Keesokan harinya, sabtu pagi Irus dimakamkan di salah satu tempat pemakaman umum yang ada di Bandung. Pemakamannya selain dihadari oleh kerabat juga dihadari oleh guru-guru, seluruh siswa kelas sebelas IIS-5, dan beberapa siswa dari kelas lain yang mengenalnya.
Air mata sebagian pelayat panas, lalu terderai dengan deras, lebih deras daripada hujan bulan Desember. Bahkan ibu dan kakak perempuan Irus menangis sejadi-jadinya, melepaskannya dikebumikan di samping makam Aila siswi SMA PPN juga dari kelas sepuluh MIA-2, yang satu tahun lalu meninggal dunia. Kematiannya sama-sama tragis walau memiliki perbedaan besar dalam ruang peristiwa.
“Semoga siswa dari SMA kita gak ada lagi yang terlibat tawuran dan enggak ada lagi yang meninggal dunia,” harap Erina sambil melepaskan kacamatanya, lalu menyeka air mata yang jatuh membasahi pipi imutnya.
“Iya, semoga,” harap Hafitra, laki-laki berkulit sawo matang, dan nampak berwibawa itu.
“Meski Irus ngeselin kaya Radel, tetep aja rasanya sedih kehilangannya,” ucap Fauliza, perempuan cantik dan anggun, berkulit putih bersih, berbulu mata lentik, berwajah tirus, berhidung mancung, dan pemilik senyuman yang indah.
“Iya, Fau.’’ Ilmi mengamini sambil menyeka air matanya pula.
Lalu sepasang mata cokelatnya mendapati Radel tengah tertunduk dengan mata yang sayu dan berkaca-kaca. Seharusnya ia menderaikannya, agar hati tak semakin sesak, pikirnya, yang kemudian mendapati Ihfa tengah menatap lekat-lekat Radel dengan mata yang berkaca-kaca pula.
“Rasanya kematian Irus, membawa kita pada peristiwa satu tahun lalu. Di mana kita harus kehilangan seorang teman,” lirih Fauliza sambil menatap nisan almarhum Aila, lalu ia menyandarkan kepala ke pundak Ilmi. “Aku harap, aku enggak akan kehilangan sahabat-sahabatku seperti Radel. Apalagi karena kematian, meski itu suatu hal yang pasti. Setidaknya kita bisa lebih lama bersama, bukan?” ucapnya lagi sambil menatap Ilmi, Erina, dan Hafitra secara bergantian.
Ketiga sahabatnya mengamini sambil menyuguhkan senyuman kepadanya, mengharapkan hal yang sama.
Setelah selesai mengebumikan Irus, semua para pelayat melantunkan doa dengan dipimpin oleh tokoh agama. Seusai berdoa, para pelayat beranjak meninggalkan jejak-jejak untuk membawa mereka kembali ke tanah pekuburan kelak jika sudah dijemput batas, seperti Irus dan Aila.
Terlihat Radel berjalan menapak jalan pusara dengan gontai, sebab rasa kehilangan yang bertamu belum kunjung pergi dan entah kapan ia akan berhenti mencakar-cakar dinding hatinya? Dan kini ruang paling sepinya terasa semakin sepi. Sesak pun menekan, mendesak. Pedih rasanya kehilangan seorang sahabat, apalagi kehilangan dengan cara yang sangat menggelitik, tetapi begitu menyakitkan.
Sesal kini sulit dininabobokan, apalagi dibantai untuk mati. Andaikan saja tak menuruti amarah, maka tidak akan ada kehilangan, tidak akan ada kenangan pahit untuk ditelan. Jika balas dendam, maka pastinya akan mengundang korban baru, boleh temannya atau lawan. Daripada harus ada korban, lebih baik tidak melakukan apapun lagi. Sebab, yang namanya dendam adalah hal bahaya yang begitu mematikan dan suatu hal yang sangat tidak baik, bukan?
“Del, gimana kalau kita balas dendam atas kematian Irus?!” saran Gena sambil merangkul pundaknya.
“Iya, gimana kalau kita balas dendam? Yang lain juga pasti setuju,” ucap Eza penuh keyakinan.
“Gak Gen, Za, kita bisa kehilangan lagi atau kita yang mati. Lagipula, kalau kita tawuran lagi kita bisa dikeluarin dari sekolah secara gak hormat.”
“Sejak kapan kamu begini Del? Biasanya juga paling semangat buat balas dendam.” Gena heran.
“Udahlah! Kita juga udah buat perjanjian dengan beberapa pihak dan itu gak mungkin dilanggar, resikonya akan lebih besar, Gen,” sentak Radel dengan nada yang tinggi.
“Ok, gak akan ada balas dendam-balas dendam,” timpal Gena dengan nada yang tinggi pula. Lalu ia menghela napas, menahan amarahnya yang meletup-letup ingin membalas apa yang telah diperbuat oleh siswa dari SMA Taruna terhadap Irus.
Mendengar pernyaatan Radel, itu cukup membahagiakan dan melegakan bagi Ilmi kini, begitupun bagi Prayoga.
~*~
Awan muram nestapa, sebab senja dijemput duka
Lalu, ke manakah jingga pergi dikala tangisan awan pecah berjatuhan ke bumi?
Tenggelamkah di wajahmu yang telah dijemput batas?
Atau tenggelam di wajahku, yang terpaksa menerima tamu bernama kehilangan?
Memasuki ruang paling kelam
Duduk manis bercakap-cakap perihal kenangan
Bersama mawar yang berhenti bermekaran dan memilih berguguran di atas tanah pekuburan
Dan kamu pun lelap di bawah batu nisan
Sementara...
Aku di sini mengekalkan jasad yang telah tiada
Merekam suara yang tak lagi terdengar
Mengenal mimpi yang terlupakan
Puisi karya Radel tersebut tergores di atas kertas origami berwarna biru langit yang ia tempelkan bersama foto almarhum Irus, yang tengah tersenyum manis mengenakan seragam putih abu, di mading kelasnya. Di mading tersebut juga terdapat foto seluruh siswa sebelas IIS-5 yang terdiri dari 35 siswa. Terlihat mereka tersenyum dengan manis, termasuk Ihfa yang sangat-sangat jarang tersenyum. Laki-laki pendiam, kaku, kutu buku, penyendiri, dan si dingin kutub Utara kalau kata teman-temannya. Hanya Radel, Gena, Eza dan Irus yang tidak tersenyum dengan manis. Gena sok kalem tanpa tersenyum. Radel nyengir sambil mengupil dengan jari kelingkingnya. Eza mengembungkan mulutnya sambil membeliakkan mata, sedangkan Irus seperti orang tengah berteriak sambil menutup mata, persis Nami ketika marah kepada Luffy dalam anime one piece.
Melihat foto tersebut membuat Radel yang kini sendirian di dalam kelas, menyemburatkan senyuman. Kini, mulai senin ini ia harus sekolah tanpa sahabat terbaiknya. Mulai senin ini, ia tidak akan mendengar tawa keras dari bibir Irus. Mulai senin ini, ia tidak akan memiliki teman berbagi kesedihan. Hah, rasanya sangat menyakitkan dan menyesakkan. Namun apa daya? Irus sudah dijemput batas, mustahil untuk membawanya kembali pada ruang semesta ini.