Terlihat Ilmi, Erina, dan seluruh anggota PMR baru saja usai menggelar doa, lalu mereka saling berjabat tangan dan pulang, kecuali Ilmi, Erina, dan Ulfa. Mereka harus menyimpan peralatan PMR yang digunakan tadi saat praktek pertolongan pertama dan SINCAN (Siap siaga bencana). Ilmi menyimpan kotak P3K ke UKS, sekalian mau mengambil novelnya yang ketinggalan tadi saat piket. Sedangkan Erina bersama Ulfa menyimpan peralatan lain ke ruang PMR di bagian Utara seperti belangkar salah satunya.
“Fit, aku nyimpen dulu ini ya!’’ kata Erina pada Hafitra yang tengah menantinya di pinggir lapangan upacara sambil bermain game online.
Kebetulan eskul PMR sejadwal dengan eskul basket, jadi Erina bisa bareng Hafitra untuk pulang seperti biasanya kalau Ebil tidak menjemputnya. Oh iya, Radel juga ikut eskul basket lho.
Hafitra menganggukkan kepala.
Tanpa berlama-lama setelah Ilmi menyimpan kotak P3K, ia langsung bergegas menuju nakas di samping matras untuk mengambil novel pavoritnya yang berjudul Atheis. Ia menyingkap tirai dan seketika ia terkejut bukan main, lalu ia menundukkan kepala sambil mengucapkan istighfar.
“Jangan alih fungsikan UKS jadi tempat zina!” teriak Ilmi geram, segeram-geramnya. Giginya bergemertak, tangannya mengepal dengan keras, matanya membulat sempurna dan memerah, wajahnya juga merah padam. Ubun-ubun Ilmi terasa panas, mendidih karena emosi. Sebab UKS salah satu tempat yang dibangganya dikotori oleh perbuatan Radel dan Naumi. “Tahu kan, fungsinya UKS untuk apa? Untuk orang yang sakit.’’
Oh, jadi begini marahnya orang yang memiliki ketenangan seperti danau? Mengerikan juga, pikir Radel. Bukankah Radel ingin melihat Ilmi marah? Jadi, apakah ini semacam harapan yang terwujud?
“Ngapain kamu ke sini?’’ tanya Radel sambil memandangnya malu, kesal, dan entah perasaan apa lagi yang ia rasakan, hanya dirinya sendiri yang tahu. Terlihat Radel mengambil kaos basketnya yang terletak di atas nakas, menyelimuti novel Atheis milik Ilmi, lalu ia memakainya.
Ilmi menatap mereka berdua dengan tatapan nanar. Naumi terlalu murah, padahal Allah ciptakan ia sebagai perempuan yang mahal, pikirnya yang diakhiri harapan. Semoga dirinya terhindar dari hal amoral tersebut dan Allah akan selalu melindunginya dari perbuatan hina, yaitu berzina. Hati Ilmi benar berapi-api ingin menghardik mereka, namun ia sadar hal tersebut tidak baik. Sebagai manusia bukankah harus belajar tak menyalahkan, tetapi lebih mengingatkan dengan cara yang baik? Akan tetapi yang menjadi pertanyaannya, apakah bisa mengingatkan dan menasehati dengan baik, sesuai tuntunan agama dan budaya?
Ilmi menghela napas, berusaha menguasai amarahnya. Ia harus harus tenang, jangan sampai mengeluarkan kata yang menyakitkan dan menyudutkan! Bagaimana pun ia manusia yang tak pernah bisa menjamin akan seperti apa kelak di masa depan. Mungkin bisa saja lebih buruk dari mereka berdua. Ia berusaha berpikiran jernih, melaksanakan nasehat agama agar tak memandang orang dengan rendah, sebab sendirinya pun banyak berbuat dosa dan maksiat kepada Allah.
“Kancingin seragam kamu, Mi!” suruh Ilmi lembut dan penuh kehati-hatian, wajahnya pun kembali tenang dan meneduhkan.
