Bagaimana orang lain ketika memahami perasaan kita? Apakah ketika kita terluka, mereka juga merasakan sakitnya? Apakah ketika kita menangis, mereka juga ikut menangis? Apakah ketika kita kecewa, mereka juga ikut kecewa? Apakah ketika kita marah terhadap seseorang atau suatu hal, mereka juga marah? Apakah ketika kita berteriak, mereka tahu apa yang kita teriakan? Dan apakah ada yang memahami kita? Mungkin tidak, makanya mereka tak tahu kenapa kita bebal dan bengal. Mungkin, kita juga adalah orang yang sama, lahir dari kekecewaan sebagai badai yang riuh bergemuruh, marah, dan tak tahu cara berteriak paling tepat.
Demikianlah yang dipikirkan Radel, yang kini tengah memegang erat-erat pemukul kasti di salah satu sebrang jalanan yang ada di Bandung bersama puluhan temannya yang juga membawa benda-benda keras seperti balok kayu, gir motor, dan sebagainya.
Pegangannya semakin erat dan giginya bergemertak. Matanya yang tajam bak elang mengkilatkan amarah yang amat besar, mengoyak-oyak kemanusiaan. Angin kencang yang menyisir rambut dan menampar-nampar wajahnya seolah-olah tengah merayunya untuk pulang, menguburkan niat yang amoral. Begitupun dengan awan yang hendak menangis dengan deras. Namun apa pedulinya, angin merayu-rayu dan awan menangis nantinya atau tidak? Tak akan membuatnya bersama puluhan temannya melangkah mundur dan berbalik arah. Mereka malah dengan semangatnya berlarian turun ke jalanan sambil berteriak, “Woy maju kalian anjing!’’ Membungkam deru-deru kendaran dan menghentikan lajunya, tanpa terkecuali waktu yang entah akan membawanya pada ruang yang mana dan seperti apa?
Dua kelompok remaja dari SMA Taruna dan SMA Putera-Puteri Nusantara (PPN) itu saling menyerang satu sama lain dengan sengit, tanpa memedulikan pengguna jalan dan sebagainya. Mereka saling baku hantam dengan membabi buta sambil berteriak-teriak, mengujarkan umpatan yang keji dan memalukan. Betapa bengisnya mereka, tertunduk-tunduk pada nafsu dan diperbudak amarah. Memukulkan pemukul kasti dan balok kayu. Melemparkan batu-batu hingga bom molotok dan sebagainya. Suasana menjadi kacau balau dan rusuh. Pengguna jalan terasa dipukul mundur secara paksa. Mereka ada yang sudah letih pulang bekerja, ingin segera istirahat. Ada yang tak sabar ingin berjumpa dengan orang-orang terkasih. Ada yang sedang dalam perjalanan menepati janji. Tak pikirkah itu? Jelas saja dua kelompok pelajar itu tak memikirkannya, kecuali pembalasan tuntas.
Seketika mata Radel membeliak, menyaksikkan sahabat baiknya, Irus Sandiana dibacok cerulit dengan bengis oleh salah satu siswa dari SMA Taruna, hingga ia terjerembab jatuh menderaikan air mata sambil memegang kepalanya yang berdarah-darah. Perih, ngilu, pusing, dan entah apa lagi yang Irus rasakan? Namun yang pasti itu sangat menyakitkan.
Jantung Radel kini benar-benar dihantam rasa pedih dan sakit. Menyesakkan rasanya, hingga air matanya menekan mendesak ingin dideraikan. Sekuat tenaga ia berlarian ingin menghajar dan menuntut balas. Namun percuma, usahanya sia-sia. Sebab terlebih dahulu pukulan telak mendarat di pelipis kanannya, hingga ia jatuh tersungkur bersama rinai-rinai hujan yang jatuh menghujam tubuh dan wajahnya yang memar-memar dan tergores. Rasanya sangat perih dan dingin.
