi fotonya bersama Radel kecil beserta suaminya yang di bawahnya terdapat kalimat Radel adalah bintang yang akan selalu bersinar di hati mama.
Air matanya pun semakin deras, dadanya semakin sesak, terlebih ia melihat vedeo pamit anak satu-satunya itu yang beberapa menit lalu dikirimkan olehnya. Terlihat dalam vedeo tersebut, Radel duduk di sebuah kursi, di Villa kepunyaan keluarga, di Lembang.
“Hai Ma!’’ Radel melambaikan tangan sambil tersenyum dengan indah dan rekah. “Aku sayang Mama dan cinta Mama, itu adalah kata yang selalu ingin aku katakan kepada Mama. Tapi maaf, bukan itu yang aku katakan, namun sebuah kata yang begitu menyakitkan,” ucapnya sendu sambil menundukkan kepala. “Sekali lagi maaf ya Ma! Dan terima kasih telah melahirkanku, telah menyayangiku, dan mencintaiku, walau sekarang tak lagi berarti bagi Mama.’’ Ia terisak. “Aku harap Mama akan selalu bahagia bersamanya dan tak akan pernah terluka.’’ Menghela napas yang nampak begitu berat sambil menyeka air matanya yang tak ayalnya berhenti. “Selamat tinggal, Radel pamit untuk selamanya dari hidup mama. Jaga diri baik-baik ya ma, dan tolong jangan lupakan Radel!’’
Lalu vedeonya habis dan air mata ibunya semakin deras, ia pun menjatuhkan ponselnya ke lantai. Rasanya ribuan anak panah mendarat tepat di ulu hatinya, sangat-sangat menyakitkan. Rasanya itu ia berada di tengah-tengah lautan yang tengah diporak-porandakan badai, dihantam-hantam gelombang, lalu disambar petir yang mendegam-degam.
“Jika Radel bunuh diri, itu karenaku. Ya, itu karenaku,’’ ucapnya dalam hati sambil terisak, lalu ia berteriak sambil menampar-nampar wajahnya dan menjambak-jambak rambutnya. Ia merasa ibu paling jahat di semesta ini.
Sekuat-kuatnya ia beranjak meski lemas, untuk mencari Radel dan untuk mencegahnya bunuh diri. Sementara itu Ilmi tengah berada di perjalanan menuju hotel kepunyaan almarhum ayah Radel dengan mengojek ke Mang Didi, tetangga baiknya. Beruntung Mang Didi sedia walau ia nampak sangat lelah, baru pulang narik penumpang.
“Bener Fit, Radel menuju hotel ayahnya?’’ tanya Ilmi memastikan.
“Ya Il, bener!’’
Ya, Hafitra melacak keberadaannya bersama Erina yang duduk di sampingnya dengan resah, yang kini tengah mengirim pesan kepada Ihfa, bahwa Radel mungkin akan terjun dari lantai ke-23, lantai terakhir sebagai cara mengakhiri hidupnya. Kemudian mereka beranjak untuk pergi ke sana, begitupun dengan Ihfa dan Fauliza.
Ilmi menyuruh Mang Didi ngebut,walau ia tahu ini bahaya. Namun Radel tengah mempertaruhkan nyawa dengan bodohnya. “Mang lebih cepat lagi!’’ pintanya lagi.
“Bahaya Neng.’’
“Tapi Mang, masalahnya teman saya takutnya beneran bunuh diri.’’
“Iya Neng.’’ Mang Didi menaikan kecepatan lagi.
Setelah melalui perjalanan beberapa waktu, akhirnya Ilmi sampai di lantai terakhir hotel ayahnya Radel dan dilihat olehnya Radel yang tiba di sana berkisar beberapa menit dngan Ilmi, tengah berdiri menghadap bawah, menghela napas panjang dan mungkin tengah mengucapkan selamat tinggal pada Bandung yang resah, pada lampu-lampu yang tak lagi ramah dan pada bintang yang tak lagi indah baginya.