Reflek Naumi mengkancingkan seragamnya sesuai yang diperintahkan Ilmi. Ah entahlah, jika Ilmi tidak memasuki ruangan tersebut mungkin mereka akan melakukan lebih jauh dan melampaui batas. Untung saja Ilmi memasuki ruang UKS, jadi ia bisa mencegah mereka berbuat lebih. Mencegah Radel merenggut kehormatan teman sekelasnya itu waktu kelas sembilan. Hah, nyaris saja.
Ilmi tidak pernah menyangka akan melihat peristiwa yang memalukan. Betapa mirisnya remaja di sekolah ini, beberapa bulan yang lalu ada yang keluar sekolah dan satu tahun lalu ada yang bunuh diri, sebabnya pun karena hamil di luar nikah. Rupanya beberapa remaja di sekolah ini tak lagi mencintai budaya yang mengatur untuk sebuah keindahan masa depan dan dirinya. Rupanya sebagian remaja di sekolah ini mencintai kebebasan yang ditawarkan setan. Apa mereka tengah menjalani cinta yang merdeka yang benar-benar menyesatkan? Hah, menyedihkan, pikir Ilmi.
Terlihat Naumi meraih tasnya dan beranjak, namun Ilmi menarik tangannya dan mengembalikan posisi Naumi, hingga duduk kembali di atas matras tersebut. Dan terlihat Radel juga beranjak.
“Masalahnya belum selesai, kenapa buru-buru Radel?’’ Ilmi menatap Radel dengan tatapan memintanya untuk tetap diam. Tatapannya tetap teduh, namun entah kenapa terasa menusuk dan begitu dingin? “Sekarang hal ini sudah menjadi masalah antara kita bertiga, maka harus diselesaikan, bukan?”
Radel terdiam dan menurut, sementara itu Naumi berontak berusaha melepaskan genggaman tangan Ilmi, tetapi kencang sekali hingga ia tak bisa melepaskannya.
“Diam! Aku bilang selesaikan dulu!” suruh Ilmi lembut tetapi cukup membuat Naumi diam. Entah atmosfer apa yang membuatnya menurut kepada Ilmi dan membuatnya pasrah duduk dengan kesal, lalu Ilmi mengambil tas Naumi dan merogoh-rogoh isinya.
“Kamu mau maling ya? Kok berhijab maling sih?” dengus Naumi sambil meraih tasnya.
“Diam, jangan bawa hijab dalam masalah ini! Aku memang miskin, tapi aku gak pernah diajarkan untuk mencuri. Memangnya apa yang ada dalam tas kamu? Hp? Punya kok, walau enggak sebagus punya kamu.’’
Entahlah, bagi Naumi kini Ilmi menakutkan. Mungkin karena Ilmi telah memergokinya dengan Radel, dan ia takut Ilmi menceritakan aibnya tersebut kepada teman-teman sekolahnya.
“Terus ngapain ngambil tas Naumi?” tanya Radel.
Ilmi hanya menatapnya penuh arti tanpa berkata, lalu ia merogoh tas Naumi kembali. Setelah beberapa detik ia mencari cermin, akhirnya ia menemukannya. Ilmi tahu betul, Naumi suka membawa cermin ke sekolah. Cermin sudah seperti hal yang tak bisa dipisahkan darinya. Kemudian Ilmi mengembalikan tas Naumi dan memosisikan cermin berbentuk persegi itu tepat di depan wajah Naumi.
“Lihat diri kamu Mi!” suruh Ilmi sambil menunjuk dengan jari telunjuknya ke arah cermin, di mana bayangan Naumi terpancar dengan cantik dan anggun. “Mata kamu indah dengan bulu mata yang lentik dan cantik, hidung kamu mancung, wajah kamu oval, bibir kamu juga indah dan mungil. Begitupun dengan rambut kamu, sangat indah.” Ilmi menyentuh rambut Naumi sejenak. “Tubuh yang langsing dan tinggi bak model Milan, Paris, Italia, Rusia mungkin.” Dari bawah sampai atas, Ilmi menunjukkan kemolekan tubuh Naumi. “Begitu sempurna Allah nyiptain kamu dengan segala keindahannya, dan kecantikan kamu adalah kecantikan yang diimpikan setiap perempuan. Kecantikan kamu itu seperti perpaduan emas dan permata di dalam mahkota, sayang jika harus dijamah serta dibelenggu oleh laki-laki dalam syahwat yang hina, meski atas nama cinta.”