Dorr...dorr...terdengar suara peluru di udara berdesing-desing bersama petir yang mendegam-degam. Puluhan polisi menghampiri mereka dan berusaha melerai pertikaian dua kelompok remaja SMA tersebut. Terlihat para polisi menangkap para siswa yang terlibat tawuran, namun beberapa siswa melarikan diri, sebab mereka selain lincah main kekerasan juga lincah melarikan diri. Para polisi menggiring siswa yang tertangkap untuk memasuki mobil, sementara itu satu orang polisi menelpon ambulans untuk membawa tiga siswa dari SMA Taruna dan PPN yang terkena serangan benda tajam. Terlihat pula sebagian polisi mengamankan benda-benda yang mereka jadikan senjata.
~*~
Tangisan awan sudah reda sejak satu jam yang lalu, petir tak lagi mendegam-degam menghantam ruang semesta yang memiliki banyak batas, hingga membuatnya memiliki banyak ruang. Mentari tak lagi menggeliat di balik awan, hingga sinarnya menyisir kota Bandung. Membias pemukiman, gedung-gedung tinggi, dan pepohonan dengan sinar kejingga-jinggaannya. Mengucapkan selamat tinggal dengan angkuhnya, karena memiliki keindahan yang begitu menakjubkan bagi mata manusia.
Tangisannya kini telah tergantikan oleh tangisan seorang perempuan paruh baya dan seorang perempuan yang berusia 21 tahun dalam ruangan yang diberi nama ruang jenazah. Perempuan paruh baya itu tak lain ibunya Irus, tengah menangis sejadi-jadinya sambil memeluk Irus yang tengah terkujur kaku di atas matras. Kini Irus tak bernapas lagi, ia benar-benar mati. Tubuhnya yang dingin seolah tengah bercerita, betapa sakitnya saat nyawa direnggut dalam tubuh. Wajahnya yang pucat, seolah tengah menyampaikan pesan bahwa jangan lagi tawuran, jika sayang nyawa dan teman.
Tangisan ibunya terdengar begitu pilu, hingga yang mendengarkan rasanya ikut teriris hatinya. Setiap isaknya begitu pedih dan penuh ketidakrelaan. Sangat menyakitkan memang kehilangan seseorang yang amat dicintai. Sungguh hati perempuan paruh baya itu benar-benar tak bisa ikhlas melepaskan Irus, anak bungsunya. Namun bagaimana lagi? Takdir kematian telah menghampirinya dengan cara yang tragis.
Jika bisa, ia ingin memutar waktu dan habis-habisan menasehati Irus agar tak terlibat aksi tawuran. Ia sungguh ingin menyuarakan pekikikan hati untuk melarang semua remaja agar tak mengusaikan masalah dengan kekerasan, untuk tidak sok jagoan, untuk tidak unjuk gigi, “Inilah aku,” agar mendapatkan pengakuan. Tolong cintai diri sendiri, agar tak menjadi budak peradaban setan yang mencintai permusuhan dan kekerasan, apalagi hanya gara-gara hal sepele, semisal karena asmara, bermula karena ejek-mengejek, karena kalah pertandingan olahraga, dan sebagainya. Tawuran bukanlah ajang untuk menunjukkan solidaritas atau kesetiakawanan. Kesetiakawaan adalah ketika kawan bisa menjadi pencerah, bisa memberi manfaat kepada kawan yang lain, bisa meredam kemarahan kawan yang lain. Memeluk saat terpuruk, mengulurkan tangan saat jatuh agar bangkit kembali. Membersamai langkah saat menggapai impian. Mendamaikan saat resah. Bukan menyeret pada hal yang amoral, yang akhirnya berakhir pada kematian, hukuman, dan penyesalan yang begitu menakutkan.
Hah, entah berapa jiwa di negeri ini yang meninggal dunia karena korban kekerasan yang bersulamkan dusta, yang dinamai solidaritas tanpa batas oleh mereka yang terlibat aksi tawuran. Entahlah, rasanya tawuran sudah seperti menjadi budaya di kalangan pelajar di negeri ini. Tidak seharusnya yang terpelajar menyelesaikan permasalahan dengan kekerasan, meski atas nama kesetiakawanan, bukan? Sebab, mana mungkin kawan menyeret kawan yang lain kepada kekerasan.
Terlihat di ruangan tersebut juga ada wali kelas Irus, bu Mardina yang ditemani dua siswanya, Prayoga Ramdana sebagai ketua kelas dan Nahla Ilmi Nazwa wakil ketua kelas. Tak ada yang dapat mereka lakukan meski merasa sangat iba, selain menyampaikan bela sungkawa dan duka cita serta doa.