Terlihat Radel melangkahkan kakinya untuk terjun ke bawah, namun dengan sigap Ilmi menarik tangannya. Untung saja ia sampai tepat waktu, kalau tidak mungkin Radel sudah terjun ke bawah.
“Apa-apan sih kamu Del?’’ teriak Ilmi geram sambil menangis dengan deras. “Jangan mati konyol kaya gini. Jangan bodoh dengan ngorbanin diri untuk mati sia-sia, kamu pun tahu bunuh diri itu dosa besar.’’
“Kamu enggak tahu rasanya jadi aku yang enggak pernah berarti bagi siapa-siapa, walau bagi ibunya sendiri, apalagi bagimu. Kamu enggak tahu kalau aku terluka begitu parah. Kamu enggak tahu kepedihanku. Ketika aku enggak berarti untuk siapa-siapa, kenapa aku harus tetap hidup? Keberadaanku enggak dibutuhkan di sini, ibuku aja enggak mau aku di sini,’’ teriak Radel sambil menangis dengan deras.
“Kamu pikir cuma kamu yang hidupnya penuh luka dan kepedihan, heuh? Kamu liat Ihfa, dia memiliki kepedihan yang mungkin enggak sebanding dengan kepedihan kamu. Kamu pun tahu itu Del, karena dia sahabat kamu semasa kecil, tapi dia kuat dan tabah. Fau, dia, dia ditinggalkan ayahnya saat usia tiga bulan dalam kandungan. Ibunya sibuk menyembuhkan lukanya dan karena itu ia sepi sendirian. Tersiksa setiap saat karena merindukan ayahnya yang telah mengkhianatinya dan ibunya, tetapi ia tetap berdiri tegak menghadapi dunia yang keras, tertatih-tatih menjalankan takdirnya, dan tak pernah berhenti berusaha percaya. Hafitra, ibu dan ayahnya sibuk mengejar dunia dan ia kehilangan Gusni untuk selamanya, tetapi ia bisa melalui semuanya dan berbahagia dengan caranya sendiri. Erina, adiknya pengidap celebral palsy dan itu membuatnya selalu bersedih dan putus asa. Ia sedih, karena keadaan adiknya yang tak bisa seperti anak yang lain, tetapi dia tetap tersenyum dengan ceria, memberikan kehangatan, dan selalu melahirkan cahaya disetiap harapannya, di dalam ruang hatinya yang gelap dan sepi. Medina, dia korban perceraian dan juga korban narkoba, tapi ia bisa bangkit. Teman-teman kita yang lain, mungkin Sera, Wicky, Nia, semuanya memiliki jalan hidup yang berat, begitupun dengan...’’ ucapannya terpotong, ia menghela napas, berusaha menenangkan amarahnya. “Jangan bertingkah seolah-olah manusia paling menyedihkan di muka bumi ini! Kamu harus tahu, bahwa banyak orang yang hidupnya lebih menyedihkan, namun mereka bisa melaluinya dengan baik dan penuh kebahagian. Sebab mereka tahu, hidup bukanlah untuk meratapi, namun untuk terus menapaki jalan menuju kebahagiaan yang sesungguhnya. Hidup ini adalah masalah-masalah dan manusia tidak bisa lepas dari hal tersebut. Ini dunia, sebuah persinggahan yang membutuhkan perjuangan untuk segala hal. Ketika kamu tidak berarti bagi siapa-siapa, maka kamu cukup berarti untuk dirimu sendiri. Maka jangan bertujuan mati untuk sebuah penderitaan yang kekal.’’
Radel tertunduk “Tapi Il...” lirihnya.
“Kamu tahu?’’ Ilmi memotong kalimatnya. “Kamu berarti bagiku, Del,’’ ungkapnya sambil menatapnya lekat-lekat. Radel mengangkat kepala dan menatapnya lekat-lekat pula. Ia tidak percaya dengan apa yang didengarnya. “Kamu berarti bagiku,’’ ucap Ilmi lagi sambil tersenyum dan terlihat air matanya bertambah deras.