Radel tertunduk, mendengar pernyataan Ilmi, membuatnya merasa binal, berengsek, bejad, dan entah apa lagi?
“Naumi, pelacur aja masih ada harganya dan masih terhormat. Tapi kamu, kamu gratis diapa-apain Radel,” bisik Ilmi di telinga kanannya.
Plakk...Naumi menampar pipi kiri Ilmi, hingga meninggalkan bekas merah sempurna dan membuat cermin di tangan kanannya terlepas dan pecah berserakan, karena rasa sakit yang menjalar. Telinga Ilmi mendenging dengan tempo yang lumayan panjang. Rahangnya, matanya, dan kepalanya terasa sakit, ia pun mulai kleyengan. Saraf-saraf di otaknya mensugestikan agar seluruh tubuhnya merasa sakit. Tak main-main Naumi menamparnya, begitu keras. Ilmi merintih kesakitan sambil memegang pipinya dan berusaha menetralkan rasa sakitnya.
“Munafik, sok suci,” hardik Naumi sambil membuang ludah.
Egonya tersinggung dan tersakiti, sebab ia merasa telah direndahkan oleh Ilmi dengan seolah-olah ia lebih rendah dari pelacur. Tetapi hati paling kecilnya mengakui, bahwa memang benar ia menyerahkan dirinya secara gratis, sedangkan pelacur saja menyerahkan dirinya tak gratis. Eitss, bukan berarti jual kehormatan dapat dibenarkan pula.
“Ilmi, kamu gak pa-pa?” tanya Radel sambil beranjak untuk memburunya. Ia merasa khawatir melihat Ilmi setengah tak sadarkan diri.
“Berenti Del, kembali ke tempat kamu!”
Ilmi yang setengah sadar itu mensugestikan diri agar tak lagi merasa sakit. Sejenak, ruangan tersebut hening dan Ilmi mulai melepaskan tangan di pipinya, meski masih terasa sangat sakit. “Iya, aku memang munafik dan gak suci. Kamu temanku Mi dan aku hanya ingin ngingetin kamu, maaf jika caranya salah.’’
Naumi tertunduk, apa rasa marah padanya ini benar? Tentu saja salah, harusnya berterima kasih karena telah menyadarkan, pikirnya.
“Kalian cinta, kan sama diri kalian?”
“Gak ada yang enggak mencintai dirinya sendiri.” Entah kenapa hati Radel merasa tak karuan.
“Dusta mungkin.”
“Maksudnya?’’ tanya Radel sambil menyeringai. Mengapa Ilmi mengatakan bohong? Jelas saja ia mencintai dirinya sendiri, sebab mana mungkin di dunia ini tidak ada manusia yang tak mencintai dirinya sendiri.
“Mi, Del.” Ilmi sekilas memandang Radel yang berdiri sambil memeluk tangan dan menatapnya dengan tatapan yang penuh arti. Dan jantung Radel kini riuh bergemuruh.
“Mungkin pada dasarnya kita enggak pernah benar-benar mencintai diri kita sendiri. Bukankah jika kita mencintai diri kita sendiri, kita enggak akan pernah membiarkan diri kita terus-terusan menjadi korban peradaban setan? Kita enggak boleh hidup ngikutin arus aja, kan? Tapi kita harus hidup merdeka!’’ tutur Ilmi pada mereka dan juga mungkin pada dirinya sendiri. “Jika kamu memang mencintai dirimu Mi, maka sudah dipastikan kamu enggak akan biarin tubuh kamu dijamah oleh laki-laki yang bukan milikmu dalam ikatan yang dibenarkan agama dan diridai Allah. Kamu enggak akan biarin diri kamu dirusak oleh laki-laki manapun, setampan, sekaya, dan sehebat apapun ia. Kamu enggak akan ngerelain kehormatan kamu. Kamu enggak akan melanggar batas dan menciptakan ruang penyesalan yang sangat mengerikan. Perempuan itu diibaratkan permata, jika ia tergores maka harganya akan berkurang. Perempuan itu tiang negara dan jika perempuan rusak, maka rusak pula negara, begitulah yang dikatakan oleh Rasulallah Salalahi alaihi wasalam, kalian juga tahu, kan? Dan kamu Del...” Menatap Radel lekat-lekat dengan mata yang berkaca-kaca, entahlah rasanya Ilmi sangat-sangat kecewa padanya dan sangat-sangat menyayangkan perbuatannya.