Bu Mardina yang kira-kira usianya 32 tahun itu tak kuasa menahan air mata, lalu ia menangis terisak melihat anak didiknya terkujur kaku. Begitupun dengan Ilmi, perempuan berhijab, berkulit kuning langsat, dan bermata cokelat. Kelas sebelas IIS-5 kini kehilangan Irus yang hangat, konyol, penuh canda tawa, walau terkadang menjengkelkan karena sulit diatur dan nakal. Namun senakal apapun seorang siswa, tetap saja memiliki tempat di ruang hati seorang guru dan teman-temannya.
Tak lama terdengar seseorang membukakan pintu. Dilihatnya oleh mereka Radel memasuki ruangan tersebut dengan mata yang berkaca-kaca. Sepulang dari kantor polisi ia langsung ke rumah sakit untuk melihat wajah sahabatnya, untuk terakhir kalinya dan untuk meminta maaf karena tak bisa menyalamatkannya.
“Mau apa ke sini Del?” lirih ibunya Irus. “Pulanglah! Karena Irus berteman sama berandalan dan sampah seperti kamu, ia jadi mati konyol kaya gini. Pergi dari sini, saya enggak mau lihat kamu di sini!” Sekuat-sekuatnya ia memukul dada Radel. “Jika memang kamu temannya, kenapa kamu enggak menolongnya?’’ Menarik kerah sweater warna hitam Radel yang nampak besar ditubuhnya itu, lalu mengoyak-ngoyaknya.
“Maaf,’’ lirih Radel sambil menunduk.
“Kenapa kamu ajak dia tawuran? Kenapa? Apa sekarang kamu bisa mengembalikan dia? Apa bisa?’’ isaknya sambil terduduk, ia memukul-mukul kakinya Radel sekeras-kerasnya. “Ayo kembalikan dia!’’ isaknya semakin menjadi.
Radel tertunduk di hadapannya, ibunya Irus pun menampar wajah Radel yang memar-memar berulang kali sekuat-kuatnya. Itu pasti sangat sakit, pikir Ilmi simpati. Namun ia tak bisa berbuat apa-apa, walau ia ingin menghentikan peristiwa tersebut. Begitupun dengan Prayoga.
“Bu, sudahlah jangan menyalahkan Radel! Irus juga salah di sini,” ucap anak perempuannya sambil berusaha menghentikan tamparannya.
“Bu, saya paham perasaan Ibu. Tapi menyakiti orang lain seperti ini gak baik,’’ ucap Bu Mardina berusaha menenangkannya.
“Tahu apa anda mengenai perasaan saya?’’ bentaknya.
Radel terdiam, menahan sakit. Sungguh ia hanya bisa berpasrah diapa-apakan oleh ibu sahabat baiknya itu.
“Irus itu anak baik-baik, tapi semenjak dia berteman sama kamu, dia jadi berandalan,” isaknya.
Sekali lagi Radel hanya bisa tertunduk sambil berkata, “Maaf, maafkan saya!”
Kata sampah dan berandalan seolah-olah telah lekat pada dirinya. Tidak orang lain, tidak orang yang dicintai sama saja selalu menganggapnya berandalan dan sampah. Ditambah lagi disalahkan. Hah, itu sangat menyakitkan rasanya.
“Pulang Del, pulang sana!"
“Del, pulanglah! Maafkan ibu Teteh ya.”
Radel mengangguk lemah, lalu beranjak. Terlihat Ilmi menatapnya iba dan penuh simpati. Sungguh ia paham betul rasa sakit dan kepedihannya.
Karena waktu semakin sore, Bu Mardina, Prayoga, dan Ilmi pun berpamitan pulang. Suami Bu Mardina juga sudah lama menantinya di depan rumah sakit. Rumah Ilmi juga lumayan jauh, belum ia harus menanti angkot terlebih dulu.
“Kabari teman-teman kalian ya, dan ajak besok untuk hadir dipemakaman Irus!”
“Baik Bu,” jawab Ilmi dan Prayoga santun sambil menyuguhkan senyuman.
“Hati-hati ya pulangnya! Ibu duluan.”