“Jika benar mencintai dirimu sendiri, maka kamu enggak akan melampiasin syahwat kamu itu kepada perempuan mana pun sebelum ada ikatan yang halal, sebab masa depan kamu juga ikut terancam. Del, jangan rusak tiang negara dan jangan rusak dirimu!’’ Kini di matanya penuh harap. “Naumi, aku, dan seluruh perempuan, jangan menawarkan dan merelakan diri untuk dirusak! Sebab kita berharga, sangat-sangat berharga. Hargai diri kita, jika kita ingin dihargai orang lain. Cintai diri kita dengan baik dan berkelas, jika kita ingin dicintai dengan baik dan berkelas pula. Bukankah kita tahu apa yang berharga untuk seorang perempuan adalah kehormatan dan harga dirinya? Jika hilang kehormatan dan harga diri, lalu apa yang berharga dari perempuan? Enggak ada. Kita hidup di negara Timur, alangkah indahnya kita juga tercermin sebagai orang Timur, bukan? Maka dari itu Mi, ayo saling berjuang sama-sama.”
Radel dan Naumi tertegun diam, merenungi apa yang dikatakan Ilmi. Mereka berpikir, iya benar apa yang dikatakan Ilmi, bahwa mereka tidak benar-benar mencintai diri sendiri, karena jika benar-benar mencintai maka tidak akan melakukan hal tersebut. Sementara itu terlihat Ilmi meraih novelnya dan berlalu pergi. Besok ia akan pagi-pagi ke sekolah untuk membersihkan pecahan kacanya, sekarang ia benar-benar ingin segera ke supermarket untuk membeli bahan kue titipan ibunya, lalu pulang untuk mengompres pipinya.
Ilmi tak akan peduli lagi dengan apa yang akan mereka lakukan, masa bodolah mau melakukan zina kembali juga atau tidak. Ia sudah ingatkan mereka, dan tugasnya sebagai seorang muslim mengingatkan muslim lainnya sudah ia jalankan. Tak berhasil, ya bagaimana lagi? Toh, siapa dirinya? Itulah yang kini tengah dipikirkannya, yang kini tengah berjalan menelusuri koridor sambil mengayun-ayunkan tangan kanannya yang memegang novel Atheis. Iya, ia salah satu penikmat sastra dan itu bisa mengalihkannya dari berbagai hal, termasuk kesedihan dan juga dari dunia yang terasa semakin bebas, sangat-sangat bebas. Terlihat pula, sesekali ia mengelus-elus pipinya yang memar.
“Ilmi?’’ panggil Naumi menghentikan langkah kakinya.
“Ada apa?’’ Ilmi membalikkan badan.
“Soal aku dan Radel barusan, kamu enggak akan bilang-bilang siapa-siapa, kan?’’
“Santai aja kaya di pantai dan slow kaya di pulau,” ucap Ilmi dengan kalemnya sambil tersenyum hangat. Dan terlihat Radel menatapnya lekat-lekat sambil menyemburatkan senyuman. Kini bagi Radel, Ilmi adalah perempuan yang begitu menawan dan menakjubkan. “Aku janji, enggak akan bilang siapa-siapa.”
Naumi bernapas lega, sebab Ilmi tidak akan memberitahukan siapa-siapa perihal hal tersebut. Dan ia yakini itu.